Senin, 08 Juli 2013

Review buku Mati Baik-Baik, Kawan




Judul      : Mati Baik-Baik, Kawan
Penulis   : Martin Aleida
Penerbit : Akar, Yogyakarta
Tahun     : 2009
ISBN       : 978-979-19004-4-7





Sebelum lebih jauh, saya ingin bertanya terlebih dahulu, Apa yang anda ketahui tentang G 30 S PKI? Dan apa yang muncul pertama kali di pikiran anda jika mendengar G 30 S PKI?



            Sebelum membaca buku ini terus terang saja bahwa saya hampir tak tahu apapun_bahkan cenderung tidak peduli_tentang apa yang sebenarnya terjadi pada peristiwa G 30 S PKI, selain apa yang sudah saya ketahui dari buku-buku pelajaran sekolah yang saya terima dengan membabi buta, seperti diinginkan pihak penguasa waktu itu, dengan tanpa menengoknya kembali hingga beberapa saat lalu. Dari buku inilah saya baru dapat mengerti efek dari peristiwa G 30 S PKI. Dari buku Mati Baik-Baik, Kawan tulisan seorang yang pernah mengalami sendiri nasib (saya sebenarnya hendak menuliskan kata nasib buruk, namun urung karena saya takut bahwa mungkin kata nasib buruk tersebut mungkin sekedar asumsi saya) yang didapatkannya akibat kebohongan yang dilakukan penguasa waktu itu. Martin Aleida dengan bahasa yang halus dalam buku ini hendak merekonstruksi sejarah, menceritakan kembali seputar peristiwa diantara tahun 1965-1966 yang telah mengubah banyak wajah nasib Indonesia pada masa itu.

         Parang, senapan, dan bom serta tank bukanlah senjata paling mengerikan yang mampu diciptakan manusia; melainkan kebohongan, stigma negative dan prasangka buruklah yang paling mematikan untuk membunuh seorang manusia. Lewat buku ini Martin seperti hendak menegaskan pandangan Harper lee(penulis buku To Kill A Mockingbird) bahwa prasangka buruk adalah kejahatan paling biadab yang bisa dilakukan oleh manusia. Pada dasarnya tak ada yang bisa dilakukan oleh seseorang yang sudah dicap buruk oleh masyarakat secara luas. Orang-orang yang punya prasangka buruk dalam hatinya telah secara otomatis menulikan telinga dan tak mempedulikan lagi pembelaan orang yang dianggap bersalah. Kita seringkali tak bisa tak mampu menduga apa sih yang mampu diperbuat prasangka buruk? Bahwa prasangka buruk sangat mampu membuat seseorang putus asa; dan dari pengalamanku, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk membantu seorang yang sedang berputus asa. Tidak!! Orang yang berputus asa pada nasib tidak akan tertolong kecuali oleh dirinya sendiri yang mau; bahkan superman pun bisa mati oleh prasangka buruk!

           Terdapat Sembilan cerita pendek di dalam buku ini, dan dalam kesembilan cerpen itu Martin Aleida menuliskan kembali sejarah yang telah sekian lama disembunyikan kekuasaan pada masa itu. Bahwa cerpen-cerpen itu seolah hendak melawan pemalsuan sejarah yang terjadi beberapa dekade lamanya. Hal-hal yang dengan sendirinya luput dari memori generasi muda zaman sekarang, yang tak mengalami masa-masa penuh ketakutan pada tahun 1965-1966. Dan Martin Aleida telah membuat saya jatuh cinta padanya dengan cerita-cerita pendek di dalam buku ini.

           Salah satu cerita pendek yang saya tak bisa lupakan dari buku ini adalah cerpen ‘Mangku Mencari Doa di Daratan Jauh’. Sebuah cerita tentang tokoh Mangku yang memanusiakan seekor kera yang mati karena gigitan anjing gila. Mangku yang merasa tidak dimanusiakan oleh sesama manusia  memilih untuk menguburkan mayat kera sahabatnya dengan pemakaman yang layak untuk seorang manusia. Dan diatas makam kera itu mangku berdoa dan berkata, “Persis sebagaimana kau dikuburkan ini, begitulah kematian yang kuinginkan. Mati baik-baik, kawan. Diiringi doa….”

              Leontin Dewangga, Ode selembar KTP, Dendang perempuan pendendam adalah cerpen-cerpen lain yang sangat saya sukai. Dalam buku ini, ada pula sebuah artikel dari Katrin Bandel tentang Martin Aleida dan sejarah yang dicantumkan di akhir buku, yang membicarakan karya-karya Martin Aleida. Jadi tak ada alasan untuk tidak membaca buku ini. Jika suatu saat kalian menemukan buku ini di antara rak-rak buku, maka tak perlu kiranya kita ragu untuk menjadikan buku ini sebagai koleksi buku anda. Dan Selamat membaca.





* Kutipan-kutipan dalam buku ini:

"Dendam bisa kehilangan isi, tapi ingatan takkan pernah sirna"

"Terlalu lama waktu untukku menahan dendam yang membatu, terlalu singkat waktuku untuk menimbang maaf"