Sabtu, 31 Agustus 2013

Bukan Tentang Pilihan



Bima duduk tak tenang di meja di sudut cafe. Posisinya yang menghadap pintu masuk mengharuskannya menoleh ke jam di dinding sebelah kanan untuk memastikan waktu. Dalam sepuluh menit terakhir, Bima sudah menengok lebih dari sepuluh kali untuk melihat sejauh apa waktu berjalan. Pintu kaca membuka dan menutup, orang berlalu-lalang, kopi dihidangkan, jejak bibir ditinggalkan di pucuk cangkir, senyum membungkus ucapan terima kasih secara halus. Kursi yang ditarik kemudian dikembalikan, dan waktu masih mendekat.

Di luar sana, dari balik kaca bersih yang mengkilap di bagian dalam, Bima memandangi potongan dunia yang bukan miliknya. Orang-orang yang tersekap di dalam kabin mobilnya, seorang pengemis yang memainkan tangan kirinya menggaruk bagian depan perutnya, seorang perempuan muda berjalan angkuh mengetukkan sepatunya ke jalan, tiang listrik bergeming di pinggir jalan mengabaikan hiruk pikuk di sekitarnya, awan berbondong-bondong mengikuti angin bertiup, burung-burung gereja bertengger di bentangan kabel listrik, dan penjual koran di lampu merah duduk terkantuk-kantuk di trotoar jalan. Dan Bima masih duduk sendiri menghadapi kursi kosong di depannya.
        
Bima memanggil pelayan dan memesan jus jeruknya yang kedua. Bima kembali melirik jam dinding. Wajah Bima berubah saat Irna muncul di pintu masuk cafe. Irna menoleh mencari Bima dan menghampirinya begitu Bima tampak dalam pandanganya. Irna menarik kursi, lalu menghempaskan tubuh tanpa permisi. Pandanganya sendu, kulit wajahnya tertarik, pipi-pipinya penuh; Irna sama sekali tak menatap Bima, sorot matanya jatuh pada tempat gula yang duduk diam menghalangi keduanya.
        
Bima diam mengamati Irna sembari menimbang apa yang akan ia perbuat. Bima memutuskan meraih tangan kiri Irna yang menumpuk di atas tangan kanannya, Bima menariknya ke tengah meja, memainkan ibu jarinya di punggung tangan Irna, berusaha menarik perhatian Irna. Irna meremas tangan Bima di genggamannya, melirik malas ke arah Bima, raut wajahnya masih cemberut. Mendapati itu, Bima mencoba tersenyum. Mata Irna bertanya tajam 'Apa??' Lalu melengos.
    
 "Hei..." Sapa Bima lembut, "kau ingat waktu kita pertama kali bertemu?" Goda Bima mencoba memancing senyum Irna. Irna tersenyum malu, pipinya yg putih perlahan memerah, lalu sekonyong-konyong memonyongkan bibirnya begitu melihat senyum Bima yang mencurigakan. "Raut wajahmu saat itu persis sekali seperti sekarang ini." Bima tersenyum hebat mengetahui telah berhasil menggoda Irna.
        
"Mas Be...." Suaranya manja meski dipenuhi malu. Irna tersenyum saat mengingat pertemuan pertama mereka, bagaimana ia dengan bodohnya menyerbu Bima dengan sebuah pelukan yang membuncahkan rindu. Tanpa sepatah katapun Irna membenamkan diri dalam pelukan Bima. Irna masih ingat benar kehangatan yang ia damba dari berbulan-bulan penantiannya, sebuah kehangatan tulus yang terbangun dari janji-janji yang dirajut dari kata saling percaya. Setelah memutuskan menjalani hubungan yang berawal dari situs jejaring pertemanan, Bima akhirnya memenuhi janjinya menemui Irna di kota Makassar. Setelah berbulan-bulan menjalani hubungan melalui telepon, maka saat akhirnya bertemu, Irna hanya merasa diluapi kegugupan dan lupa akan keharusan bersikap. Irna menghambur-hamburkan kerinduannya, menjadikan nyata setiap rasa akan angannya yang semula sekadar berupa awan dilangit menjadi hujan yang turun membasahi bumi.
       
"Kenapa aku bisa bodoh sekali waktu itu?" Gumam Irna bukan pada siapapun. Bima membiarkan Irna meresapi kenangannya. Bima masih menggenggam tangan Irna. Bima ingin memeluknya, tapi tak ia lakukan.
        
"Kamu tau, Mas, aku tak pernah menganggap nyata dirimu sebelum hari itu. Bagiku, Lelaki baru bisa disebut lelaki saat omonganya bisa dipegang." Bima tersenyum tipis. "Aku tidak sungguh-sungguh menyangka bahwa Mas Be akan benar-benar datang ke Makassar."
        
"Kapan aku pernah bohong?"
         
"Bukan begitu Mas, aku tak mengira kamu bakalan bener-bener serius...." Ada ketakutan yang samar dari kata-kata Irna.
         
 "Apa aku pernah terlihat main-main?" Irna menggeleng. "Apa aku pernah sekalipun mundur saat kamu menceritakan tentang pannaik dan semua adat istiadatmu?" Irna kembali menggeleng.
      
"Kenapa kamu masih mau menerimaku?" Bima tersenyum mendengar pertanyaan Irna. Bima tahu bahwa Irna tak benar-benar tidak mengetahui jawaban dari pertanyaannya sendiri.
        
Bima memastikan Irna menatap matanya saat Bima menjawab pertanyaan Irna. "Aku tidak pernah bermain-main untuk urusan hati. Bagiku, segala adat istiadat dan budaya daerahmu hanyalah caraku untuk menunjukkan kesungguhanku. Semua itu bukanlah suatu alasan yang bisa membatalkan perasaanku." Mata Irna kemudian memerah, tangannya gemetar, kuyu dalam genggaman tangan Bima.
         "Mas Be...." air mata mengembang sempurna di mata Irna yang merah. Bima tak berbuat apapun, Bima tak kuasa untuk sekadar menenangkan Irna. Bagaimana mungkin Bima menenangkan Irna sedang dirinya sendiri hancur melihat orang yang dikasihinya tak berdaya upaya menyembunyikan kesedihannya. Bima menciut seperti daun putri malu terkena air hujan. Irna menarik tangannya dari tangan Bima, Menyeka air matanya, dan masih mencoba tersenyum. Pelayan datang membawakan jus jeruk yg tadi dipesan Bima. Bima menyurukkannya ke depan Irna. Irna mengabaikannya mentah-mentah. Bergeming lemah menyurutkan sedannya. Bima mematung membiarkan Irna menikmati kesedihannya.
        
"Kamu ingat saat kamu membuatkan nasi goreng dan membawakannya ke hotel?" Irna masih ingat saat Bima menyuapinya, membuat Irna tahu jika nasi gorengnya keasinan, bahwa Bima tak berkomentar apapun dan menghabiskan nasi goreng itu lahap. Irna mencubit lengan Bima yang mengingatkan pada kebodohannya. Bima meringis aneh, antara kesakitan dan menertawakan.
         
"Bisakah kita pergi dari sini?" Pinta Irna memutus percakapan.
Bima bangkit tanpa berkata apapun. Pergi ke kasir membayar minumannya dengan diikuti Irna di belakangnya. Mereka keluar dari tempat itu dengan menyembuyikan kesedihan.
        
Irna berjalan sambil menggamit lengan Bima. Menyusuri jalan di sebuah taman kecil yang tak begitu ramai. Irna berhenti di sebuah kursi semen yang terletak di bawah pohon beringin berdaun rimbun. Irna memilih tempat duduk, Bima duduk di samping Irna. Satu dua daun-daun yang jatuh tak begitu menyita perhatian mereka, apalagi sepasang manusia yang juga duduk-duduk di kursi lain yang agak jauh dari mereka. Irna menatap Bima dengan pandangan lekat, Bima mencoba memberi senyum di wajah Irna namun gagal.
        
"Kau ingat saat pertama aku kerumahmu?" Lagi-lagi Bima mencoba memancing ingatan Irna. Dan cara itu memang berhasil, Irna sedikit tersenyum lucu. "Aku betul-betul gugup saat itu, saat aku akhirnya memberanikan diri berbicara pada papamu perihal maksud baikku dan keinginanku untuk mengenalmu lewat cara yang benar." Irna tersenyum lebar. "Apa kata papa, Mas?"
        
Bima tersenyum, sambil meraih tangan Irna, Bima menjawab. "Iya, bapak terima maksud baik anak, dan sementara biarlah yang berjalan ini berlanjut asal dengan cara yang baik, sebelum ada, ya istilahnya omongan antara orang tua, ada baiknya hubungan ini tak perlu terlalu jauh dulu."
      
Irna tersenyum ragu. Sambil melebarkan senyumnya dengan cara yg kurang tulus, Irna kemudian melanjutkan "kamu tahu mas, waktu mama mendengar pembicaraan Mas Be di ruang tamu bersama Papa, Mama langsung menangis. Tante Evi, Mas Be masih ingat dengan Tante Evi kan?" Bima mengangguk, "Tante Evi tersenyum meledek. Ya ampun, aku malu banget Mas."
        
Bima mengusap-usap jilbab Irna. Irna menatap Bima dalam diam kemudian. Sekonyong-konyong, air mata tumbuh seperti mata air di pelupuk mata Irna. Lagi-lagi Bima mematung, Bima ingin mengusap anak air mata itu, namun tiba-tiba Bima kebingungan hendak menyekanya dengan apa. Bima takut menyentuh pelupuk Irna, seolah air mata itu menular, Bima takut mata air itu turut membasahi matanya.
       
Awan putih di langit samar-samar menghalangi langit biru. Sinar matahari yang nakal berhasil menembus awan tipis untuk sampai ke bumi, ke daun-daun yang dipulas menjadi hijau. Angin yang cemburu menggoyang rimbunan dedaunan agar terhindar untuk sebentar dari sorot rakus matahari.
    
Bima membiarkan Irna puas menuntaskan seluruh tangisnya, berharap mampu menguras seluruh kesedihan.
       
 "Hei, kamu ingat apa permintaanmu waktu pertama kita bertemu? Kamu memintaku menggendongmu ke kamar mandi tapi malah kepalamu terbentur pintu?" Bima tersenyum. Irna memamerkan gigi-giginya. Irna memukul lengan bima tanpa kelembutan, mengusap pelipisnya seolah hal itu baru saja terjadi.
      
"Rumah-rumah kita Mas Be??" Irna menggigit bibirnya mengingat betapa jejak Bima tertinggal di bilik-bilik paling rahasia di surat elektronik mereka, betapa sebuah tulisan absurd terpampang di blog mereka tentang pohon dan tanah dan daun yang gugur. Tulisan yang mereka buat dengan menggabungkan kalimat demi kalimat yang mereka ajukan secara bergantian. Bima menyentuh hidung Irna seperti menekan bel. Mereka tersenyum lagi.
       
"Setidaknya, seharusnya aku tak perlu mendengar rayuanmu yang menjengkelkan itu." Sungut Irna tanpa kesungguhan.
      
 "Kamu yakin bisa tahan tidak mendengar lagu pengantar tidur dari suaraku yang seperti Sammy Kerispatih ini?" Goda Bima, yang mendapat imbalan sebuah cubitan kecil di perut buncit Bima, yang kemudian dielus-elusnya mesra.
         
"Jadi, akan seperti ini sajakah akhir kisah kita Mas?" Tanya Irna dengan mata yang nanar kemudian.
         
"Harus bagaimana lagi kita berbuat?"
          
"Tidak adakah lagi jalan yang bisa menyenangkan semua pihak?"
        
Bima membuang pandangannya ke tempat dimana tanah tidak ditumbuhi rumput, hanya jalan keras yang singkat menuju jalan raya; kosong. "Apa lagi yang bisa kita lakukan?"
          
"Kenapa itu bukan tugasmu untuk mencari jalan keluar?" Protes Irna setengah hati.
          
 Bima menggeleng. "Aku tidak bisa melihat ibu sendirian dirumah. Kamu tahu itu kan? Ibu tak pernah melarangku melakukan apapun, tapi bukan itu yang aku inginkan untuk ibu. Satu-satunya hal yang kuinginkan adalah melayani ibu. Dan kamu tahu ibu tak mungkin pergi dari rumah, ibu tak bisa meninggalkan bapak yg sedang sakit." Segala senyum Irna yang tadi begitu hidup di wajahnya seketika meruap. Sebuah wajah sendu kembali menjelma, mengingatkan Bima pada pertemuan pertama mereka. "Apa Mama masih tidak mau melepasmu?" Irna ingat betul kata-kata Mamanya. Bahwa setelah menikah ia tidak boleh pergi dari rumah. Bahwa Mamanya ingin Irna tetap di rumah orang tuanya kalau mereka akhirnya menikah. Irna tahu Irna perempuan, bahwa ia harus mengikuti kehendak suaminya kelak, tapi Irna tak sanggup mengabaikan permintaan Mamanya. Begitu pun dengan Bima, Irna tahu Bima pun tak mungkin pergi dari rumah, meninggalkan ibunya.
        
Sorot mata Irna kosong. "Aku gak bisa Mas ninggalin Mama sendiri. Mas juga kan ga bisa ninggalin Ibu?" Bima diam. Irna menangis lagi. Bima menaruh Irna di dadanya, mengecup lembut kepala Irna. "Akan seperti ini sajakah akhir cerita kita, Mas?" Irna mendongak mencari jawaban. Bima bungkam, raut wajahnya kokoh.
         
Irna kemudian mengambil jarak. Bangkit. "Maafkan aku Mas!" Irna berbalik dan meninggalkan Bima. Irna melangkah cepat-cepat tanpa mempertimbangkan lagi sebuah keputusan akan berubah. Irna sudah paham benar kini, hidup tak sekadar keinginan, bahwa mengalah pada hidup bukanlah keburukan. Irna meninggalkan taman tanpa menoleh lagi. [ ]


 Catatan : Pannaik = uang seserahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar