Selasa, 22 September 2015

Just try to keep up with the game!




Apa yang ada di kepala anda ketika pertama kali mendengar Winter Dreams sebagai sebuah judul buku? Well, ketika pertama kali saya membacanya di sampul buku Maggie Tiojakin, yang terlintas dalam benak saya adalah sebuah buku tentang romansa. Winter, musim dingin, dalam kepala saya adalah kedinginan, atau kesepian; yang berangkat dari sana, dengan embel-embel Dreams, tak pelak judul itu langsung menggiring pikiran saya akan sebuah kisah cinta.

Memang, ada pula kisah tentang asmara Nicky di buku ini. Tapi saya kira itu bukanlah topik utama yang hendak disampaikan oleh Maggie melalui buku ini. Winter Dreams saya kira lebih merupakan perjalanan tokoh seorang Nicky di negeri orang, dalam buku ini adalah Amerika serikat. Dan seperti imigran lainnya, percaya atau tidak, belum lama ini, entah takdir atau bukan, saya baru selesai membaca dua buah buku yang juga berisi tentang kisah para imigran, tapi saya tidak akan membahasnya di sini kali ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa mereka(imigran/perantau/pengelana/penyintas) selalu memiliki pergulatan batin yang sama: yaitu berada di dalam keadaan tercerabut akarnya dari tanah mereka di lahirkan dan hal-hal baru/indah yang menanti mereka di tanah yang baru. Mereka ingin menancapkan akar mereka ke tanah, mereka mencari kebebasan, mendambakan hidup yang baru, masa depan.

Tidak hanya Nicky, namun ada juga tokoh seperti Esme, seorang Meksiko dengan gelar S2 di kampungnya yang harus bekerja sebagai pengasuh anak di Amerika karena Esme masuk ke Amerika dengan visa turis. Gelar dan kecakapannya tidak berarti apa-apa selama Esme bukan orang Amerika atau setidaknya datang dengan dokumen yang seharusnya. Lalu ada Sammy, rekan kerja Nicky, sopir limousin, seorang warga Pantai Gading yang menjadi tulang punggung keluarganya; yang ketika baru saja mengirim istri dan anaknya ke Amerika terancam dideportasi karena Sammy tinggal di Amerika sebagai warga ilegal, sama seperti Nicky.

Membaca Maggie adalah membaca literatur klasik dunia. Hal itu tentu saja tidak lepas dari pengaruh bacaannya, yang jelas terlihat dari situs fiksilotus.com yang ia kelola. Di sana anda akan menemukan referensi bacaan cerpen-cerpen para penulis hebat di seluruh dunia yang diterjemahkan Maggie. Dan hal itu tidak hilang di dalam buku ini. Maggie menulis dengan cara yang sama ketika ia menulis cerpen. Ia menuturkan sebuah kisah dalam bentuk novel tanpa gejolak emosi yang meledak-ledak. Flat, namun tetap asyik untuk diikuti.

Sebagai contoh, buku ini dibuka dengan adegan ketika Nicky baru saja dipukul oleh ayahnya yang temperamental sejak ditinggal kabur oleh ibu Nicky. Maggie menggambarkannya tanpa feel sama sekali, tidak ada keluhan dari sang tokoh utama, seolah seluruh kejadian itu wajar adanya. Bahkan adegan-adegan ketika Nicky jatuh cinta kepada Polina, tidak ada kalimat berbunga-bunga di sana.

Salah satu kejadian yang menarik bagi saya di buku ini ada ketika Nicky pergi ke tukang ramal. Saat itu Nicky bertanya ‘Will I ever be happy?’ lalu dijawab dengan lugas oleh si peramal ‘That is up to you.’ Ketika Nicky memprotes karena peramal itu bahkan tidak melihat pada bola kristalnya, si peramal langsung menjawab ‘aku tidak perlu melakukannya.’ Saya suka konsep bahagia yang ditawarkan oleh Maggie. Apakah anda akan selalu bahagia? Itu terserah anda.

Satu lagi, pada suatu kesempatan, ketika Nicky sedang menonton sebuah permainan hockey di atas sebuah danau yang airnya membeku, seorang remaja kemudian mengundang Nicky ikut bermain hockey, Nicky tidak bisa bermain hockey, belum pernah berseluncur di atas es, tetapi remaja itu memakaikan peralatan hockey dan berujar ‘Now follow your gut and try to keep up with the game.’ Anda lihat? Kita lahir di dunia ini tanpa tahu apa itu hidup, tidak tahu harus melakukan apa dengan hidup kita. Kita tidak tahu apa-apa. Maggie bilang kepada kita bahwa kita cuma harus mengikuti keberanian atau insting kita, sambil terus mencoba mengikuti/mengimbangi permainan(hidup). Tidak ada yang perlu ditakutkan.

Begitulah Maggie, dengan sederhana, menyampaiikan pesan kepada pembacanya tanpa perlu berkhotbah, tidak terasa kesan menggurui. Buku ini bukanlah jenis buku populer seperti yang ada dibayanganku. Namun juga, buku ini bukan buku yang harus dibaca dengan kening berkerut. Sebuah karya yang ciamik dari Maggie Tiojakin.
                               
Judul                : Winter Dreams
Penulis             : Maggie Tiojakin
Pernerbit          : Gramedia 
Tahun terbit      : cetakan pertama, 2010
ISBN               : 978-979-22-7812-5

Kota yang Memudar




Dewasa ini cuaca panas begitu awam dijumpai di seluruh pelosok negeri Indonesia tercinta kita. Hari ini, kita sudah berada di pertengahan bulan September. Jangankan hujan, bahkan mendung pun tak tampak di langit. Kering di mana-mana. Di layar televisi, satu dua berita mulai muncul tentang masyarakat di daerah ini dan itu mengadakan shalat meminta hujan di lapangan-lapangan luas. Bahkan di salah satu daerah di pulau Sumatra, beredar sebuah pesan berantai yang isinya menyuruh setiap rumah untuk menjemur seember air garam di antara pukul 11-13 siang, demi mengharapkan air garam yang dijemur itu akan turun kembali menjadi hujan. Harapan akan hujan ini kian hari semakin kuat lantaran serangan asap dari negara api yang ingin menghukum manusia-manusia yang tidak berdosa ataupun patut. Hujaaan... hujaaaan... jangan marah!! Begitu rintih Cholil, vokalis band Efek Rumah Kaca.

Sementara itu, di belahan dunia yang lain, di Ilheus, kota kecil di negara Brasil sana, hujan turun berkepanjangan. Hujan itu, seperti di Indonesia, tadinya diharapkan setelah terjadi kemarau panjang yang mengancam perkebunan kakao milik para kolonel di Ilheus. Hujan itu pun dipanggil dengan upacara keagaaman yang dipimpin oleh Pastor Basilio dan Cecilio. Hujan itu datang, seluruh penduduk bersyukur, bergembira, berpesta. Satu hari, dua hari, seminggu, dua minggu, tetapi hujan itu tidak pula reda. Kegembiraan mulai luruh, kesabaran menunggu hujan reda perlahan ditumbuhi lumut. Satu per satu kemudian merasa bahwa hujan itu bukan lagi berkah yang diturunkan tuhan untuk penduduk Ilheus. Kini mereka merasa bahwa hujan itu pun sebagai bentuk hukuman yang lain kepada penduduk Ilheus.

Tetapi, Ilheus bukanlah planet Venus di dalam cerpen Ray Bradbury yang berjudul Long Rain, hujan di Ilheus akhirnya berhenti. Pada suatu subuh, Kolonel Manuel Jaguar terbangun dari tidurnya dengan kesunyian, damai. Tidak ada suara ribut hujan yang mematuki atap rumahnya. Langit terang ketika lelaki tua itu memutuskan untuk keluar dari rumah, bibirnya tersenyum, panenan kakaonya selamat. Kolonel Manuel Jaguar jumawa pergi ke kota, menyonsong sinar matahari pagi pertama setelah berminggu-minggu menghilang di balik awan hitam.

Begitulah Jorge Amado membuka kisahnya. Dengan sebuah hari yang baru. Dengan sinar matahari pertama seusai hujan berkepanjangan. Untuk menghangatkan jiwa-jiwa penduduk Ilheus yang berkerak lumut karena terlalu lama hidup dengan lembab, air hujan, dingin yang membekukan hati mereka. Sebuah hari baru, 
harapan akan cahaya di langit timur. Kehidupan baru untuk generasi berikutnya masyarakat Ilheus.

Kehidupan baru macam apa? Kehidupan baru untuk Ilheus yang sedang menggeliat bangun dari tidur panjangnya. Ilheus yang membangun jalur bus pertamanya untuk menghubungkan kota itu dengan Itabuna, kota terdekat dengan Ilheus. Lalu ada pengerukan gundukan pasir yang akan membuka akses ekspor kakao langsung dari Ilheus ke eropa. Juga tentang luruhnya nilai-nilai lama yang tak terelakkan. Perubahan itu pasti, siapa yang tidak bisa beradaptasi dengan perubahan maka ia akan dilumat hancur tergilas perubahan. Ilhues adalah kota kecil, yang tengah bersolek.

Dan jantung kota kecil itu adalah bar Vesuvius. Bar milik Najib, seorang lelaki Suriah yang telah menjadi orang brasil. Tempat berkumpulnya hampir seluruh penduduk kota Ilheus. Tempat di mana kabar berita terbaru berkumpul, dibagikan dan didiskusikan bersama. Oh tentu saja aku ingat tempat seperti itu. Dulu, tempat seperti itu di kampungku berupa gardu siskamling, di mana setiap selesai maghrib maka orang-orang akan duduk-duduk, bergunjing, bertukar tawa, berbaur; membicarakan apa saja, politik, pendatang baru, penyakit, dan kejadian-kejadian remeh serta konyol untuk ditertawakan. Semua tempat pasti memiliki tempat seperti itu.

Dan kabar terbaru yang sampai di bar itu, yang langsung menggemparkan seluruh pengunjung bar adalah perihal Kolonel Jesuino Mendonca yang membunuh istri dan dokter gigi selingkuhannya. Pada masa-masa yang lalu, hal itu adalah kewajiban, hal yang harus dilakukan oleh seorang suami yang dikhianati oleh seorang istri; membunuh istri dan lelaki selingkuhan istrinya. Sebuah aturan tak tertulis yang juga diamini oleh seluruh penduduk Ilheus, juga para istri terhormat. Hal itu, bagi mereka, digunakan sebagai alat untuk menjaga moral serta sopan santun masyarakat Ilheus.

Itulah hukuman bagi istri yang tidak setia kepada suaminya. Hukuman selain dari itu akan dihakimi dengan kejam oleh seluruh penduduk. Hal itu terjadi pada seorang lelaki baik hati yang tidak membunuh istrinya yang tertangkap basah selingkuh dengan laki-laki lain. Lelaki itu bermaksud menghukum lelaki yang telah berani menggoda istrinya itu dengan seluruh sifat menyebalkan istrinya yang tak tertanggungkan olehnya. Ia menyerahkan istrinya pada lelaki selingkuhan itu. Yang kemudian terjadi adalah, seluruh penduduk kemudian mengucilkan lelaki itu, mengejeknya karena sikap pengecutnya, menyebutnya lembu lembek, tidak seorangpun yang mau bicara dengannya, hingga akhirnya lelaki itu terusir dari Ilheus, pergi dan tak pernah kembali lagi.

Lalu di manakah posisi Gabriela yang menjadi judul buku ini? Gabriela berdiri bersama Malvina, Gloria dan Shinazinha yang menjadi simbol perubahan sosial di Ilheus. Malvina digambarkan sebagai simbol pemberontak, yang tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak ia inginkan. Malvina adalah perempuan muda pembaca buku, yang menentang ayahnya, lalu kabur untuk menolak takdirnya menjadi istri seorang pemilik perkebunan kakao.

Sementara Shinazinha adalah istri dari Kolonel Jesuino Mendonca, yang dibunuh karena berselingkuh. Gloria dan Gabriela di satu sisi adalah simbol dari memudarnya kebiasaan purba itu. Di sisi lain, Gabriela adalah sosok yang sama dengan Malvina dengan cara yang lain. Mulanya, Gabriela adalah perempuan bukan siapa-siapa, tidak mempunyai apa apa. Namun, ketika pada akhirnya ia menjadi seorang perempuan terhormat yang bisa mempunyai apa apa, dia memilih tidak mempunyai apa-apa. Ia tidak butuh apa-apa, buat apa? Terlalu banyak barang. Ia tidak bahagia. Ia membenci sepatunya, yang merupakan simbol, pembeda antara seorang perempuan terhormat dengan perempuan bukan siapa-siapa. Gabriela lebih suka bertelanjang kaki, atau memakai sandal. Bukan sepatu, sepatu menyakiti kakinya. Ia tidak butuh apa-apa, buat apa? Terlalu banyak barang.

Tapi, perubahan kota itu terutama digerakkan oleh persaingan Kolonel Ramiro Bastos dan Mundinho Falcao di arena politik. Kolonel Ramiro Bastos adalah pribumi, sesepuh yang dahulu membangun Ilheus menjadi wilayah kakao yang kaya dan kota yang cantik, yang menuntut hormat dari lelaki muda pendatang seperti Mundinho Falcao. ‘Orang luar, apa gerangan yang dicarinya di Ilheus? Dia tak pernah kehilangan apa-apa di sini.’ Kata Kolonel Ramiro Bastos merujuk pada Mundinho Falcao. Tetapi Mundinho masih muda, penuh gagasan, Mundinho adalah masa depan. Sementara Ramiro Bastos adalah mantan bandit, yang akan dengan ringan menggunakan pistol dan senapan, dan banyak pemilik perkebunan besar berdiri di belakangnya, bandit juga, sama sepertinya.

Selain itu, Jorge Amado juga menulis tentang koran pertama di Ilheus. Tidak lupa, dia juga membangun sebuah perpustakaan di tengah kota Ilheus yang mayoritas penduduknya masih buta huruf. Bagi saya, Jorge telah berhasil membangun sebuah dunia yang komplit, sebuah kisah menakjubkan tentang sebuah kota dengan nilai-nilai yang mulai pudar, tentang karakter-karakter hebat seperti Gabriela, Malvina, Joao Fulgencio, Amancio Leal, Dora... dan sederet tokoh lain. Buku ini jelas merupakan sebuah buku yang layak untuk dibaca.

Judul              : Gabriela Cengkih dan Kayu Manis
Penulis           : Jorge Amado
Penerbit         : Serambi
Penerjemah    : Ingrid Nimpoeno
Editor             : Moh. Sidik Nugraha
Tahun terbit     : Desember 2014, cetakan 1
Halaman          : 659 halaman
ISBN              : 978-602-290-023-8

Kabar Burung yang kurang Ajar






Begini, saya hampir lupa kalau saya punya oleh-oleh untuk kalian. Hahahaha... jadi, beberapa waktu yang lalu saya mampir ke kosan teman saya yang di kamarnya, tanpa saya duga-duga ternyata menyimpan tumpukan buku yang menggiurkan untuk dibawa pulang. Yakin deh, dari seluruh koleksi buku di sana, setidaknya lebih dari separuhnya sangat mengesimakan untuk dibaca. Saya tidak akan menyebutkan bahwa kawan saya itu adalah pemilik toko buku daring Standbuku.wordpress.com karena saya tidak mau dikira sedang promo. Tapi, sayangnya, oleh-oleh itu bukan berupa buku. Kendati demikian, saya kira oleh-oleh saya ini tidak lebih buruk dari sekadar beberapa eksemplar buku.

Dalam sebuah pembicaraan, teman saya itu bertanya, ‘apa yang terjadi jika seandainya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah(atau pihak yang berwenang)nya begitu menyedihkan?’ pernah enggak sih kalian bilang ‘ah bohong itu.’ Ketika melihat berita di televisi atau membaca berita di koran? Apa jadinya jika masyarakat tidak lagi mempercayai apa yang dikatakan oleh pemerintah/penguasa/media? Bahkan saat yang dikatakan itu benar?

Dahulu, ketika masih kecil, saya pernah mendengar dongeng tentang seekor domba yang suka meneriakkan ‘Serigala!’ padahal saat itu tidak ada serigala. Teriakan itu, mengundang reaksi, banyak yang datang hendak menolong domba itu. Tetapi ketika mereka tidak menemukan satu serigala pun yang mengancam keselamatan domba itu, mereka pergi bersungut-sungut. Tidak hanya sekali, namun kejadian itu berulang, lagi dan lagi. Sampai pada batas ketika mereka muak oleh jeritan minta tolong domba itu. Bahkan ketika domba itu jatuh dalam situasi yang membahayakan nyawanya, ketika serigala benar-benar ada untuk memangsanya, tak ada lagi yang percaya pada teriakan domba itu meskipun pada saat yang terakhir ini sang domba tidaklah berbohong.

Kedua kondisi di atas saya kira berhasil dikisahkan oleh Mario Vargas Llosa dengan sangat ciamik di buku ‘Siapa Pembunuh Palomino Molero?’. Meski sesungguhnya buku ini termasuk ke dalam buku misteri, walaupun tidak seperti buku misteri sebagaimana biasanya. Bukannya mencekam, buku ini justru tampak bagi saya lebih menghibur dengan humor-humornya. Llosa seolah tak tergiur untuk membuat pembacanya tegang mengikuti penyelidikan demi penyelidikan yang dilakukan oleh Letnan Silva dan Lituma demi mengungkapkan kasus pembunuhan Palomino Molero. Yang meskipun demikian, anehnya, dengan cara yang ajaib Llosa berhasil membuat saya terhanyut untuk mengikuti penyelidikan kasus itu.

Llosa dengan sangat menyakinkan menunjukkan pada saya bagaimana pembunuhan itu terjadi. Lengkap dengan tersangka pelaku dan motif pembunuhan itu. Tetapi pada saat yang sama Llosa dengan sangat lihai menyisipkan satu dan dua dialog yang justru membuat saya tidak yakin pada apa yang telah saya yakini sejak awal. Llosa dengan sangat indah mengakhiri buku ini dengan sengaja menyerahkan kepada pembaca untuk mempercayai mana yang benar, hasil penyelidikan yang gamblang atau selentingan kabar burung yang akhirnya beredar di warung Dona Adriana. Masyarakat, di warung-warung kopi, yang kadang tidak mengetahui apapun selain kabar yang beredar di media, selalu bisa menjadi pakar dalam hal bergunjing dan seperti pengamat ahli dalam hal apapun, dengan ajaib akan mampu mengurai masalah sepelik apapun dengan pemikiran mereka sendiri. bahkan jika itu terkadang berlawanan sama sekali dengan apa yang sesungguhnya terjadi atau sama sekali berlawanan dengan pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Saya sendiri termasuk orang yang percaya bahwa setiap kalimat yang dituliskan di dalam sebuah buku seharusnya mempunyai tugas/fungsi/arti sendiri. Kalau tidak, untuk apa Llosa susah-susah menuliskan kisah ini?

Judul            : Siapa pembunuh Palomino Molero?
Penulis         : Mario Vargas Llosa
Penerbit       : Komodo books
Tahun terbit  : cetakan 1, Mei 2012
Alih bahasa  : Ronny Agustinus
ISBN           : 978-602-9137-03-3