Kamis, 26 Februari 2015

Kamisan03 #3 Aha!!



Lelaki itu datang ketika Asa tengah bosan. Rambut dan matanya menyeruak dari celah pintu yang terbuka. Setelah mengumbar senyum dan menyebut nama Asa, ia masuk karena perempuan itu mengangguk. Langkahnya cepat dan pasti. Tanpa pikir panjang, lelaki itu meletakkan kotak kertas di atas meja di sebelah ranjang tempat Asa berbaring. Tidak ada waktu untuk mencurigai bahwa isi kotak itu mungkin berisi bom. Asa sibuk mengingat rupa lelaki itu dalam memorinya. Karena Asa tak mampu mengenali siapa lelaki itu, ia memilih diam. Tangannya sudah siap menekan tombol panggil darurat yang ia sembunyikan di sebelah tubuhnya.  Untuk sesaat, Asa tak tahu harus berbuat apa.

Waktu itu Ayah dan Ibunya sedang mengurus administrasi di bawah. Hari ini adalah hari keempat Asa berada di rumah sakit.  Rombongan terakhir teman-temannya yang menjenguk datang kemarin malam. Perempuan itu tidak sedang mengharapkan seseorang akan datang membesuk seperti saat ini. Ia cuma ingin segera pulang ke rumah dan tidur di kasurnya. Asa sudah kangen dengan buku-bukunya di rumah. Dan lagi, ia sungguh-sungguh tidak tahan dengan dengkuran lelaki tua di ruang sebelah.

Kamar mereka hanya disekat dengan penutup kain. Kain penutup dan temboknya berwarna hijau. Kendati menyukai warna hijau, Asa tidak betah tinggal di sana. Udaranya pahit, bau obat. Asa benci obat,  tidak suka minum obat. Tapi di sini, ia harus minum obat.

Lelaki itu duduk di kursi satu-satunya dalam kamar Asa. Biasanya, ibu Asa yang duduk di kursi itu. Kadang sambil menyuapi Asa; atau menunggui Asa membaca buku; lalu sekali waktu tertidur di sana dengan muka lelah. Lelaki itu mengibaskan tangan sambil meyakinkan Asa bahwa ia tak mengenalnya. Mereka satu sekolah, hanya beda kelas. Bahkan ia baru mengetahui nama Asa dari salah satu temannya siang ini. Lelaki itu merasa harus menengok Asa karena rumahnya ada di seberang jalan, tepat di depan rumah sakit. Yang di depannya ada kolam ikan, ujarnya bangga.

“Kamu harus cepat sembuh. Agar aku bisa secepatnya melihatmu lagi di sekolah.” Ia mengambil kotak yang tadi dibawanya. “Nah makanya kamu harus makan ini biar cepat sembuh.” Ternyata kotak itu memang tidak berisi bom. Lelaki itu meletakkan sepotong kue yang cake-nya sewarna darah di atas selembar tisu di tangannya. Kemudian menyerahkannya pada Asa.

Asa menerimanya dengan tangan kiri. Tangan kanannya masih belum bisa digunakan dengan sempurna. Ada perban memanjang yang menutupi luka bekas operasinya. Asa Cuma bisa membuka mulutnya ketika lelaki itu memaksakan untuk menyuapinya.
 
Usai melihat Asa menelan kue, lelaki itu kemudian pamit. Seperti rasa kue yang tertinggal di lidahnya, Asa masih bisa merasakan senyum keceriaan dan semangat lelaki itu di benaknya. Yang lebih mengherankan Asa adalah kesediaannya menengok orang yang tidak benar-benar ia kenal. Satu-satunya keinginan Asa saat itu adalah membalas lelaki itu. Perempuan itu akan membesuknya suatu saat nanti.

Tapi keinginan itu tinggal khayalan. Tiga bulan kemudian, ketika Asa sudah sembuh dari luka patah tulangnya, ia tak menemukan lelaki itu. Lelaki itu sudah lulus bulan lalu. Kemudian keinginan itu mengendap menjadi kerak dalam dirinya.

***

Sejak saat itu, Asa menjadi rajin membuat kue Red Velvet setiap kali ada kesempatan. Minimal sebulan satu kali tangannya akan belepotan rona warna merah. Mencoba berbagai resep yang ia temukan di internet. Tapi tak pernah sekalipun ia berhasil membuat kue Red Velvet seenak saat pertama kali ia mencicipi kue itu. Semahir apapun ia membuat Red Velvet, di lidahnya selalu terasa ada yang kurang.

Lalu, ketika rasa penasaran itu menjadi tak tertahankan, Asa mulai memburu kue berwarna darah itu ke toko-toko kue terkenal yang ada di kotanya. Warna merah itu merasukinya. Seperti stadion Gelora Bung Karno yang selalu berwarna merah di setiap kali timnas Indonesia bermain. Namun kue-kue yang ia temui, rasanya tak pernah seyahud kue pertama itu. Hingga suatu hari ketika Asa sedang mengantre untuk membayar sepotong kue Red Velvet yang sedianya akan ia bawa pulang, seseorang menyentuh bahunya.

“Jangan bilang kamu ketagihan kue itu gara-gara kue yang aku bawakan waktu itu.”

Asa tersenyum tanpa menoleh. Ia tak bisa memikirkan sesuatu jawaban untuk lelaki di belakangnya. Sesampainya di meja kasir perempuan itu hanya berujar “Bagaimana kalau kamu menraktirku kue ini? Jadi aku bisa menraktirmu minum?”

“Apa ini sebuah undangan?” ada senyum tertahan dalam kata-katanya.

Asa melirik ke atas seolah ada malaikat di atas kepalanya.

Mereka kemudian duduk di depan mini market dengan sebuah meja logam memisahkan keduanya. Dua minuman botol yang segera berembun dan dua kotak kecil kue terhampar di sana. Asa menatap selapis air yang mengambang di atas aspal. Sementara lelaki itu mulai membongkar kotak kue dan mengirisnya kecil dengan sendok plastik. Mereka masih diam. Asa mengurungkan keinginan untuk menceritakan perihal kebiasaan barunya membuat kue Red Velvet. Meraih botol minumannya lalu menenggak satu tegukan.

“Jadi,  ke mana saja kamu selama ini?”

Lelaki itu menggeleng. Rahangnya masih mengunyah. “Kamu yang ke mana saja? Aku bahkan tak melihatmu di pesta perpisahan.”

“Tulangku patah, kau ingat? Aku tak bisa berjalan dan menulis selama 2 bulan. Itu belum terapi untuk mengembalikan fungsi normal tangan dan kakiku.”

“Ah iya.” Ia tersenyum.

Asap kendaraan yang lalu lalang bergelung di udara. Seorang perempuan berdiri di tengah jalan sambil menutup hidungnya dengan tangan, hendak menyeberang. Seperti patung, berdiri menunggu kendaraan memberinya jalan untuk menyeberang. Asa mulai memotong kuenya, sambil memperhatikan perempuan itu. Ia belum juga menemukan kata-kata yang  dirasa tepat.

“Aku masih ingin menjengukmu.”

“Kamu ingin aku sakit?”

“bukan begitu, hanya saja rasanya tidak pantas. Kamu bahkan tidak mengenalku saat membesukku ke rumah sakit.”

“Ayolah... lupakan hal itu. Aku tak pernah bermaksud apa-apa.” Lelaki itu tersenyum, menyuapkan satu potongan kecil kue ke mulutnya. “Lagi pula, orang yang bahagia sepertiku tak bisa sakit.”

Asa memandang ke jalan di depannya, perempuan tadi masih berdiri di tengah jalan.

“Kamu tahu,  kalau aku tahu hal itu akan menjadi beban buatmu, aku tak akan menengokmu waktu itu.”

“Ya jangan dong...”

“Apa kamu tahu alasan sesungguhnya kenapa aku menengokmu saat itu?”

Asa menoleh, mendengarkan lelaki itu membual tanpa ampun. Waktu itu ia membolos dari sekolah. Di rumah ada kue buatan ibunya. Melihat kue itu, entah kenapa ia teringat kabar teman satu sekolahnya yang masuk rumah sakit karena tertabrak motor ketika pulang sekolah. Dan karena rumah sakit itu ada di seberang jalan maka ia memutuskan untuk menengok  temannya itu, yang adalah Asa.

Asa menunduk, menatap sepatunya. Ada noda merah di sana. Entah kenapa Asa ingin pulang dan membersihkan noda itu. “Aku harus pulang.” Perempuan itu melangkah pergi. Kemudian, sebelum begitu jauh ia berucap “Itu tak mengubah apapun.”

***                          

Rumah itu tampak sepi. Pintu dan jendela semua tertutup. Asa masih berdiri menunggu setelah ketukan pertamanya. Hari itu tepat seminggu setelah pertemuan terakhir mereka di depan mini market. Kemarin sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Asa. Aku sakit.

Setelah ketukan kedua, pintu rumah itu terbuka. Lelaki itu tersenyum, tidak mempedulikan wajah pucatnya. Tanpa mempersilahkan masuk, ia duduk di sofa ruang tamu. Asa turut duduk di sebelahnya. Kotak kuenya ia letakkan di meja.

“Nah... sekarang kita impas.” ujar lelaki itu ringan.

Asa tersenyum. Ia bisa mencium bau keringat yang menguar dari lelaki di sebelahnya. “Kukira orang yang bahagia tidak bisa sakit.”

“Ya, memang.” Lelaki itu membuka tutup kotak kertas di depannya, lalu melirik sambil menarik ujung bibirnya melebar.

“Lalu... ?”

“Aku sengaja tidak makan selama seminggu terakhir ini.” Senyum lelaki itu terekam ngeri di benak Asa. Perempuan itu tak menduga masih sungguh-sungguh ada manusia semacam ini. Kerak keinginan di dalam dirinya kini menghitam, hangus. Menebal! [ ]