Kamis, 21 Mei 2015

Kamisan03 #9 Di Pinggir jalan



Gadis kecil itu menghampiri anak anjing yang meringkuk di kaki patung gajah. Gajah-gajah itu kesemuanya tiga ekor, berkulit putih dengan ornamen warna-warni memenuhi sekujur tubuhnya. Mereka seperti gajah putih dari Thailand yang baru saja mengikuti perayaan hari raya Holi di India. Atau barangkali pembuat patung gajah itu adalah seorang anak SMA yang baru saja mengetahui kelulusannya. Yang tidak cukup menghibur adalah pose gajah-gajah itu: kaki-kakinya tidak dalam posisi sedang berjalan, belalainya terjulur begitu saja tanpa gerak meliuk hendak menyemprotkan air dari belalainya, ekornya tidak melambai ke kanan atau ke kiri atau menghalau serangga di punggungnya, telinganya lurus bagaikan garis marka jalan, seolah gajah-gajah itu tidak kepanasan di tengah udara Jogja yang kian panas akhir-akhir ini.

Anjing itu meringkuk sama sekali. Bedanya dengan patung gajah di atasnya adalah anjing itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis kecil itu menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat ke arah pantat besar gajah di atasnya seolah anjing itu keluar dari sana. Dan seperti bayi yang baru lahir, anjing itu tampak lemah sekali. Dagunya yang berbulu pendek berwarna coklat jatuh diatas paving block. Lidahnya merah dan berliur seperti tangan pengemis.

Gadis belia itu berdiri, menoleh ke kiri dan kanan. Macam-macam rupa manusia singgah di kepalanya. Tak satu ia kenal. Kelopak matanya menyipit seperti seorang pemburu mengamati ladang buruannya. Ia menaruh tangan kirinya di atas alis untuk meneduhi matanya dari cahaya matahari sore. Kemudian ia berlari ke arah barat, ke seberang jalan. Tidak peduli pada padatnya kendaraan di ruas jalan. Ia berjalan miring mengikuti celah antar kendaraan yang malas melaju. Sebentar-sebentar bising klakson meningkahi keriuhan deru mesin kendaraan yang tak berhenti memproduksi asap panas.

Sambil meloncat-loncat ke tempat bayangan pohon jatuh di trotoar jalan, gadis cilik itu menghampiri seorang ibu yang tidak memerhatikan baju longgar dan berlubang di beberapa bagian, terkadang tanpa sadar ia memamerkan kulit kotor di balik bajunya. perempuan paruh baya itu lebih peduli pada karung besarnya yang berisi botol-botol minuman yang telah kosong. Di samping karung putih itu terduduk seorang anak lelaki yang berumur 2 tahun lebih muda darinya. Pada hari-hari biasa, anak kecil itu adalah teman bermainnya. Tapi hari itu, kotak rubik lusuh yang ada di tangan si bocah lelaki bahkan tak membangkitkan gairahnya sama sekali. Gadis bergaun kuning yang entah sudah berapa minggu tak dicuci itu lebih tertarik pada botol air mineral yang dikumpulkan oleh ibu pemilik karung. Ia cepat-cepat merebut botol minuman yang masih berisi setengah itu sebelum terlanjur dibuang isinya oleh si ibu. Lalu berlari cepat-cepat.

Di tengah jalan, ia berpapasan dengan seorang lelaki yang memakai kalung kertas di dadanya, ada tulisan ‘jual pulsa’. Ia tak terlalu sering bicara dengan lelaki yang kadang tiba-tiba berteriak “Pulsa... pulsa...” entah siapa yang ia ajak bicara. Ia kadang sedih melihat lelaki itu begitu keras berusaha bicara tetapi tidak ada yang mau mendengarnya. Ia ingin membantunya sesekali. Membawakan kalung kertas dengan tali rafia itu misalnya. Sering ia melamunkan bakal seperti apa rupanya bila mengenakan kalung kertas itu. Atau membeli jualannya. Tetapi setelah dipikir-pikir, akan ia gunakan untuk apa?

Gadis kecil itu memeriksa sakunya yang longgar dan pinggirannya berwarna hitam ketika melewati seorang penjual sate. Bau asapnya seperti mesin pencipta rasa lapar. Ada selembar uang limaribuan baru di sana. Kertasnya licin, membuatnya enggan menggunakannya, layaknya cincin milik Sauron bagi Gollum. Itu pula kenapa ia menahan laparnya sejak pagi. Ia mengulurkan uang itu dan menunggu tusuk-tusuk satenya matang di antara asap yang harum.

Anjing coklat itu masih melingkarkan tubuh. Kepalanya langsung terangkat ketika air mineral mengucur di lidahnya yang terjulur. Ia memandang gadis itu. Membasahi mulutnya dengan lidah lalu menjulurkan lidah itu kembali. Ia menerima satu tutup botol air mineral lagi. Tanpa menunggu perintah, anjing itu memakan potongan daging ayam yang sudah diloloskan dari tusuknya. Gadis itu juga menghamburkan beberapa potong lontong di dekat timbunan kecil daging sate. Sementara ia melahap sendiri potongan lontong yang tersisa.

Selesai pesta makan, gadis itu duduk sambil bersandar di salah satu kaki gajah yang mengkilat karena cat baru. Menunggu si anjing bangun. Anjing itu masih minum air yang dituangkan di atas daun pisang pembungkus sate tadi. Matahari makin turun sehingga sinarnya kini terhalang rimbunan pohon di seberang jalan.

Gadis itu masih tenggelam dalam lamunannya saat anjing itu bangkit tidur dan duduk di sebelahnya, sama-sama menatap lurus ke depan. Mereka seakan heran dengan orang-orang yang berpose dan melemparkan uang untuk berfoto dengan orang-orang yang berdandan segala rupa. Di lain waktu, mereka berdandan seperti pahlawan-pahlawan yang tak pernah diingat siapapun. Lalu, kadang mereka berdandan dengan pakaian-pakaian prajurit keraton. Dan hari ini mereka berdandan seperti hantu-hantu dengan muka rusak atau batok kepala yang ditancap dengan kaleng minuman soda. Mungkin kaleng soda tadi melukai otaknya sehingga tidak bisa membedakan kalau saat itu hari masih siang. Juga ada yang berfoto di depan sebuah plang jalan yang di letakkan di depan sebuah tempat sampah plastik untuk menampung uang. Tapi tak ada yang mengajak gadis cilik itu berfoto bersama. Barangkali karena bocah ingusan itu tak mengenakan sandal.

Menyadari hari telah beranjak sore, gadis kecil itu bangkit setelah mengusap punggung anjing di sampingnya. Ujung gaun kuningnya berkibar menyentuh paving block. Sementara anjing itu berlari kecil sambil menciumi jalan. Seorang perempuan yang baju dan celana pendeknya menguarkan aroma wangi parfum berhenti di depan seorang penjual bakpia yang duduk di atas kursi roda. Perempuan itu mengulurkan selembar uang berwarna hijau begitu saja, tanpa menawar. Padahal sebelumnya ia tak tampak tertarik atau kelaparan melihat bakpia yang wujud dan bungkus mikanya serupa dengan yang ditawarkan seorang perempuan sesaat sebelumnya.

Anjing itu mendadak berhenti mengendus jalanan ketika gadis di depannya memutuskan untuk berhenti melangkah. Gadis cilik itu membuang bungkus sate bekas ia makan tadi ke tempat sampah di dekat pagar jembatan. Kemudian ia berbalik memandangi punggung-punggung pengunjung yang ditutupi baju-baju bagus. Mereka terpukau menikmati pertunjukkan air mancur di kolam di depan benteng Vedrebug. Seakan-akan pertunjukkan air mancur itu adalah hal paling indah di tempat itu.

Gadis cilik itu dengan cepat menjadi bosan. Ia bersandar pada pagar besi yang baunya amis seperti bau tubuhnya. Mula-mula menyandarkan punggungnya. Namun kemudian ia berbalik dan mengamati ikan-ikan kecil yang berkerumun di sekitar sampah plastik bekas makanan. Ikan-ikan itu berenang kesana kemari. Ada juga yang bersembunyi di balik sampah plastik itu.

Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang lelaki tambun berseragam sekuriti baru saja mengusir satu rombongan terakhir dari komplek museum yang sudah saatnya tutup. Satpam museum Benteng Vedreburg itu lalu berjalan ke sebuah tiang bendera di sebelah kanan pintu gerbang museum. Inilah yang dinantikan gadis cilik itu. Secara khusuk, tak lepas ia mengamati lelaki tambun itu berdiri tegak di depan tiang bendera. Ia mendongakkan kepala lalu menaruh tangannya di atas topi seragam selama 8 detik. Setelah menurunkan hormatnya, satpam itu kemudian membuka tali lalu menurunkan bendera merah putih dengan latar musik gamelan jawa sayup-sayup di ujung sana.

Sementara itu orang-orang saling merangkul pingang pasangannya ketika semburan terakhir air mancur jatuh ke kolam. Gadis itu tersenyum ketika menyadari anjing kecil di sebelahnya duduk dengan pantatnya dan satu kaki depannya ia angkat ke kepala yang terarah pada lelaki yang tengah mengurai tali pengikat bendera itu. Gadis itu tersenyum lebih lebar lagi sambil mengusap bulu halus anjing di sebelahnya. Malam ini ia tak perlu takut lagi. Ia tidak akan tidur sendirian nanti malam. [  ]

Kamis, 07 Mei 2015

Kamisan03 #8 Wawancara



Pigor segera duduk di kursi kosong terakhir yang terletak di deretan paling ujung. Lelaki itu melongok jam tangannya yang tertutup ujung kemeja. Masih pukul sembilan lebih lima puluh dua menit. Ia menarik-narik kerah leher kemejanya yang terkancing sambil mencari sesuatu untuk ia perhatikan. Lelaki itu butuh melambatkan pikirannya yang sejak pagi diburu waktu. Udara sejuk pendingin udara membantunya mengeringkan keringat.

Ruangan itu cemerlang oleh warna cerah tembok dan lampu neon yang tak padam di langit-langit. Seorang perempuan sedang menunduk menghadapi sebuah buku besar dan sebidang layar monitor yang menyala. Mejanya panjang, juga berwarna putih, tampak berkilau ditimpa cahay lampu neon. Di belakangnya, sebuah tembok putih ternoda oleh kotak kelabu layar monitor mati, terhambur tanpa aturan dengan beragam ukuran. Pigor menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menyandarkan kepala ke tembok belakang.

Ketika sedang menenangkan pikiran sambil mencoba mencari jawaban paling masuk akal soal penempatan kotak-kotak kelabu itu di tembok, seolah mereka adalah teka-teki yang mesti dipecahkan; Pigor mendadak menyadari keberadaan perempuan yang duduk di sebelahnya. Mula-mula yang negusik adalah bau harum dari daerah sekitar leher dan baunya. Wangi segarnya kentara sekali mencemari udara ruangan yang tawar. Perempuan itu tengah khusuk membaca sebuah buku—entah apa—yang terbuka di pangkuannya. Ujung rambutnya tak mampu menutupi tengkuknya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Sebuah jam tangan mungil mengitari pergelangan tangan serupa gelang.

“Tentang apa?”

“Hmm... “ perempuan itu tak mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang tengah ia baca.

“Buku itu,” Pigor nenunjuk buku itu dengan telunjuknya... “bagus?”

Sekarang perempuan itu menelengkan kepalanya sedikit ke arah Pigor, seolah tengah memutuskan apakah akan menanggapi ajakan bicara Pigor atau tidak. “Emm... kau tahu, seharusnya aku tak mengajakmu bicara.” Ujarnya sambil menyipitkan mata.

“kenapa begitu?”

“Karena, secara tidak langsung, kamu adalah musuhku.”

“Oh, tenang saja... aku bukan orang jahat. Kau tahu?”

“Nah... justru karena itu.” Pigor mengerutkan keningnya. “Kita, kamu dan aku ini saingan, untuk pekerjaan ini. Kau mengerti?”

“Ah... “ lelaki itu mengangguk. ”Namamu bukan Autumn, kan?”

Perempuan itu kini benar-benar menyodorkan wajahnya pada Pigor. “Kenapa engkau mengira begitu?”

“Karena ucapanmu barusan mirip sekali dengan dialog Autumn di film 500 Days of Summer.”

“Ah... film itu.” ia tersenyum.

Seorang lelaki keluar dari pintu di ujung sana. Pigor menduga ia baru saja selesai diwawancarai. Perempuan yang duduk di meja putih di depan mereka kemudian menyebut nama seorang perempuan. Namun perempuan di sebelahnya tak jua beranjak dari duduknya.

“Sebenarnya, kau bisa menanyakan langsung kalau engkau ingin mengetahuinya, aku tak keberatan sama sekali. Aku pasti akan menjawabnya.”

“Ah.. tidak. Itu tidak seru. Dan lagi pula kita musuh. Kau ingat?”

Perempuan itu setengah tersenyum. Lalu menggoyang-goyangkan tangannya seolah tengah memainkan sebuah gelang di pergelangan tangannya, jam mungil itu jatuh ke bawah, tepat di tengah antara pergelangan tangan dan sikunya. “Ya, kau benar, kita saingan. Tentu saja!”

“Begini...” Pigor mengacungkan tangannya ke atas. “kau tahu kan, hanya ada satu lowongan di kantor ini? Nah aku akan pergi dari sini jika kau mau pergi makan malam atau nonton denganku, bagaimana?”

Perempuan itu tersenyum, kali ini lebih lebar lagi. Ia memasukkan bukunya ke dalam tas. “Kenapa kamu pikir aku akan tertarik dengan lelaki yang tidak ambisius sepertimu?”

“Tentu saja aku ambisius.”

“Benarkah?”

“Ya! Tapi, mungkin tidak di kantor ini.”

Perempuan itu menoleh ke arah Pigor sekali lagi. Kali ini dengan setengah memutar badan. “Kenapa memangnya dengan kantor ini?”

Pigor diam sejenak menunggu perempuan yang baru saja selesai wawancara lewat. “Lihat itu.” Pigor menunjuk pada tembok di depan mereka.

“Kenapa dengan dinding itu?”

“Tidak teratur! Kupikir pasti isi di dalamnya akan serupa.”

“Nah ini menarik. Kau tahu, aku justru menyukai dinding itu.”

“Kenapa?”

“Pertama, alih-alih diisi oleh lukisan atau foto, tapi tembok itu justru berisi ornamen seperti itu, buatku itu jelas sebuah ide yang menarik. Aku merasa kantor ini akan membuatku merasa tertantang. Soal inovasi. Nah, perkara inovasi inipun sedikit banyak menyinggung apa yang engkau sebut sebagai tidak teratur. Alih-alih melihat itu sebagai tidak teratur, aku justru merasa bahwa ketidakteraturan itu justru menunjukkan bahwa kantor ini menjanjikan kebebasan, dalam artian tidak kaku atau mengekang. Soal imajinasi. Apa yang kurang hebat dari pekerjaan yang seperti itu? Nah, itu yang kedua.”

“Hmmm... tapi bidang pekerjaan yang diiklankan dalam koran bukanlah bidang soal imajinasi. Justru bidang kerja yang membutuhkan keteraturan dan ketepatan. Bukan soal yang bisa diperdebatkan.”
Tapi perempuan itu buru-buru memotong argumen dari Pigor. “Hei... lihat itu.”

Mereka memperhatikan dua orang lelaki yang sedang berbicara dengan perempuan yang sejak tadi duduk di belakang meja putih. Lelaki yang lebih tua berbicara tak peduli pada orang-orang yang duduk di kursi tempat Pigor menunggu. Sementara perempuan itu memasang tampang seorang budak. Yang keluar dari mulutnya hanya iya dan iya sambil sesekali menelpon entah siapa. Dan lelaki muda yang berdiri di sebelahnya dia seperti patung sambil sesekali memeriksa pakaiannya.

Begitu pintu di ujung sana terbuka, lelaki tambun yang sedari tak pernah terlihat masuk kantor tiba-tiba muncul sambil tergopoh-gopoh menyalami lelaki tua yang masih berdiri di dekat meja putih. Setelah bertukar senyum mereka bertiga menghilang masuk ke balik pintu di ujung ruangan itu.

“Kau tahu, aku tarik ucapanku tentang kantor ini. Kurasa kamu benar. Mungkin ini bukan kantor yang tepat untuk kita.” Perempuan itu berdiri dari duduknya. ”Jadi, apa tawaranmu tadi masih berlaku? Kalau masih, aku akan memilih makan saja. Lapar. Belum sarapan nih.”
 
Pigor tersenyum. Masih belum paham benar kenapa perempuan itu meninggalkan wawancara yang sudah dari tadi ditunggunya. Tapi Pigor tak mau ambil pusing, sigap ia berdiri dan meninggalkan tempat itu. [  ]