Sabtu, 31 Agustus 2013

Punuk Merindukan Senja

Di sini, hijau adalah kelebihan, terserak tak beraturan. Daun tumbuh mencapai usia puncaknya. Bunga-bunga warna-warni mekar dan layu dimakan usia. Hanya rumput yang tak bernasib baik di sini; kadang, pucuk-pucuk sulurnya habis kumakan kalau aku sedang lapar.

Aku masih berdiri di atas kaki-kakiku, menjejak rumput-rumput hijau yang tak menarik seleraku, hari ini aku hanya ingin makan rumput yang ranum. Aku gigit, aku penuhi mulutku dengan rumput yang tebal, yang mengandung air; aku tarik dengan gerakan kepala yang menghentak, mengunyahnya khidmat. Aroma getah rumput menguar, menjangkiti udara yang penuh dengan bau embun. Aku berjalan ke depan, memanjangkan lidahku, meraih bunga-bunga rumput liar. Aku suka biji bunga rumput liar.

Hari ini aku akan makan biji-bijian rumput-rumput liar di bukit ini sepuasku. Tentu saja aku bisa. Aku sendirian, selalu sendirian di bukit ini. Kawananku ada di kaki bukit. Mereka terlalu malas untuk mendaki. Memang aku masih muda, sedang mekar ibarat bunga, jaringan ototku masih segar dan kuat; tapi, itu bukan alasan untuk kawananku, aku merasa mereka hanya malas. Mereka tidak tahu jika di puncak bukit ini ada teman yang menyenangkan. Dan memang aku sengaja tak menceritakan pada yang lain akan apa yang aku temukan. Aku tidak sudi ada anggota kawananku yang ikut naik ke bukit ini, cukuplah untukku sendiri.

Bahwa usahaku mencuri kelengahan gembalaku untuk naik ke atas sini jelas bukan kesia-siaan. Sejak pertama aku mendengar cerita dari Ai-Winda, aku langsung tahu kepada siapa nanti aku akan menghamba dan mengabdikan hidupku. Aku belum pernah bertemu dengan mahkluk jelita yang kerap Ai-Winda ceritakan, namun kecantikan gambaran mahkluk itu telah memenuhi pikiranku yang sempit. Dan aku tak tahu bagaimana aku mengusir bayangan keindahannya. Aku hanya membiarkannya tumbuh memenuhi diriku, sambil terus memupuknya. Seperti hari ini, aku ingin lagi mendengarkan cerita Ai-Winda tentangnya. Tapi nanti, Ai-Winda sedang memberi makan seluruh keluarganya. 

Ai-Winda adalah pohon meranti besar di puncak bukit. Ai-Winda mendapatkan namanya dari pahatan yang dibuat sepasang manusia tak berperasaan yang sambil tersenyum melukai kulit Ai-Winda. Setelah luka di kulitnya mengering beberapa hari kemudian, ada seekor burung nuri yang mengenali ukiran di kulit Ai-Winda, sebuah tulisan dalam bahasa manusia yg dikurung dalam bentuk aneh seperti daun talas, burung nuri itu kemudian untuk pertama kali memanggilnya Ai-Winda.

Ai-Winda adalah pohon yang umurnya jauh lebih tua dari nenekku. Tidak heran jika Ai-Winda mengetahui banyak hal, dan aku selalu dengan suka diri bermalas-malasan di pangkal batangnya di tengah siang yang panas, bernaung di lingkar keteduhan dedaunannya sambil mendengarkan Ai-Winda bercerita. Entah darimana cerita-cerita Ai-Winda berasal. Cerita-ceritanya kadang aneh dan tak bisa kubayangkan. Tapi bagiku yang baru seumur jagung mengenal alam, cerita Ai-Winda adalah kemewahan tak terperi. Dan tak kutemukan ujung kebosanan dari cerita-cerita Ai-Winda. Aku pun selalu datang mendengarkan cerita-ceritanya.

Matahari sedang tinggi, panasnya membuat bulu ekorku berkilau. Aku mengibaskan ekorku, berayun lepas dari kanan ke kiri. Seekor burung kutilang melintas di atasku dan bertengger di salah satu dahan Ai-Winda. Angin panjang menggodaku, pucuk-pucuk rumput meliuk ke arah Ai-Winda. Aku melangkah pelan sambil 
menghabiskan rumput segar di mulutku. Di bawah kerindangan Ai-Winda aku mengambil kenyamanan, menekuk kaki-kakiku dan berbaring.

Aku melenguh-lenguh memanggil Ai-Winda. Dengan bantuan angin Ai-Winda melambaikan daun-daunnya. Satu-dua daunnya yang menguning lepas menuju tanah. Burung kutilang tadi pun turut menaruh perhatian padaku; paruhnya berkilat, matanya yang bening tersenyum riang, dan ekornya bergerak-gerak tak beraturan.

"Tak mau kah kau mengambil barang satu-dua kutu di punggungku?" tanyaku pada kutilang yang kemudian terbang untuk hinggap di punggungku.

"Bagaimana rumput hari ini, Bot? Apakah cukup mengenyangkan perut?"

"Rumput hari ini manis sekali kurasa." aku merebahkan kepalaku ke tanah.
            
"Bagaimana makanan untuk keluargamu hari ini, cukup?"
        
"Ya tentu saja. Hanya saja hari ini aku harus menyuruh akar pergi lebih dalam lagi untuk mengambil  air."
        
"Ah ya, air di dangau sekarang ini telah jauh menyusut." Ai-Winda tak menanggapi. "Ada cerita apa yang kamu punya untukku hari ini?"
         
Ai-Winda tersenyum. "Aih Ebot, apa yang hendak kau dengar hari ini?" Aku melenguh, terkekeh. "Ya ya, aku tahu."

Lalu, Ai-Winda mulai menceritakan suatu kisah. Ai-Winda bercerita, seorang manusia tersohor pernah membuatkan sebuah lagu tentang senja. Dalam lagu itu sang biduan bernyanyi tentang sepasang kekasih yang asyik masyuk menikmati sebuah senja di pantai, dalam kekhusukan itu, si manusia lelaki ini kemudian terpukau oleh senja itu. Kemudian, seperti hilang akal, si manusia lelaki itu berlari mengejar senja yang tenggelam di laut barat, berlari meninggalkan kekasihnya. Si manusia lelaki kemudian mati tenggelam di laut.
Bagaimana tidak hilang akal, mereka bilang senja itu layaknya Matadewa. Aku terpekur, hampir hilang akal membayangkan rupa senja.
       
"Dan kau jangan hilang akal pula Bot, seperti manusia lelaki tadi." Tegur Ai-Winda membangunkan lamunanku yang tengah mengkhayalkan si matadewa.
         
"Tapi, senja memang elok. Wajar kiranya manusia lelaki itu hilang akal." Ujar Kutilang menimpali cerita Ai-Winda.
        
"Ah sebaiknya aku tidak bercerita macam-macam tentang senja lagi pada Ebot, kulihat akhir-akhir ini kau seringkali kesini minta diceritakan tentang senja melulu. Jelas, aku takut kamu hilang akal seperti manusia lelaki dalam cerita barusan."

Aku bangun tanpa maksud mengusir Kutilang. Kutilang masih tekun mencari kutu di punggungku. Aku berjalan lamban menjauhi Ai-Winda, berjalan ke bibir bukit. Di kaki bukit aku lihat kawananku berkumpul di dekat dangau. Gembalaku masih pulas di bawah pohon asem. Aku melihat batas cakrawala, ujungnya menggodaku. Aku teringat cerita Ai-Winda tentang mata dewa, menjadi hilang akal memang menggiurkan. Saat kulihat di arah barat ada gunung menjulang, aku tergugu, ragu. Aku melengos, mencari ibu di antara kawananku. Aku menuruni bukit dengan gamang. Hari ini aku akan kembali ke kandang. Aku tahu, aku memutuskan untuk hari ini.

           ***

Hari ini gembalaku menggiring kawananku ke seberang dangau, agak jauh dari bukit dimana Ai-Winda biasa menungguku. Rumput-rumput disini masih tumbuh sempurna, baik untuk kawananku. Aku sedang mengunyah rumput saat Sura mendekat. Sura adalah betina yang menuju matang. Bisa dibilang aku dan Sura seumuran. Kami lahir selang seminggu, Ayah kami sama. Sura adalah betina muda dalam bentuk terbaiknya. Pinggulnya besar dan kantung susunya mengembang serta kulitnya berkilauan. Kami makan bersisian, bahkan sesekali hendak merangsek ke rumput yang sama. Aku tahu Sura suatu saat bisa melahirkan anak-anakku. Tapi aku takkan mau memikirkannya hari ini.

Kawananku yang lain tersebar tak merata. Ada yang duduk-duduk di bawah pohon yang rendah, ada yang sedang minum, tapi kebanyakan makan dengan lahap. Gembalaku sudah merebahkan diri tak jauh dari tempat aku makan. Aku cuma harus menunggu.

Samar-samar aku mendengar suara-suara aneh. Di kejauhan, dari sumber yang tak bisa kuperkirakan, suara aneh itu melengking makin nyaring. Meraung. Pada mulanya aku berusaha mengabaikan suara itu. Aku mencoba tetap khusuk mencari rumput-rumput yang mulai menyimpan biji-bijian di pucuk tangkainya. Tapi suara itu serupa bayangan senja di pikiranku, mulai mengusik. Aku pergi ke dangau, suara itu masih mengikuti.

Aku pura-pura melintas di dekat gembalaku. Seperti harapanku, gembalaku telah nyenyak. Aku pun beringsut. Berjalan pelan menuju bukit di seberang dangau, mengitari dangau, mengendap-endap meninggalkan tempat itu.

Sesungguhnya, barangkali tak ada anggota kawananku yang bakal menghiraukan kebaradaan dan kedekatanku dengan bukit ini. Maka tak heran bila usahaku untuk pergi ke bukit ini selalu berhasil dengan telak. Semakin naik aku mendaki bukit ini, suara aneh itu justru kian nyalang. Sesampainya di bibir bukit, saat akhirnya aku bisa melihat semua hal secara lebih leluasa, aku mematung. Aku melihat beberapa orang manusia tengah melukai Ai-Winda. Manusia-manusia itu tengah berusaha dengan sabar untuk memisahkan badan Ai-Winda dari akarnya, mengisolir Ai-Winda dari sumber penghidupannya. Ai-Winda tersenyum kala melihatku. Aku masih mematung tak percaya.

Saat aku mendekat, tercium segar bau darah Ai-Winda. Tapi aku tak bisa mendekat pada Ai-Winda. Setiap aku mencoba maju merangsek pada Ai-Winda, manusia-manusia berbau aneh itu menghalauku, mengusirku secara pasti.

Akhirnya aku cuma bisa menyaksikan Ai-Winda bertahan tanpa berbuat apapun. Sambil mengunyah rumput pahit di depanku aku menyimpan tanya 'siapa yang akan bercerita tentang senja padaku?'. Bahwa aku tak bisa berbuat apa-apa. Kemudian terdengar suara Ai-Winda terpisah dari akarnya, membahana.

Di sini,  di bukit ini, hari ini satu pohon telah tumpas ditangan manusia yang katanya berakal. Ai-Winda yang jauh lebih tahu daripada siapapun tentang hal-hal berlaku di alam ini berdebam ke tanah. Ai-Winda tersenyum ke arahku; dalam ketenangan, akhirnya Ai-Winda menerima kekalahannya tanpa keluhan. Ai-Winda berbaring melintang di tanah untuk terakhir kalinya. Aku hampir tak sanggup melihat Ai-Winda roboh, aku pergi menuruni bukit, meninggalkan Ai-Winda di belakang.

            ***
Langit mulai gelap saat kawananku kembali masuk kandang. Aku berdiri hening di sudut kandang, dekat dengan lampu minyak yang tergantung di atas dinding kandang.

Peristiwa tadi siang sungguh memukulku. Bayangan tentang senja dan Ai-Winda tak mau pergi dari pikiranku. Aku tahu aku tak bisa lagi mendengarkan cerita Ai-Winda tentang senja yang membuat seorang manusia lelaki hilang akal oleh kecantikan senja.

Dalam kekalutanku, Sura mendekat, menempelkan badannya padaku. Kulit perutnya yang hangat menyentuh kulit perutku. Mata Sura yang matang menggugah kesedihanku. Sura menoleh padaku, tersenyum; aku melihat senyum Ai-Winda di mata Sura.

Lalu, sekonyong-konyong, gembalaku datang membawa lilin. Lilin itu ia letakkan di dekat gerbang kandang. Gembalaku mengambil lampu minyak di dekatku dan membawanya pergi dari kandang.

Aku menatap nyala lilin yang oranye itu. Dalam apinya aku melihat senja yang diceritakan Ai-Winda. Senja mata dewa yang membuat manusia lelaki hilang akal. Aku melihat senyum Ai-Winda. Aku tertegun.

Angin malam menggoyang lidah api lilin, merahnya bergerak-gerak, memainkan bayanganku dan anggota kawanan di tembok kandang. Aku gamang. Aku menatap Sura dan gerendel pintu kandang. Aku ingat gunung besar di sebelah barat bukit. Aku tergugu menyimpan keinginan untuk memupuk keberanian. Akankah cukup waktuku mengumpulkan keberanian sebelum nyala lilin padam? [ ]

Bukan Tentang Pilihan



Bima duduk tak tenang di meja di sudut cafe. Posisinya yang menghadap pintu masuk mengharuskannya menoleh ke jam di dinding sebelah kanan untuk memastikan waktu. Dalam sepuluh menit terakhir, Bima sudah menengok lebih dari sepuluh kali untuk melihat sejauh apa waktu berjalan. Pintu kaca membuka dan menutup, orang berlalu-lalang, kopi dihidangkan, jejak bibir ditinggalkan di pucuk cangkir, senyum membungkus ucapan terima kasih secara halus. Kursi yang ditarik kemudian dikembalikan, dan waktu masih mendekat.

Di luar sana, dari balik kaca bersih yang mengkilap di bagian dalam, Bima memandangi potongan dunia yang bukan miliknya. Orang-orang yang tersekap di dalam kabin mobilnya, seorang pengemis yang memainkan tangan kirinya menggaruk bagian depan perutnya, seorang perempuan muda berjalan angkuh mengetukkan sepatunya ke jalan, tiang listrik bergeming di pinggir jalan mengabaikan hiruk pikuk di sekitarnya, awan berbondong-bondong mengikuti angin bertiup, burung-burung gereja bertengger di bentangan kabel listrik, dan penjual koran di lampu merah duduk terkantuk-kantuk di trotoar jalan. Dan Bima masih duduk sendiri menghadapi kursi kosong di depannya.
        
Bima memanggil pelayan dan memesan jus jeruknya yang kedua. Bima kembali melirik jam dinding. Wajah Bima berubah saat Irna muncul di pintu masuk cafe. Irna menoleh mencari Bima dan menghampirinya begitu Bima tampak dalam pandanganya. Irna menarik kursi, lalu menghempaskan tubuh tanpa permisi. Pandanganya sendu, kulit wajahnya tertarik, pipi-pipinya penuh; Irna sama sekali tak menatap Bima, sorot matanya jatuh pada tempat gula yang duduk diam menghalangi keduanya.
        
Bima diam mengamati Irna sembari menimbang apa yang akan ia perbuat. Bima memutuskan meraih tangan kiri Irna yang menumpuk di atas tangan kanannya, Bima menariknya ke tengah meja, memainkan ibu jarinya di punggung tangan Irna, berusaha menarik perhatian Irna. Irna meremas tangan Bima di genggamannya, melirik malas ke arah Bima, raut wajahnya masih cemberut. Mendapati itu, Bima mencoba tersenyum. Mata Irna bertanya tajam 'Apa??' Lalu melengos.
    
 "Hei..." Sapa Bima lembut, "kau ingat waktu kita pertama kali bertemu?" Goda Bima mencoba memancing senyum Irna. Irna tersenyum malu, pipinya yg putih perlahan memerah, lalu sekonyong-konyong memonyongkan bibirnya begitu melihat senyum Bima yang mencurigakan. "Raut wajahmu saat itu persis sekali seperti sekarang ini." Bima tersenyum hebat mengetahui telah berhasil menggoda Irna.
        
"Mas Be...." Suaranya manja meski dipenuhi malu. Irna tersenyum saat mengingat pertemuan pertama mereka, bagaimana ia dengan bodohnya menyerbu Bima dengan sebuah pelukan yang membuncahkan rindu. Tanpa sepatah katapun Irna membenamkan diri dalam pelukan Bima. Irna masih ingat benar kehangatan yang ia damba dari berbulan-bulan penantiannya, sebuah kehangatan tulus yang terbangun dari janji-janji yang dirajut dari kata saling percaya. Setelah memutuskan menjalani hubungan yang berawal dari situs jejaring pertemanan, Bima akhirnya memenuhi janjinya menemui Irna di kota Makassar. Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan melalui telepon, maka saat akhirnya bertemu, Irna hanya merasa diluapi kegugupan dan lupa akan keharusan bersikap. Irna menghambur-hamburkan kerinduannya, menjadikan nyata setiap rasa akan angannya yang semula sekadar berupa awan dilangit menjadi hujan yang turun membasahi bumi.
       
"Kenapa aku bisa bodoh sekali waktu itu?" Gumam Irna bukan pada siapapun. Bima membiarkan Irna meresapi kenangannya. Bima masih menggenggam tangan Irna. Bima ingin memeluknya, tapi tak ia lakukan.
        
"Kamu tau, Mas, aku tak pernah menganggap nyata dirimu sebelum hari itu. Bagiku, Lelaki baru bisa disebut lelaki saat omonganya bisa dipegang." Bima tersenyum tipis. "Aku tidak sungguh-sungguh menyangka bahwa Mas Be akan benar-benar datang ke Makassar."
        
"Kapan aku pernah bohong?"
         
"Bukan begitu Mas, aku tak mengira kamu bakalan bener-bener serius...." Ada ketakutan yang samar dari kata-kata Irna.
         
 "Apa aku pernah terlihat main-main?" Irna menggeleng. "Apa aku pernah sekalipun mundur saat kamu menceritakan tentang pannaik dan semua adat istiadatmu?" Irna kembali menggeleng.
      
"Kenapa kamu masih mau menerimaku?" Bima tersenyum mendengar pertanyaan Irna. Bima tahu bahwa Irna tak benar-benar tidak mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri.
        
Bima memastikan Irna menatap matanya saat Bima menjawab pertanyaan Irna. "Aku tidak pernah bermain-main untuk urusan hati. Bagiku, segala adat istiadat dan budaya daerahmu hanyalah caraku untuk menunjukkan kesungguhanku. Semua itu bukanlah suatu alasan yang bisa membatalkan perasaanku." Mata Irna kemudian memerah, tangannya gemetar, kuyu dalam genggaman tangan Bima.
         "Mas Be...." air mata mengembang sempurna di mata Irna yang merah. Bima tak berbuat apapun, Bima tak kuasa untuk sekadar menenangkan Irna. Bagaimana mungkin Bima menenangkan Irna sedang dirinya sendiri hancur melihat orang yang dikasihinya tak berdaya upaya menyembunyikan kesedihannya. Bima menciut seperti daun putri malu terkena air hujan. Irna menarik tangannya dari tangan Bima, Menyeka air matanya, dan masih mencoba tersenyum. Pelayan datang membawakan jus jeruk yg tadi dipesan Bima. Bima menyurukkannya ke depan Irna. Irna mengabaikannya mentah-mentah. Bergeming lemah menyurutkan sedannya. Bima mematung membiarkan Irna menikmati kesedihannya.
        
"Kamu ingat saat kamu membuatkan nasi goreng dan membawakannya ke hotel?" Irna masih ingat saat Bima menyuapinya, membuat Irna tahu jika nasi gorengnya keasinan, bahwa Bima tak berkomentar apapun dan menghabiskan nasi goreng itu lahap. Irna mencubit lengan Bima yang mengingatkan pada kebodohannya. Bima meringis aneh, antara kesakitan dan menertawakan.
         
"Bisakah kita pergi dari sini?" Pinta Irna memutus percakapan.
Bima bangkit tanpa berkata apapun. Pergi ke kasir membayar minumannya dengan diikuti Irna di belakangnya. Mereka keluar dari tempat itu dengan menyembuyikan kesedihan.
        
Irna berjalan sambil menggamit lengan Bima. Menyusuri jalan di sebuah taman kecil yang tak begitu ramai. Irna berhenti di sebuah kursi semen yang terletak di bawah pohon beringin berdaun rimbun. Irna memilih tempat duduk, Bima duduk di samping Irna. Satu dua daun-daun yang jatuh tak begitu menyita perhatian mereka, apalagi sepasang manusia yang juga duduk-duduk di kursi lain yang agak jauh dari mereka. Irna menatap Bima dengan pandangan lekat, Bima mencoba memberi senyum di wajah Irna namun gagal.
        
"Kau ingat saat pertama aku kerumahmu?" Lagi-lagi Bima mencoba memancing ingatan Irna. Dan cara itu memang berhasil, Irna sedikit tersenyum lucu. "Aku betul-betul gugup saat itu, saat aku akhirnya memberanikan diri berbicara pada papamu perihal maksud baikku dan keinginanku untuk mengenalmu lewat cara yang benar." Irna tersenyum lebar. "Apa kata papa, Mas?"
        
Bima tersenyum, sambil meraih tangan Irna, Bima menjawab. "Iya, bapak terima maksud baik anak, dan sementara biarlah yang berjalan ini berlanjut asal dengan cara yang baik, sebelum ada, ya istilahnya omongan antara orang tua, ada baiknya hubungan ini tak perlu terlalu jauh dulu."
      
Irna tersenyum ragu. Sambil melebarkan senyumnya dengan cara yg kurang tulus, Irna kemudian melanjutkan "kamu tahu mas, waktu mama mendengar pembicaraan Mas Be di ruang tamu bersama Papa, Mama langsung menangis. Tante Evi, Mas Be masih ingat dengan Tante Evi kan?" Bima mengangguk, "Tante Evi tersenyum meledek. Ya ampun, aku malu banget Mas."
        
Bima mengusap-usap jilbab Irna. Irna menatap Bima dalam diam kemudian. Sekonyong-konyong, air mata tumbuh seperti mata air di pelupuk mata Irna. Lagi-lagi Bima mematung, Bima ingin mengusap anak air mata itu, namun tiba-tiba Bima kebingungan hendak menyekanya dengan apa. Bima takut menyentuh pelupuk Irna, seolah air mata itu menular, Bima takut mata air itu turut membasahi matanya.
       
Awan putih di langit samar-samar menghalangi langit biru. Sinar matahari yang nakal berhasil menembus awan tipis untuk sampai ke bumi, ke daun-daun yang dipulas menjadi hijau. Angin yang cemburu menggoyang rimbunan dedaunan agar terhindar untuk sebentar dari sorot rakus matahari.
    
Bima membiarkan Irna puas menuntaskan seluruh tangisnya, berharap mampu menguras seluruh kesedihan.
       
 "Hei, kamu ingat apa permintaanmu waktu pertama kita bertemu? Kamu memintaku menggendongmu ke kamar mandi tapi malah kepalamu terbentur pintu?" Bima tersenyum. Irna memamerkan gigi-giginya. Irna memukul lengan bima tanpa kelembutan, mengusap pelipisnya seolah hal itu baru saja terjadi.
      
"Rumah-rumah kita Mas Be??" Irna menggigit bibirnya mengingat betapa jejak Bima tertinggal di bilik-bilik paling rahasia di surat elektronik mereka, betapa sebuah tulisan absurd terpampang di blog mereka tentang pohon dan tanah dan daun yang gugur. Tulisan yang mereka buat dengan menggabungkan kalimat demi kalimat yang mereka ajukan secara bergantian. Bima menyentuh hidung Irna seperti menekan bel. Mereka tersenyum lagi.
       
"Setidaknya, seharusnya aku tak perlu mendengar rayuanmu yang menjengkelkan itu." Sungut Irna tanpa kesungguhan.
      
 "Kamu yakin bisa tahan tidak mendengar lagu pengantar tidur dari suaraku yang seperti Sammy Kerispatih ini?" Goda Bima, yang mendapat imbalan sebuah cubitan kecil di perut buncit Bima, yang kemudian dielus-elusnya mesra.
         
"Jadi, akan seperti ini sajakah akhir kisah kita Mas?" Tanya Irna dengan mata yang nanar kemudian.
         
"Harus bagaimana lagi kita berbuat?"
          
"Tidak adakah lagi jalan yang bisa menyenangkan semua pihak?"
        
Bima membuang pandangannya ke tempat dimana tanah tidak ditumbuhi rumput, hanya jalan keras yang singkat menuju jalan raya; kosong. "Apa lagi yang bisa kita lakukan?"
          
"Kenapa itu bukan tugasmu untuk mencari jalan keluar?" Protes Irna setengah hati.
          
 Bima menggeleng. "Aku tidak bisa melihat ibu sendirian dirumah. Kamu tahu itu kan? Ibu tak pernah melarangku melakukan apapun, tapi bukan itu yang aku inginkan untuk ibu. Satu-satunya hal yang kuinginkan adalah melayani ibu. Dan kamu tahu ibu tak mungkin pergi dari rumah, ibu tak bisa meninggalkan bapak yg sedang sakit." Segala senyum Irna yang tadi begitu hidup di wajahnya seketika meruap. Sebuah wajah sendu kembali menjelma, mengingatkan Bima pada pertemuan pertama mereka. "Apa Mama masih tidak mau melepasmu?" Irna ingat betul kata-kata Mamanya. Bahwa setelah menikah ia tidak boleh pergi dari rumah. Bahwa Mamanya ingin Irna tetap di rumah orang tuanya kalau mereka akhirnya menikah. Irna tahu Irna perempuan, bahwa ia harus mengikuti kehendak suaminya kelak, tapi Irna tak sanggup mengabaikan permintaan Mamanya. Begitu pun dengan Bima, Irna tahu Bima pun tak mungkin pergi dari rumah, meninggalkan ibunya.
        
Sorot mata Irna kosong. "Aku gak bisa Mas ninggalin Mama sendiri. Mas juga kan ga bisa ninggalin Ibu?" Bima diam. Irna menangis lagi. Bima menaruh Irna di dadanya, mengecup lembut kepala Irna. "Akan seperti ini sajakah akhir cerita kita, Mas?" Irna mendongak mencari jawaban. Bima bungkam, raut wajahnya kokoh.
         
Irna kemudian mengambil jarak. Bangkit. "Maafkan aku Mas!" Irna berbalik dan meninggalkan Bima. Irna melangkah cepat-cepat tanpa mempertimbangkan lagi sebuah keputusan akan berubah. Irna sudah paham benar kini, hidup tak sekadar keinginan, bahwa mengalah pada hidup bukanlah keburukan. Irna meninggalkan taman tanpa menoleh lagi. [ ]


 Catatan : Pannaik = uang seserahan