Kamis, 07 Mei 2015

Kamisan03 #8 Wawancara



Pigor segera duduk di kursi kosong terakhir yang terletak di deretan paling ujung. Lelaki itu melongok jam tangannya yang tertutup ujung kemeja. Masih pukul sembilan lebih lima puluh dua menit. Ia menarik-narik kerah leher kemejanya yang terkancing sambil mencari sesuatu untuk ia perhatikan. Lelaki itu butuh melambatkan pikirannya yang sejak pagi diburu waktu. Udara sejuk pendingin udara membantunya mengeringkan keringat.

Ruangan itu cemerlang oleh warna cerah tembok dan lampu neon yang tak padam di langit-langit. Seorang perempuan sedang menunduk menghadapi sebuah buku besar dan sebidang layar monitor yang menyala. Mejanya panjang, juga berwarna putih, tampak berkilau ditimpa cahay lampu neon. Di belakangnya, sebuah tembok putih ternoda oleh kotak kelabu layar monitor mati, terhambur tanpa aturan dengan beragam ukuran. Pigor menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menyandarkan kepala ke tembok belakang.

Ketika sedang menenangkan pikiran sambil mencoba mencari jawaban paling masuk akal soal penempatan kotak-kotak kelabu itu di tembok, seolah mereka adalah teka-teki yang mesti dipecahkan; Pigor mendadak menyadari keberadaan perempuan yang duduk di sebelahnya. Mula-mula yang negusik adalah bau harum dari daerah sekitar leher dan baunya. Wangi segarnya kentara sekali mencemari udara ruangan yang tawar. Perempuan itu tengah khusuk membaca sebuah buku—entah apa—yang terbuka di pangkuannya. Ujung rambutnya tak mampu menutupi tengkuknya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. Sebuah jam tangan mungil mengitari pergelangan tangan serupa gelang.

“Tentang apa?”

“Hmm... “ perempuan itu tak mengalihkan pandangannya dari halaman buku yang tengah ia baca.

“Buku itu,” Pigor nenunjuk buku itu dengan telunjuknya... “bagus?”

Sekarang perempuan itu menelengkan kepalanya sedikit ke arah Pigor, seolah tengah memutuskan apakah akan menanggapi ajakan bicara Pigor atau tidak. “Emm... kau tahu, seharusnya aku tak mengajakmu bicara.” Ujarnya sambil menyipitkan mata.

“kenapa begitu?”

“Karena, secara tidak langsung, kamu adalah musuhku.”

“Oh, tenang saja... aku bukan orang jahat. Kau tahu?”

“Nah... justru karena itu.” Pigor mengerutkan keningnya. “Kita, kamu dan aku ini saingan, untuk pekerjaan ini. Kau mengerti?”

“Ah... “ lelaki itu mengangguk. ”Namamu bukan Autumn, kan?”

Perempuan itu kini benar-benar menyodorkan wajahnya pada Pigor. “Kenapa engkau mengira begitu?”

“Karena ucapanmu barusan mirip sekali dengan dialog Autumn di film 500 Days of Summer.”

“Ah... film itu.” ia tersenyum.

Seorang lelaki keluar dari pintu di ujung sana. Pigor menduga ia baru saja selesai diwawancarai. Perempuan yang duduk di meja putih di depan mereka kemudian menyebut nama seorang perempuan. Namun perempuan di sebelahnya tak jua beranjak dari duduknya.

“Sebenarnya, kau bisa menanyakan langsung kalau engkau ingin mengetahuinya, aku tak keberatan sama sekali. Aku pasti akan menjawabnya.”

“Ah.. tidak. Itu tidak seru. Dan lagi pula kita musuh. Kau ingat?”

Perempuan itu setengah tersenyum. Lalu menggoyang-goyangkan tangannya seolah tengah memainkan sebuah gelang di pergelangan tangannya, jam mungil itu jatuh ke bawah, tepat di tengah antara pergelangan tangan dan sikunya. “Ya, kau benar, kita saingan. Tentu saja!”

“Begini...” Pigor mengacungkan tangannya ke atas. “kau tahu kan, hanya ada satu lowongan di kantor ini? Nah aku akan pergi dari sini jika kau mau pergi makan malam atau nonton denganku, bagaimana?”

Perempuan itu tersenyum, kali ini lebih lebar lagi. Ia memasukkan bukunya ke dalam tas. “Kenapa kamu pikir aku akan tertarik dengan lelaki yang tidak ambisius sepertimu?”

“Tentu saja aku ambisius.”

“Benarkah?”

“Ya! Tapi, mungkin tidak di kantor ini.”

Perempuan itu menoleh ke arah Pigor sekali lagi. Kali ini dengan setengah memutar badan. “Kenapa memangnya dengan kantor ini?”

Pigor diam sejenak menunggu perempuan yang baru saja selesai wawancara lewat. “Lihat itu.” Pigor menunjuk pada tembok di depan mereka.

“Kenapa dengan dinding itu?”

“Tidak teratur! Kupikir pasti isi di dalamnya akan serupa.”

“Nah ini menarik. Kau tahu, aku justru menyukai dinding itu.”

“Kenapa?”

“Pertama, alih-alih diisi oleh lukisan atau foto, tapi tembok itu justru berisi ornamen seperti itu, buatku itu jelas sebuah ide yang menarik. Aku merasa kantor ini akan membuatku merasa tertantang. Soal inovasi. Nah, perkara inovasi inipun sedikit banyak menyinggung apa yang engkau sebut sebagai tidak teratur. Alih-alih melihat itu sebagai tidak teratur, aku justru merasa bahwa ketidakteraturan itu justru menunjukkan bahwa kantor ini menjanjikan kebebasan, dalam artian tidak kaku atau mengekang. Soal imajinasi. Apa yang kurang hebat dari pekerjaan yang seperti itu? Nah, itu yang kedua.”

“Hmmm... tapi bidang pekerjaan yang diiklankan dalam koran bukanlah bidang soal imajinasi. Justru bidang kerja yang membutuhkan keteraturan dan ketepatan. Bukan soal yang bisa diperdebatkan.”
Tapi perempuan itu buru-buru memotong argumen dari Pigor. “Hei... lihat itu.”

Mereka memperhatikan dua orang lelaki yang sedang berbicara dengan perempuan yang sejak tadi duduk di belakang meja putih. Lelaki yang lebih tua berbicara tak peduli pada orang-orang yang duduk di kursi tempat Pigor menunggu. Sementara perempuan itu memasang tampang seorang budak. Yang keluar dari mulutnya hanya iya dan iya sambil sesekali menelpon entah siapa. Dan lelaki muda yang berdiri di sebelahnya dia seperti patung sambil sesekali memeriksa pakaiannya.

Begitu pintu di ujung sana terbuka, lelaki tambun yang sedari tak pernah terlihat masuk kantor tiba-tiba muncul sambil tergopoh-gopoh menyalami lelaki tua yang masih berdiri di dekat meja putih. Setelah bertukar senyum mereka bertiga menghilang masuk ke balik pintu di ujung ruangan itu.

“Kau tahu, aku tarik ucapanku tentang kantor ini. Kurasa kamu benar. Mungkin ini bukan kantor yang tepat untuk kita.” Perempuan itu berdiri dari duduknya. ”Jadi, apa tawaranmu tadi masih berlaku? Kalau masih, aku akan memilih makan saja. Lapar. Belum sarapan nih.”
 
Pigor tersenyum. Masih belum paham benar kenapa perempuan itu meninggalkan wawancara yang sudah dari tadi ditunggunya. Tapi Pigor tak mau ambil pusing, sigap ia berdiri dan meninggalkan tempat itu. [  ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar