Pigor segera duduk di kursi kosong
terakhir yang terletak di deretan paling ujung. Lelaki itu melongok jam tangannya
yang tertutup ujung kemeja. Masih pukul sembilan lebih lima puluh dua menit. Ia
menarik-narik kerah leher kemejanya yang terkancing sambil mencari sesuatu
untuk ia perhatikan. Lelaki itu butuh melambatkan pikirannya yang sejak pagi
diburu waktu. Udara sejuk pendingin udara membantunya mengeringkan keringat.
Ruangan itu cemerlang oleh warna
cerah tembok dan lampu neon yang tak padam di langit-langit. Seorang perempuan
sedang menunduk menghadapi sebuah buku besar dan sebidang layar monitor yang
menyala. Mejanya panjang, juga berwarna putih, tampak berkilau ditimpa cahay
lampu neon. Di belakangnya, sebuah tembok putih ternoda oleh kotak kelabu layar
monitor mati, terhambur tanpa aturan dengan beragam ukuran. Pigor menyandarkan
punggungnya ke kursi sambil menyandarkan kepala ke tembok belakang.
Ketika sedang menenangkan pikiran
sambil mencoba mencari jawaban paling masuk akal soal penempatan kotak-kotak
kelabu itu di tembok, seolah mereka adalah teka-teki yang mesti dipecahkan;
Pigor mendadak menyadari keberadaan perempuan yang duduk di sebelahnya.
Mula-mula yang negusik adalah bau harum dari daerah sekitar leher dan baunya.
Wangi segarnya kentara sekali mencemari udara ruangan yang tawar. Perempuan itu
tengah khusuk membaca sebuah buku—entah apa—yang terbuka di pangkuannya. Ujung
rambutnya tak mampu menutupi tengkuknya yang ditumbuhi rambut-rambut halus.
Sebuah jam tangan mungil mengitari pergelangan tangan serupa gelang.
“Tentang apa?”
“Hmm... “ perempuan itu tak
mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang tengah ia baca.
“Buku itu,” Pigor nenunjuk buku itu
dengan telunjuknya... “bagus?”
Sekarang perempuan itu menelengkan
kepalanya sedikit ke arah Pigor, seolah tengah memutuskan apakah akan
menanggapi ajakan bicara Pigor atau tidak. “Emm... kau tahu, seharusnya aku tak
mengajakmu bicara.” Ujarnya sambil menyipitkan mata.
“kenapa begitu?”
“Karena, secara tidak langsung, kamu
adalah musuhku.”
“Oh, tenang saja... aku bukan orang
jahat. Kau tahu?”
“Nah... justru karena itu.” Pigor
mengerutkan keningnya. “Kita, kamu dan aku ini saingan, untuk pekerjaan ini.
Kau mengerti?”
“Ah... “ lelaki itu mengangguk.
”Namamu bukan Autumn, kan?”
Perempuan itu kini benar-benar
menyodorkan wajahnya pada Pigor. “Kenapa engkau mengira begitu?”
“Karena ucapanmu barusan mirip sekali
dengan dialog Autumn di film 500 Days of Summer.”
“Ah... film itu.” ia tersenyum.
Seorang lelaki keluar dari pintu di
ujung sana. Pigor menduga ia baru saja selesai diwawancarai. Perempuan yang
duduk di meja putih di depan mereka kemudian menyebut nama seorang perempuan.
Namun perempuan di sebelahnya tak jua beranjak dari duduknya.
“Sebenarnya, kau bisa menanyakan
langsung kalau engkau ingin mengetahuinya, aku tak keberatan sama sekali. Aku
pasti akan menjawabnya.”
“Ah.. tidak. Itu tidak seru. Dan lagi
pula kita musuh. Kau ingat?”
Perempuan itu setengah tersenyum.
Lalu menggoyang-goyangkan tangannya seolah tengah memainkan sebuah gelang di
pergelangan tangannya, jam mungil itu jatuh ke bawah, tepat di tengah antara
pergelangan tangan dan sikunya. “Ya, kau benar, kita saingan. Tentu saja!”
“Begini...” Pigor mengacungkan
tangannya ke atas. “kau tahu kan, hanya ada satu lowongan di kantor ini? Nah
aku akan pergi dari sini jika kau mau pergi makan malam atau nonton denganku,
bagaimana?”
Perempuan itu tersenyum, kali ini
lebih lebar lagi. Ia memasukkan bukunya ke dalam tas. “Kenapa kamu pikir aku
akan tertarik dengan lelaki yang tidak ambisius sepertimu?”
“Tentu saja aku ambisius.”
“Benarkah?”
“Ya! Tapi, mungkin tidak di kantor
ini.”
Perempuan itu menoleh ke arah Pigor
sekali lagi. Kali ini dengan setengah memutar badan. “Kenapa memangnya dengan
kantor ini?”
Pigor diam sejenak menunggu perempuan
yang baru saja selesai wawancara lewat. “Lihat itu.” Pigor menunjuk pada tembok
di depan mereka.
“Kenapa dengan dinding itu?”
“Tidak teratur! Kupikir pasti isi di
dalamnya akan serupa.”
“Nah ini menarik. Kau tahu, aku
justru menyukai dinding itu.”
“Kenapa?”
“Pertama, alih-alih diisi oleh
lukisan atau foto, tapi tembok itu justru berisi ornamen seperti itu, buatku
itu jelas sebuah ide yang menarik. Aku merasa kantor ini akan membuatku merasa
tertantang. Soal inovasi. Nah, perkara inovasi inipun sedikit banyak menyinggung
apa yang engkau sebut sebagai tidak teratur. Alih-alih melihat itu sebagai
tidak teratur, aku justru merasa bahwa ketidakteraturan itu justru menunjukkan
bahwa kantor ini menjanjikan kebebasan, dalam artian tidak kaku atau mengekang.
Soal imajinasi. Apa yang kurang hebat dari pekerjaan yang seperti itu? Nah, itu
yang kedua.”
“Hmmm... tapi bidang pekerjaan yang
diiklankan dalam koran bukanlah bidang soal imajinasi. Justru bidang kerja yang
membutuhkan keteraturan dan ketepatan. Bukan soal yang bisa diperdebatkan.”
Tapi perempuan itu buru-buru memotong
argumen dari Pigor. “Hei... lihat itu.”
Mereka memperhatikan dua orang lelaki
yang sedang berbicara dengan perempuan yang sejak tadi duduk di belakang meja
putih. Lelaki yang lebih tua berbicara tak peduli pada orang-orang yang duduk
di kursi tempat Pigor menunggu. Sementara perempuan itu memasang tampang
seorang budak. Yang keluar dari mulutnya hanya iya dan iya sambil sesekali
menelpon entah siapa. Dan lelaki muda yang berdiri di sebelahnya dia seperti
patung sambil sesekali memeriksa pakaiannya.
Begitu pintu di ujung sana terbuka,
lelaki tambun yang sedari tak pernah terlihat masuk kantor tiba-tiba muncul
sambil tergopoh-gopoh menyalami lelaki tua yang masih berdiri di dekat meja
putih. Setelah bertukar senyum mereka bertiga menghilang masuk ke balik pintu
di ujung ruangan itu.
“Kau tahu, aku tarik ucapanku tentang
kantor ini. Kurasa kamu benar. Mungkin ini bukan kantor yang tepat untuk kita.”
Perempuan itu berdiri dari duduknya. ”Jadi, apa tawaranmu tadi masih berlaku? Kalau
masih, aku akan memilih makan saja. Lapar. Belum sarapan nih.”
Pigor tersenyum. Masih belum paham benar kenapa perempuan itu meninggalkan wawancara yang sudah dari tadi ditunggunya. Tapi Pigor tak mau ambil pusing, sigap ia berdiri dan meninggalkan tempat itu. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar