Kamis, 03 Oktober 2013

Kamisan #2 Kutukan - Kutukan Bernama Kenangan




Tadi siang aku menerima kabar buruk. Sandalku, yang kemarin tertinggal di lokasi, rusak. Ada kemungkinan ia tak bisa dipakai lagi. Entah kenapa, aku terpukul sekali. Ada gejolak kemarahan yang membuncah. Tapi aku tidak bisa marah, kepada siapa? Dan untuk apa?

Begini, terakhir kali aku ke lokasi(tempat aku melakukan kerja selain di tempat aku standby, anggap saja hutan), sehari sebelum aku balik ke balikpapan, ada teman yang meminjam sandalku. Di saat pertama permintaan pinjam itu, aku sudah merasa berat hati, tapi dia teman, dan lagi, apa yang tidak baik dari meminjamkan sandal? Tapi, barang hak milik, seperti halnya sandal, mungkin bagi seorang lain hanya sekadar nama, dan itu yang sesungguhnya berbahaya. Yang paling berbahaya dari orang asing bukanlah kemungkinan perubahan yang bisa saja ia bawa, tetapi lebih pada ketidaktahuannya akan sejarah. Penghormatan macam apa yang bisa kita harapkan dari seorang yang tak tahu/peduli pada sejarah??

Dan apa yang paling sering kita khawatirkanlah yang lebih sering terjadi. Seorang teman yang meminjam sandalku, seperti yang pernah aku takutkan, tidaklah terlalu peduli pada keadaan sandalku. Sandalku rusak, wujudnya sungguh menyedihkan. Dan apa pertanggungjawaban teman peminjam itu? Dia bilang 'berapa sih harganya? Nanti aku ganti' enteng sekali. Dia pikir, sandal baru akan menyelesaikan masalah. Dia pikir sandal baru bisa menggantikan sandal lamaku. Kalau dia bisa memindahkan makna dan riwayat sandalku ke sandal baru, bolehlah masalah selesai. Tapi, semudah itu kah menggantikan kenangan? Ah Mungkin pertanyaan yang lebih tepat buatku adalah seberapa penting kah kenangan itu?

Sandal itu sudah hampir setahun terakhir menemaniku. Selain ia merupakan sandal yang nyaman di kaki, sandal itu adalah pemberian seorang lawan jenis yang tentu saja pernah membuatku tersenyum. Bahwa sandal itu harus menyebrang pulau untuk menjadi kesayangan kakiku. Dalam cara yang aneh, sandal itu memanjakan telapak kakiku, sekaligus tidak mengganggu aliran darahku yang biasa mewujud dalam pegal yang tak nyaman di telapak kaki. Sandal itu barangkali memiliki bau yang sama dengan kaos atau baju atau celana yang dulu dibelikan oleh orang yang dulu memenuhi hatiku dengan wangi bunga-bunga. Tapi sandal itu tak seperti pakaian yang harus dicuci setiap hari, maka tak perlu heran jika kemudian kami cepat intim. Kenyataan bahwa orang yang memberikan sandal itu tak lah lagi boleh kupanggil kekasih, sama sekali tidak mengurangi kemesraan hubungan sandal dan kakiku, malah aku merasa harus menghormati warisan itu sebagai monumen di mana sandal itu pernah mewakili sedikit cerita hidup yang dulu menurutku sebuah anugerah. Iya, tentu saja perilakuku bisa dibilang aneh--tapi kupikir taklah perlu aku menguraikan alasanku--di mana saat orang kebanyakan menyingkirkan barang-barang yang mengandung secuil kenangan ketika sebuah komitmen harus diputuskan sebaik-baiknya, aku justru menyimpannya. Sudah barang tentu, hidupku disusun rapi di atas tumpukan kenangan yang mengering.

Maka saat aku mendapati kenyataan aku terancam akan berpisah juga dengan sandal itu, aku bisa dibilang kemudian menjadi panik. Ah tentu aku marah. Aku marah sebab untuk urusan sepele seperti sandal saja harus ditentukan oleh orang yang nyaris tak memberiku sedikitpun kesan berarti untuk hidupku. Betapa aku tidak bisa memilih sendiri untuk melepas atau memelihara kenangan sederhana ini. Sungguh menyedihkan, bukan? Tapi yang sudah terjadi tak bisa ditarik kembali. Sandalku sudah rusak, adakah yang masih bisa dilakukan kecuali menerimanya? Aku marah dan terluka, memang, bagaimana tidak? Kenangan yang melekat dijiwamu ditebas paksa! Ah!! Selesai sudah riwayat sandalku, ditimpas dunia bersama kenangannya.

Dan di sinilah aku kini berdiri, mengenakan sandal baru, bau karet baru keluaran pabriknya tercium amat memuakkan. Masih terasa asing di telapak kakiku, seperti sofa murahan baru yang terasa datar di pantat. Tapi harus kuakui, langkahku ringan kini. Seperti bahu yang kehilangan beban untuk dipanggul. Jadi, bolehkah jika aku lancang menyebut diri baru saja terbebas dari kutukan yang menyaru sebagai kenangan?? Ah masih banyak jalan yang menungguku melangkah. [ ]


                                                                                                 Batu Kajang, Oktober 2013

10 komentar:

  1. Nah, ini satu lagi bukti bahwa manusia memang pengumpul segala. mulai dari barang roksokan sampai kenangan. Dan tulisan ini mewakili keduanya. hahahaha.

    Ngomong2, aku baru tahu kamu bisa nulis selancar ini. Pembaca memang adalah penulis yang baik dan latihan membuatnya jadi sempurna.

    salam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah terima kasih sudah mampir dan menyediakan sedikit waktu sibukmu untuk sekedar memperhatikan tulisan tak jelas ini :D

      yah begitulah, apa gunanya barang rongsokan selain ditertawakan? :D

      Hapus
    2. Oh jadi itu gunanya kamu bawa2 kenangan? Biar bisa ditertawakan? ckckckckc

      Hapus
    3. yah buat aku, tertawa jauh lebih sedap dipandang daripada meratap :D

      Hapus
  2. Dia memelihara kenangan seperti... (lanjut sendiri, dah).

    Jadi ini alasan seseorang menunda perjalanan karena sandalnya dipakai orang lain? Hihihi.

    Ah, sudahkah saya bilang kalau saya jatuh cinta sejak awal pada (tulisan)mu? *lempar kenangan*

    BalasHapus
    Balasan
    1. mahahahahaha ah perjalanannya masih dalam angan, nanti semoga segera bisa cepat menyusul

      terima kasih sudah mampir :D

      Hapus
  3. sandal aja bisa jadi tulisan kenangan, apa lagi kalau cuma 'telur dadar' , 'nasi goreng' atau 'pantai' -___-" keren ih :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe semoga telur dadar nanti bukanlah sebuah kenangan juga ya Vid :D ah tapi sepertinya aku akan mengecewakanmu....

      terima kasih sudah sudi menengok :D

      Hapus
    2. siap2 makan telur dadar rasa kenangan =))

      Hapus
    3. hahahaha nah selamat menikmati resep telur dadarku :D

      Hapus