Sabtu, 31 Agustus 2013

Punuk Merindukan Senja

Di sini, hijau adalah kelebihan, terserak tak beraturan. Daun tumbuh mencapai usia puncaknya. Bunga-bunga warna-warni mekar dan layu dimakan usia. Hanya rumput yang tak bernasib baik di sini; kadang, pucuk-pucuk sulurnya habis kumakan kalau aku sedang lapar.

Aku masih berdiri di atas kaki-kakiku, menjejak rumput-rumput hijau yang tak menarik seleraku, hari ini aku hanya ingin makan rumput yang ranum. Aku gigit, aku penuhi mulutku dengan rumput yang tebal, yang mengandung air; aku tarik dengan gerakan kepala yang menghentak, mengunyahnya khidmat. Aroma getah rumput menguar, menjangkiti udara yang penuh dengan bau embun. Aku berjalan ke depan, memanjangkan lidahku, meraih bunga-bunga rumput liar. Aku suka biji bunga rumput liar.

Hari ini aku akan makan biji-bijian rumput-rumput liar di bukit ini sepuasku. Tentu saja aku bisa. Aku sendirian, selalu sendirian di bukit ini. Kawananku ada di kaki bukit. Mereka terlalu malas untuk mendaki. Memang aku masih muda, sedang mekar ibarat bunga, jaringan ototku masih segar dan kuat; tapi, itu bukan alasan untuk kawananku, aku merasa mereka hanya malas. Mereka tidak tahu jika di puncak bukit ini ada teman yang menyenangkan. Dan memang aku sengaja tak menceritakan pada yang lain akan apa yang aku temukan. Aku tidak sudi ada anggota kawananku yang ikut naik ke bukit ini, cukuplah untukku sendiri.

Bahwa usahaku mencuri kelengahan gembalaku untuk naik ke atas sini jelas bukan kesia-siaan. Sejak pertama aku mendengar cerita dari Ai-Winda, aku langsung tahu kepada siapa nanti aku akan menghamba dan mengabdikan hidupku. Aku belum pernah bertemu dengan mahkluk jelita yang kerap Ai-Winda ceritakan, namun kecantikan gambaran mahkluk itu telah memenuhi pikiranku yang sempit. Dan aku tak tahu bagaimana aku mengusir bayangan keindahannya. Aku hanya membiarkannya tumbuh memenuhi diriku, sambil terus memupuknya. Seperti hari ini, aku ingin lagi mendengarkan cerita Ai-Winda tentangnya. Tapi nanti, Ai-Winda sedang memberi makan seluruh keluarganya. 

Ai-Winda adalah pohon meranti besar di puncak bukit. Ai-Winda mendapatkan namanya dari pahatan yang dibuat sepasang manusia tak berperasaan yang sambil tersenyum melukai kulit Ai-Winda. Setelah luka di kulitnya mengering beberapa hari kemudian, ada seekor burung nuri yang mengenali ukiran di kulit Ai-Winda, sebuah tulisan dalam bahasa manusia yg dikurung dalam bentuk aneh seperti daun talas, burung nuri itu kemudian untuk pertama kali memanggilnya Ai-Winda.

Ai-Winda adalah pohon yang umurnya jauh lebih tua dari nenekku. Tidak heran jika Ai-Winda mengetahui banyak hal, dan aku selalu dengan suka diri bermalas-malasan di pangkal batangnya di tengah siang yang panas, bernaung di lingkar keteduhan dedaunannya sambil mendengarkan Ai-Winda bercerita. Entah darimana cerita-cerita Ai-Winda berasal. Cerita-ceritanya kadang aneh dan tak bisa kubayangkan. Tapi bagiku yang baru seumur jagung mengenal alam, cerita Ai-Winda adalah kemewahan tak terperi. Dan tak kutemukan ujung kebosanan dari cerita-cerita Ai-Winda. Aku pun selalu datang mendengarkan cerita-ceritanya.

Matahari sedang tinggi, panasnya membuat bulu ekorku berkilau. Aku mengibaskan ekorku, berayun lepas dari kanan ke kiri. Seekor burung kutilang melintas di atasku dan bertengger di salah satu dahan Ai-Winda. Angin panjang menggodaku, pucuk-pucuk rumput meliuk ke arah Ai-Winda. Aku melangkah pelan sambil 
menghabiskan rumput segar di mulutku. Di bawah kerindangan Ai-Winda aku mengambil kenyamanan, menekuk kaki-kakiku dan berbaring.

Aku melenguh-lenguh memanggil Ai-Winda. Dengan bantuan angin Ai-Winda melambaikan daun-daunnya. Satu-dua daunnya yang menguning lepas menuju tanah. Burung kutilang tadi pun turut menaruh perhatian padaku; paruhnya berkilat, matanya yang bening tersenyum riang, dan ekornya bergerak-gerak tak beraturan.

"Tak mau kah kau mengambil barang satu-dua kutu di punggungku?" tanyaku pada kutilang yang kemudian terbang untuk hinggap di punggungku.

"Bagaimana rumput hari ini, Bot? Apakah cukup mengenyangkan perut?"

"Rumput hari ini manis sekali kurasa." aku merebahkan kepalaku ke tanah.
            
"Bagaimana makanan untuk keluargamu hari ini, cukup?"
        
"Ya tentu saja. Hanya saja hari ini aku harus menyuruh akar pergi lebih dalam lagi untuk mengambil  air."
        
"Ah ya, air di dangau sekarang ini telah jauh menyusut." Ai-Winda tak menanggapi. "Ada cerita apa yang kamu punya untukku hari ini?"
         
Ai-Winda tersenyum. "Aih Ebot, apa yang hendak kau dengar hari ini?" Aku melenguh, terkekeh. "Ya ya, aku tahu."

Lalu, Ai-Winda mulai menceritakan suatu kisah. Ai-Winda bercerita, seorang manusia tersohor pernah membuatkan sebuah lagu tentang senja. Dalam lagu itu sang biduan bernyanyi tentang sepasang kekasih yang asyik masyuk menikmati sebuah senja di pantai, dalam kekhusukan itu, si manusia lelaki ini kemudian terpukau oleh senja itu. Kemudian, seperti hilang akal, si manusia lelaki itu berlari mengejar senja yang tenggelam di laut barat, berlari meninggalkan kekasihnya. Si manusia lelaki kemudian mati tenggelam di laut.
Bagaimana tidak hilang akal, mereka bilang senja itu layaknya Matadewa. Aku terpekur, hampir hilang akal membayangkan rupa senja.
       
"Dan kau jangan hilang akal pula Bot, seperti manusia lelaki tadi." Tegur Ai-Winda membangunkan lamunanku yang tengah mengkhayalkan si matadewa.
         
"Tapi, senja memang elok. Wajar kiranya manusia lelaki itu hilang akal." Ujar Kutilang menimpali cerita Ai-Winda.
        
"Ah sebaiknya aku tidak bercerita macam-macam tentang senja lagi pada Ebot, kulihat akhir-akhir ini kau seringkali kesini minta diceritakan tentang senja melulu. Jelas, aku takut kamu hilang akal seperti manusia lelaki dalam cerita barusan."

Aku bangun tanpa maksud mengusir Kutilang. Kutilang masih tekun mencari kutu di punggungku. Aku berjalan lamban menjauhi Ai-Winda, berjalan ke bibir bukit. Di kaki bukit aku lihat kawananku berkumpul di dekat dangau. Gembalaku masih pulas di bawah pohon asem. Aku melihat batas cakrawala, ujungnya menggodaku. Aku teringat cerita Ai-Winda tentang mata dewa, menjadi hilang akal memang menggiurkan. Saat kulihat di arah barat ada gunung menjulang, aku tergugu, ragu. Aku melengos, mencari ibu di antara kawananku. Aku menuruni bukit dengan gamang. Hari ini aku akan kembali ke kandang. Aku tahu, aku memutuskan untuk hari ini.

           ***

Hari ini gembalaku menggiring kawananku ke seberang dangau, agak jauh dari bukit dimana Ai-Winda biasa menungguku. Rumput-rumput disini masih tumbuh sempurna, baik untuk kawananku. Aku sedang mengunyah rumput saat Sura mendekat. Sura adalah betina yang menuju matang. Bisa dibilang aku dan Sura seumuran. Kami lahir selang seminggu, Ayah kami sama. Sura adalah betina muda dalam bentuk terbaiknya. Pinggulnya besar dan kantung susunya mengembang serta kulitnya berkilauan. Kami makan bersisian, bahkan sesekali hendak merangsek ke rumput yang sama. Aku tahu Sura suatu saat bisa melahirkan anak-anakku. Tapi aku takkan mau memikirkannya hari ini.

Kawananku yang lain tersebar tak merata. Ada yang duduk-duduk di bawah pohon yang rendah, ada yang sedang minum, tapi kebanyakan makan dengan lahap. Gembalaku sudah merebahkan diri tak jauh dari tempat aku makan. Aku cuma harus menunggu.

Samar-samar aku mendengar suara-suara aneh. Di kejauhan, dari sumber yang tak bisa kuperkirakan, suara aneh itu melengking makin nyaring. Meraung. Pada mulanya aku berusaha mengabaikan suara itu. Aku mencoba tetap khusuk mencari rumput-rumput yang mulai menyimpan biji-bijian di pucuk tangkainya. Tapi suara itu serupa bayangan senja di pikiranku, mulai mengusik. Aku pergi ke dangau, suara itu masih mengikuti.

Aku pura-pura melintas di dekat gembalaku. Seperti harapanku, gembalaku telah nyenyak. Aku pun beringsut. Berjalan pelan menuju bukit di seberang dangau, mengitari dangau, mengendap-endap meninggalkan tempat itu.

Sesungguhnya, barangkali tak ada anggota kawananku yang bakal menghiraukan kebaradaan dan kedekatanku dengan bukit ini. Maka tak heran bila usahaku untuk pergi ke bukit ini selalu berhasil dengan telak. Semakin naik aku mendaki bukit ini, suara aneh itu justru kian nyalang. Sesampainya di bibir bukit, saat akhirnya aku bisa melihat semua hal secara lebih leluasa, aku mematung. Aku melihat beberapa orang manusia tengah melukai Ai-Winda. Manusia-manusia itu tengah berusaha dengan sabar untuk memisahkan badan Ai-Winda dari akarnya, mengisolir Ai-Winda dari sumber penghidupannya. Ai-Winda tersenyum kala melihatku. Aku masih mematung tak percaya.

Saat aku mendekat, tercium segar bau darah Ai-Winda. Tapi aku tak bisa mendekat pada Ai-Winda. Setiap aku mencoba maju merangsek pada Ai-Winda, manusia-manusia berbau aneh itu menghalauku, mengusirku secara pasti.

Akhirnya aku cuma bisa menyaksikan Ai-Winda bertahan tanpa berbuat apapun. Sambil mengunyah rumput pahit di depanku aku menyimpan tanya 'siapa yang akan bercerita tentang senja padaku?'. Bahwa aku tak bisa berbuat apa-apa. Kemudian terdengar suara Ai-Winda terpisah dari akarnya, membahana.

Di sini,  di bukit ini, hari ini satu pohon telah tumpas ditangan manusia yang katanya berakal. Ai-Winda yang jauh lebih tahu daripada siapapun tentang hal-hal berlaku di alam ini berdebam ke tanah. Ai-Winda tersenyum ke arahku; dalam ketenangan, akhirnya Ai-Winda menerima kekalahannya tanpa keluhan. Ai-Winda berbaring melintang di tanah untuk terakhir kalinya. Aku hampir tak sanggup melihat Ai-Winda roboh, aku pergi menuruni bukit, meninggalkan Ai-Winda di belakang.

            ***
Langit mulai gelap saat kawananku kembali masuk kandang. Aku berdiri hening di sudut kandang, dekat dengan lampu minyak yang tergantung di atas dinding kandang.

Peristiwa tadi siang sungguh memukulku. Bayangan tentang senja dan Ai-Winda tak mau pergi dari pikiranku. Aku tahu aku tak bisa lagi mendengarkan cerita Ai-Winda tentang senja yang membuat seorang manusia lelaki hilang akal oleh kecantikan senja.

Dalam kekalutanku, Sura mendekat, menempelkan badannya padaku. Kulit perutnya yang hangat menyentuh kulit perutku. Mata Sura yang matang menggugah kesedihanku. Sura menoleh padaku, tersenyum; aku melihat senyum Ai-Winda di mata Sura.

Lalu, sekonyong-konyong, gembalaku datang membawa lilin. Lilin itu ia letakkan di dekat gerbang kandang. Gembalaku mengambil lampu minyak di dekatku dan membawanya pergi dari kandang.

Aku menatap nyala lilin yang oranye itu. Dalam apinya aku melihat senja yang diceritakan Ai-Winda. Senja mata dewa yang membuat manusia lelaki hilang akal. Aku melihat senyum Ai-Winda. Aku tertegun.

Angin malam menggoyang lidah api lilin, merahnya bergerak-gerak, memainkan bayanganku dan anggota kawanan di tembok kandang. Aku gamang. Aku menatap Sura dan gerendel pintu kandang. Aku ingat gunung besar di sebelah barat bukit. Aku tergugu menyimpan keinginan untuk memupuk keberanian. Akankah cukup waktuku mengumpulkan keberanian sebelum nyala lilin padam? [ ]

2 komentar:

  1. Dan aku tak tahu bagaimana aku mengusir bayangan keindahannya. << Sebaiknya hilangkan kata Dan. Kata sambung jangan jd awalan kalimat.

    Hari ini gembalaku menggiring kawananku ke seberang dangau, agak jauh dari bukit dimana Ai-Winda biasa menungguku. Rumput-rumput disini masih tumbuh sempurna, baik untuk kawananku. Aku sedang mengunyah rumput saat Sura mendekat. << yang benar, di mana dan di sini

    Di sini, di bukit ini, hari ini satu pohon telah tumpas ditangan manusia yang katanya berakal. << yang benar, di tangan manusia


    "Rumput hari ini manis sekali kurasa." aku merebahkan kepalaku ke tanah. << seharunya kata aku setelah tanda petik itu huruf A-nya besar

    Over all, bagus kak ceritanya. Tuhkan terbukti, banyak baca mempengaruhi tulisan. Tulisan kakak bagus, spt bacaannya. Good Job :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe aku seringkali jatuh dipenggunaan kata di, sebagai kata depan dan imbuhan, mungkin karena sudah terlalu biasa menulisnya begitu jadi turut terbawa saat menulis sesuatu pada bersifat tak formal seperti sms dan sebagainya :))

      nah terima kasih Dane sudah mau mampir :D

      Hapus