Kamis, 29 Januari 2015

Kamisan03 - #1 - Bagaimana Seseorang Mati Sia-Sia



Pigor  membanting koran yang ia baca ke atas meja, kesal karena merasa telah dibohongi oleh judul yang bombastis, sementara isi beritanya tak seberapa penting. Bukan soal uang yang telah ia keluarkan untuk membeli koran tersebut yang ia perkarakan. Tetapi lebih kepada betapa penipu telah menggerogoti semua unsur kehidupan. Seperti seorang tukang masak yang menghias masakan tak sedapnya dengan tampilan aduhai agar orang-orang lapar itu tak tega memakan masakannya yang hambar.

Ketika membuang muka dari koran di depannya, lelaki itu melihat seorang perempuan muda tengah berdiri memegangi payungnya di seberang jalan. Di luar, hujan tengah berlangsung. Jalanan sepi. Tak ada banyak orang yang menghalangi pandangannya pada perempuan itu. Sehingga ia bisa dengan seksama memperhatikan kulit perempuan itu memucat dipulas oleh hawa dingin. Lengannya yang telanjang tampak berkilau di tengah latar tembok tua muram. Di tengah kota yang kedinginan oleh hujan, ia berdiri teguh seperti patung lilin yang dipamerkan.

“Siapa perempuan itu?” ujar lelaki yang duduk di sebelahnya entah sejak kapan.

“Bukan kekasihku. Kalau aku kekasihnya, takkan aku biarkan ia kedinginan di tengah hujan begini.”

"Apakah kau memikirkan apa yang aku pikirkan?" Pigor menoleh heran. "Kau ingat lelaki yang dibunuh tempo hari? Mungkin perempuan itu kekasihnya."

Pigor teringat lelaki gendut hampir telanjang yang ditemukan mati kemarin malam di gang sebelah. "Jangan becanda! Perempuan secantik itu, mau jadi kekasih seorang lelaki gendut seperti orang itu? Kau jangan menghinaku!"

"Loh, apa salahnya? Kaupikir lelaki gendut tak boleh punya kekasih perempuan cantik??"

"Tentu tidak, kecuali si gendut itu orang kaya."

"Kau naif sekali. Bisa saja dulunya dia mirip atlet binaraga, lalu jadi gendut karena bahagia punya kekasih secantik perempuan itu."

"Berapa besar kemungkinan perempuan itu tidak meninggalkannya ketika ia menjadi sebesar karung tepung seperti itu?"

"Besar. Lihat, dia berdiri di sana. Menungguinya. Menangisinya."

"Omong kosong! Aku berani bertaruh satu juta dia bukan kekasih lelaki gendut itu."

"Kau punya uang sebanyak itu?"

"Tidak penting. Karena aku tak akan kalah." Pigor melihat perempuan itu memeluk dirinya sendiri dengan satu tangan.

"Lihat, dia memeluk dirinya sendiri. Dia pasti merindukan lelaki gendut itu."

"Dia kedinginan. Tidak kaulihat, di luar sedang hujan?"

"Bangsat. Kepala batu!" Lelaki itu mendengus, menyesap rokoknya. "Apa kau pernah memeluk seorang perempuan di kala hujan begini?" Pipinya tiba-tiba memerah seperti pipi seorang perempuan yang tersipu malu.

Pigor menggeleng. "Menurutmu, siapa yang membunuh lelaki itu?"

"Mana kutahu. Bangsat! Kenapa kau tanya aku?"

"Demi Tuhan. Aku cuma tanya, kenapa kau berang, betul?"

"Karena kau tolol. Itu bukan kerjaku. Tanyalah ke polisi kalau kau hendak tahu! Buat apa kita bayar polisi-polisi pemalas itu kalau hal begini saja kita yang harus cari tahu sendiri? Heh? Bangsat betul."

"Kau tahu sendiri apa jadinya kalau aku macam-macam sama mereka. Tak sudi. Cih. Kau tahu, begitu kau tanya macam-macam, bukannya menjawab, kau bakal ditanya balik. Pada hari kamis, jam sekian kau di mana? Sedang apa?"

"Kau bisa mencium bau penjara di belakang kalimat itu."

"Tepat sekali." Pigor menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangannya.

"Sial sekali orang gendut itu ya?"

"Ya, melihat lemaknya, kukira ia lelaki yang tak pernah kelaparan."

"Apakah ia dirampok?"

"Demi Tuhan!! Bangsat. Bisakah kau berhenti menanyakan hal itu padaku?"

"Demi Tuhan! Apa masalahmu? Aku cuma bertanya. Tak perlu kau jawab kalau kau tak ingin."

"Berhentilah bertanya tentang hal-hal yang tidak aku tahu."

"Apa yang kau tahu?"

"Banyak. Selain bangsat gendut itu."

Pigor menatap perempuan di seberang jalan itu lagi. Perempuan itu tiba-tiba berbalik, berjalan memunggunginya.

“Ayo!”

“Ke mana?”

“Memeluk perempuan!”

Pigor tergopoh-gopoh mengikuti lelaki itu.


***

Asa menyambar payung dan pergi keluar. Hanya payung. Jaket dan tas tidak terlalu menggiurkannya ketika itu. Langit tidak biru. Jalanan tak sedikitpun dijamah sinar matahari. Angin lembut mempermainkan ujung roknya. Hiruk pikuk pengguna jalan menyapa gendang telinganya. Ia lalu mengembangkan payung dan berjalan pergi menyusuri trotoar.

Tidak mengindahkan kenyataan bahwa hujan tidak turun dan panas matahari tak sampai di kulitnya, Asa tetap menaruh payung itu di bahunya. Memutar-mutar gagangnya dengan riang sambil mendendangkan nada sebuah lagu dalam benaknya. Perempuan itu terus berjalan tanpa tahu akan kemana. Melangkah ia menuruti kaki. Ia hanya ingin menghabiskan hari dengan apapun yang ia suka. Itu adalah hari pertamanya setelah memutuskan untuk berhenti kerja. Asa ingin menikmatinya, dengan berjalan menyia-nyiakan waktunya.

Setelah tiga tahun mengurung diri dalam bilik kerja bersama segala perangkat kerja tanpa hati di atas mejanya, Asa, siang kemarin, tanpa aba-aba, juga tidak dengan alasan yang cukup bagi atasannya, mengajukan surat pengunduran diri. Tidak mengetahui apa yang ia inginkan, Asa meninggalkan surat pengunduran dirinya di ruangan bosnya. Lelaki itu mengatakan bahwa Asa harus mencari pengganti dulu sebelum berhenti bekerja dan ia tidak boleh mengundurkan diri secara mendadak seperti itu. Tetapi Asa tidak peduli. Ia pulang ke rumah saat itu juga, meninggalkan apapun yang ada di atas meja kerjanya. Dan tidak masuk kerja hari ini, meskipun atasannya tiga kali menelpon ke ponsel miliknya, yang tak satupun ia angkat.

Asa masih berjalan tidak acuh ketika tetes hujan pertama jatuh dari langit. Ia mencondongkan payungnya ke depan untuk menghadang hujan yang jatuh miring dari depan. Sisa hujan yang tak terhalang payung jatuh di kaki. Sebagian hinggap sebentar di permukaan rok, yang lalu melesap mencetak noda bulat gelap. Langkahnya kemudian melambat. Asa berhenti di trotoar pinggir jalan. Ragu-ragu hendak menyebrang, ia tetap berdiri di sana.

Sekonyong-konyong, terbit gagasan mematung di sana. Mula-mula ia mengamati bercak air yang jatuh di sepatunya. Sepatu itu baru saja ia beli minggu lalu. Sepatu kain berhak rendah. Polos tanpa ornamen. Hijau seperti warna kesukaan anak semata wayangnya. Sudah lama sekali rasanya, ia rindu menggendong putri kecilnya itu. Sedang apa kau nak? Asa ingin menangis seperti ibu-ibu lainnya. Tapi ia tak mampu.

Asa memeluk dirinya sendiri dengan satu tangan. Dingin yang datang menegaskan ketidakberadaan anaknya. Sudah hampir setahun dari saat suaminya menghilang membawa putrinya yang waktu itu berumur tiga tahun. Ia tak pernah menduga pelukan mantan kekasihnya harus dibayar dengan hilangnya pelukan anaknya.

Tak ada yang hebat dari pelukan kekasihnya itu, dingin seperti pelukan hujan. Tak berharga sama sekali. Tapi, itu cukup untuk membuat suaminya pergi. Alasan bukan perkara penting untuk suaminya. Dan Asa tak berminat menjelaskan apapun. Seminggu kemudian, suaminya menghilang membawa putrinya.

Hujan mulai reda. Kulit Asa telah mengeras. Jalanan kosong. Masih ragu-ragu hendak menyebrang, Asa merasa lelah. Udara basah, Asa menghirupnya tanpa ragu. Seketika rongga dadanya menjadi lega. Ia berbalik pulang. Perempuan itu tak menyadari dua orang lelaki mengikutinya.

***

Sembilanbelas orang lainnya telah lebih dulu hilang. Waktu begitu singkat. Hidup begitu pendek. Kau takkan tahu kapan ajal menjemputmu. Tapi seolah maut mengalir di nadimu. Ia begitu dekat.

Baiklah, aku beritahu sebuah rahasia. Tak akan ada yang mati di sini. Tidak Asa atau siapapun. Sembilanbelas temanmu yang lain, sudah pergi lebih dulu sebelum sampai bagian ini. Ya, mereka pintar. Mereka tak mau mati konyol. Karena itu mereka pergi meninggalkan cerita membosankan ini. Itupun jika tulisan ini boleh disebut cerita.

Nah, sekarang jadi pilihanmu. Bagaimana? Apa engkau masih mau meneruskan membaca cerita ini sampai engkau mati sia-sia? Atau kita sudahi sampai di sini saja? [ ]


Selasa, 20 Januari 2015

Bagaimana mungkin engkau tidak bersikap sentimentil terhadap kesederhanaan?1



Semalaman aku kembali membuka file-file film yang menumpuk di ‘gudang’. Banyak sekali film yang memuaskanku. Seperti guru yang agung, bagaikan tuhan yang murung2. Betapa manis ketika malaikat maut kemudian jatuh cinta pada anak perempuan dari seorang lelaki yang seharusnya dia cabut nyawanya_emmm aku sedang tak ingin membahas soal mungkin atau tidaknya malaikat jatuh cinta; sudah kubilang aku tengah sentimentil. Kemudian di film kedua tentang Billy Beane. Sebuah film tentang olahraga bisbol. Selain aku tengah frustasi terhadap klub bola kesayanganku, tiba-tiba aku menginginkan seorang manager seperti Billy Beane menggantikan pelatih klub bola yang tampaknya tengah terlena akan kekuasaannya di klub yang dilatihnya selama 18 tahun terakhir. Ia seperti kenangan lama yang tak pernah memberimu apapun, kecuali rasa nyaman yang semu. Film ketiga yang kusaksikan semalam sebelum aku memutuskan untuk memejamkan jiwa, He Just Not That In To You... film yang manis sekali. Begitu kompleks. Betapa semua hal rumit itu sesungguhnya sederhana. Sekali lagi, sebutlah aku sentimentil, aku tidak peduli, karena barangkali itu diriku.

Apa yang akan kau lakukan saat kau bertemu seseorang yang mempunyai sebuah kebiasaan kecil yang secara ajaib juga engkau lakukan dengan kesamaan detail yang sempurna? Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah tertawa keras. Yang lalu kemudian aku inginkan adalah ia pun menertawakannya dengan cara yang sama. Pernahkah kau menertawakan sesuatu yang kau anggap lucu tetapi orang lain di sekitarmu menganggap hal itu biasa-biasa saja. Itu salah satu hal yang lebih menyedihkan ketimbang kesepian karena engkau tidak mempunyai pasangan. Yang paling aku damba dari seorang perempuan yang kelak mau khilaf bersamaku menjalani kehidupan menua dalam rumah tua yang aku bangun sendiri atap-atapnya adalah kami memiliki selera humor yang sama. Saat aku bisa menertawakan kebodohanku dan kebodohannya dengan ketulusan tanpa pretensi apapun, kupikir aku akan sanggup mendaki jalan ke rumah almarhum Mbah Maridjan yang pada akhir tahun kemarin aku menyerah setelah jarak yang ke 200 meter. Pada hal-hal sederhana seperti ketika seorang artis film dalam sebuah film horor yang dengan banggga menyatakan diri sebagai paranormal, pada film-film menyedihkan yang mengaku sebagai film horor, pada cerita-cerita sinis dalam sebuah buku satir, pada sebuah ejekan yang begitu rapi disembunyikan dalam bungkus kado natal paling indah yang bisa engkau bayangkan; pada hal-hal itu aku sering merasakan kesepian ketika menertawainya dengan lugu. Ah, kembali pada malaikat maut yang sedang jatuh cinta, bermainlah dengan imajinasimu, betapa manis menyandingkan kematian dan cinta??? Itu saja yang paling aku sukai dari film Meet Joe Black. Yang setiap kali aku memutarnya, aku selalu khidmat menikmati adegan pertemuan mereka. Aku iri. Kalau memang aku tak berkesempatan mendapatkan kenangan indah seperti itu nantinya yang bisa kupamerkan pada putra-putriku, aku akan menciptakannya sendiri. Dengan cara apapun. Once Upon A Time....

Apa kalian tahu hal paling cengeng buatku? Pameran kasih sayang antara ayah dan anak perempuannya. Betapa indah rasa sayang Casey pada Billy yang sedang mengalami masa sulit ketika menjalankan klub bisbol yang ia kelola. Aku sungguh tersentuh ketika Casey sedang makan eskrim di dapur bersama Billy, dengan malu-malu Casey menanyakan keadaan ayahnya yang tengah tertekan ketika Oakland Athletics memulai musim dengan sangat buruk. Yang terjadi kemudian, Billy menyuruh Casey untuk tak mengkhawatirkannya. Salah satu adegan yang juga berkesan adalah ketika Jeremy, bermain di liga minor [baca disini]. Aku jua menyukai peter brand. Peter dan Billy adalah orang-orang yang kesepian. Meyakini sesuatu yang dipandang sebelah mata oleh orang lain. Menjalani dan bertahan di jalan sunyi begitu menyenangkan. Dan kesulitannya berbaur dengan anggota tim dalam posisinya sebagai assisten manajer umum, sebagai Rookie. Karena film ini pula aku jadi begitu tergila-gila dengan lagu The Show milik Lenka. Salah satu film yang layak engkau tonton dan koleksi. Bukan sekadar film olahraga dan bagaimana Billy berusaha menggugat kemapanan bisnis bisbol di amerika. Ini juga tentang hubungan manis antara seorang ayah dan anak perempuannya.

Sementara He Just Not That In To You adalah sebuah film dengan begitu banyak tokoh. Tentang begitu rumit atau sederhananya cinta.

Pasangan pertama, ah iya , aku lupa nama tokohnya , aku akan bilang Jennifer Connelly dan Bradley cooper. Mereka adalah sepasang suami istri yang bisa dibilang medioker family, dalam artian rumah tangga mereka biasa-biasa saja. Situasi menjadi rumit ketika Bradley Cooper bertemu dengan Scarlett Johannson. Singkatnya, rumah tangga itu menjadi goyah ketika Bradley Cooper mengaku berselingkuh dengan Scarlett Johanson. Namun, ketika mereka sepakat untuk mempertahankan hubungan mereka dan mengabaikan perselingkuhan itu, hubungan itu menjadi hancur ketika Jennifer Connelly mengetahui kebohongan yang dilakukan Bradley Cooper tentang kebiasaannya merokok. Bagaimana jennifer melupakan perselingkuhan dan mempermasalahkan merokok menjadi begitu menggelitik. Sebutlah itu kerumitan, atau betapa sederhananya merokok ketimbang selingkuh?? Itu hakmu untuk memberi arti. Yang menjadi landasan adalah tak terbayangkannya trauma Jennifer Connelly kepada rokok oleh sebab ayahnya meningal karena kanker paru-paru. Atau justru soal kebohongan yang dilakukan Bradley Cooper? Dan bukan melulu soal merokok yang menjadi perkara?? Satu lagi yang menggelitik nuraniku adalah adegan ketika Scarlett terkurung di dalam lemari sementara di luar lemari ia mendengarkan upaya rujuk Bradley Cooper dan jennifer Conelly. Betapa tak terbayangkan olehku apa yang Scarlett rasakan!

Maka, Scarlett johanson yang memiliki teman tapi  mesra bernama Connor, yang ia nyaman untuk berbagi segala hal, hingga untuk kemampuan tidur bersama. Di saat Connor tergila-gila pada Scarlett, satu satunya yang menghalangi Scarlett menerima pinangan Connor adalah sebuah kebiasaan Connor setelah selesai bercinta, Connor tidur seperti bayi yang memeluk ibunya. Benar-benar bayi. Sungguh-sungguh malang!

Lalu ada Jennifer Aniston dan Ben Affleck yang telah hidup bersama selama 7 tahun dan baik-baik saja tanpa ikatan pernikahan. Ben Affleck tidak percaya pada pernikahan. Lalu tiba-tiba Jennifer Aniston menginginkan pernikahan. Siapa yang tak menginginkan pernikahan? Perempuan mana yang tak menginginkannya? Maksudku perempuan yang sudah menemukan teman hidupnya? Ah sebaiknya aku tak terlalu banyak bicara soal bagaimana mereka kemudian rujuk, kisahnya terlalu menyenangkanku hahahahaha yang ingin aku bilang dari mereka ialah, kebersamaan indah itu rusak setelah Jennifer Aniston terpengaruh omongan seorang kawannya, Gigi, yang tengah mencari pasangannya. Hubungan indah itu langsung goyah ketika ia menginginkan pernikahan. Hati-hatilah dengan apa yang kau dengar!

Dan Gigi serta Alex?? Hmmmm Gigi... betapa seseorang begitu mudah untuk mempermalukan diri sendiri. Betapa persahabatan kadang tidak menolongmu. Bagaimana sebuah nasehat seorang sahabat yang ingin melindungi dan menghibur sahabatnya menjadi sesuatu yang rumit dan menjatuhkannya dalam kubangan lumpur? Betapa dengan terlalu mendengarkan nasehat banyak orang kadang justru kamu tengah menempatkan dirimu di bibir jurang. Angkat dagumu, yakin pada diri, maka semua akan baik-baik saja. Sementara Alex, seorang lelaki yang merasa begitu mengenal lelaki dan perempuan dalam persoalan asmara ternyata tidak tahu sama sekali. Meski seringkali ia bisa dengan mudah menganalisa perilaku orang lain, ia bahkan tidak mengenal dirinya sendiri.

***

Ketiga film tadi, beruntungnya tersimpan tenang di gudang, ia seperti anggur yang semakin lama disimpan semakin nikmat. Tak pernah membosankan. Bagiku. Barangkali hanya bagiku, entah bagi kalian. Kalian tentu ingat ungkapan ‘sesuatu menjadi berarti karena kita memberinya arti’3. Aku termasuk orang yang suka menyisipkan arti dalam hal-hal sederhana yang mampir dalam hidupku. Seperti sandal, misalnya, buku, baju seragam kerja dan lain sebagainya. Orang sering kasihan pada diriku yang terlalu mengikatkan hidupku pada kenangan. Tak bisa move on kata mereka. Sesungguhnya aku kasihan pada mereka. Aku kasihan pada orang-orang yang takut akan kenangan. Orang-orang yang memperlakukan kenangan seperti prasasti mati. Bagiku, kenangan bisa menjadi sumber energi, sumber senyum. Karena aku memberinya arti. Ketika aku memutuskan menghapus arti dari hal-hal sederhana maka ia akan menjadi sepele seperti seharusnya, barang sederhana yang sama, yang berarti sederhana, dan kejadian yang sederhana. Yang dengan sederhana bisa kau turunkan dari pundakmu. Semua ada di tanganmu, pilihanmu. Tapi, aku takkan menolak kalimat ini...

Bagaimana mungkin engkau tidak bersikap romantis tentang kenangan??




Nb:
1 : dikutip bebas dari film moneyball
2 : lirik lagu dialog dini hari di lagu revolusi otak
3 : dikutip dari sartre

Dua Penggerutu Paling Tampan

Pembaca yang budiman, inilah minggu-minggu penuh derita1. Setelah usainya prahara asmara beda keyakinan, kini putus pula jalinan kasih beda pulau yang tersohor itu. Di bulan ketika hujan tengah mekar dengan ciamik ini justru kedua lelaki tampan itu harus merasai yang namanya patah hati. Sementara Olih tengah bermain ke Dataran Tortilla, menengok Danny yang sedang berbaik hati kepada kawan-kawan gelandangannya, demi melongsorkan kesepian yang singgah dengan kurang ajar; David jumawa menikmati tingkah prajurit Schweik tercinta kita yang agak lemah akal. Namun itu hanya sejenak, David menutup buku itu saat tiba di sebuah kalimat ‘Babipun akan terbang bila memiliki sayap.’
 
Olih melirik sekejap kepada David, menakar buku yang baru dibelinya dari Boekoe Factory Outlet itu tidak bakal dilemparkan David ke luar pintu, ia mencari kembali kalimat terakhir yang ditinggalkannya barusan.


 “Di mana kau beli buku itu?” david menunjuk buku yang tadi ia baca dengan dagunya.
 
“Bagus ya?” Olih menyeringai.
 
“Tentu.” David mengemputkan pipinya dalam dalam. “Buku seperti itu akan membuat siapapun terhibur, terutama untuk lelaki tengik macam kita.” Olih menutup bukunya lalu meraih bungkus rokok di meja kayu samping ranjang. “Hujan yang menyebalkan. Kita harus segera ke toko buku begitu hujan reda. Aku sepertinya sedang butuh banyak buku macam itu.”


“Kenapa repot?”


“Apa maksudmu?”
 
Olih menghela asap rokoknya panjang sebelum menjawab “beli aja online. Sms atau whatsapp, beres. Tak perlu sia-siakan umurmu terjebak macet di jalan.”


“Mana yang lebih sia-sia, mati ditengah kemacetan atau mati kesepian?”


“Kau ini memang goblok atau ketularan Schweik?”


David tak mengacuhkan pertanyaan Olih. Lelaki itu malah terbatuk, tersedak asap rokoknya sendiri seperti anak kecil yang pertama kali belajar merokok. Ia lupa mengganti nada pesan masuknya. Sekonyong-konyong suara perempuan itu melantun aduhai membacakan puisi Soe Hok Gie...


Ada orang  yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang  yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
...


Sambil menelan harga dirinya, David berujar “bukankah sekarang ini sedang marak penipuan jual beli online?”


“Yeeaaah... tapi, tidak kok di Boekoe Factory Outlet. Tuh buktinya.”


“Hmmm... oke. Oke. Tapi kenapa kamu suka sekali beli buku di sana? Memangnya olshop yang lain ga ada?”


“Yang jelas sih harganya miring. Terus banyak buku sastra klasiknya, baik terjemahan ataupun edisi bahasa inggris. Banyak buku-buku yang langka pun. Trus bisa ngutang dulu. Kurang apa coba? Udah gitu minsis-nya cantiiiik, jomblo pula... hahaha...”


David melempar bantal ke muka Olih. “trus..? kenapa memangnya kalau jomblo?” Olih hanya menaikkan alisnya sambil menghisap rokok. “jadi, apa gunanya kamu baca cerpen ‘teknik mendapatkan cinta sejati’ yang kamu sombongkan kemarin?”


“Susah bro... masa aku harus pindah agama dulu buat godain minsis-nya.” Kemudian ia terbenak ketika mengatakan ‘Seandainya kita tidak beda agama, aku pasti akan melamarmu.’ kepada seorang kawan perempuan yang ia sukai sejak awal pertemanan mereka. Bahwa apa yang ia baca salah, terasa lebih menyakitkan ketika perempuan itu menjawab ‘lalu kenapa kalau kita beda keyakinan? Asal kamu tahu, andaipun kita satu keyakinan, aku akan berpikir sepuluh kali untuk mau sama kamu.’ Penolakan, entah karena beda keyakinan atau bukan, sama menyakitkannya. 
 
David dan Olih, masing-masing memenuhi paru-parunya dengan asap rokok seolah tengah mengisi jurang di rongga dada mereka dengan kabut. Dingin karena hujan dan kabut buatan itu sekonyong-konyong menebalkan kesepian di kamar kos mereka. Olih berdiri lalu pergi ke sudut kamar, menyambungkan ponselnya ke pengeras suara yang kemudian memutar Lagu Sedih milik Dialog Dini Hari. David menoleh ke arah Olih lalu berdiri saat mendengar bunyi desisan dari dispenser. Membuka kotak pusakanya dan mengeluarkan bubuk kopi yang terbungkus rapat di dalam kotak kertas coklat. Menakar kopi untuk dua cangkir, menyeduhnya tanpa gula. Ia membawanya, lalu duduk sambil menyandarkan punggung ke ranjang.


Olih menghampiri David, duduk dengan menekuk kedua kakinya. David tersenyum lalu nyeletuk “kasihan sekali nasibmu. Orang normal menghangatkan diri dengan memeluk kekasihnya, kamu?? Memeluk kaki sendiri!!” David tergelak-gelak menertawakan perkataannya.


Olih mencibirkan mulut lalu menyesap kopinya. “kaupikir, siapa yang akan kaupeluk??” tawa David padam.


Murung itu sungguh indah... Melambatkan butir darah... nikmatilah saja kegundahan ini.. segala denyutnya yang merobek sepi... kelesuan ini jangan lekas pergi... aku menyelami sampai lelah hati


Lagu Efek Rumah Kaca meningkahi bekunya air hujan yang tertangkap mata Olih. David lesu menekuri layar ponselnya. Teliti membacai list buku-buku yang terpampang di sana, tak terganggu sedikitpun oleh suara sendu vokalis Efek Rumah Kaca.


“Hmmm... sedikit sekali katalog bukunya.” Olih menoleh tanpa minat. “bah! Ini katalog bulan lalu!”


“Yaaaah... “ Olih menghembuskan asap rokoknya ke tengah udara. “bahkan buku-buku yang tertera dalam katalog yang baru mereka rilis pun terkadang sudah tak ada stok ketika hendak kau pesan.”


“bukankah itu menyebalkan?”


“Ndak juga sih.. Cuma lebih cenderung nyesek aja... “ sekonyong-konyong ia teringat DP BBM perempuan itu, yang mendadak digantikan oleh gambar yang mengetengahkan perempuan itu berjinjit untuk mengecup sisi helm yang dipakai seorang lelaki yang dengan pakaian pembalap tengah duduk di atas motor. "Yah maklumlah, keduanya masih pada sibuk nyari jodoh..." 
 
Dorongan untuk tertawa ketika mendengar kalimat itu punah ditikam ingatan akan nasibnya sendiri. Nasib adalah kesunyian masing-masing2. David menekan puntung rokoknya pada asbak.
 
"Barangkali mereka harus ketemu jodoh dulu biar mereka bisa total ngurusin pipi eh ngurusin olshop-nya maksudku..."
 
"Kalau dipikir-pikir, duet semacam itu, cukup menjanjikan, bukan?"
 
"Maksudmu?"
 
"Begini lho, dengan satu orang mengurusi pengadaan buku dan satu orang yang lain melayani pembelian, bukankah itu bakal memudahkan masing-masing individu untuk total melakukan tugasnya masing-masing??"
 
"Iya sih. Tapi bagaimana kalau begini kejadiannya, misalnya, minsis yang melayani pesanan lagi ga bisa meng-handle tugasnya, trus yang megang urusan pengadaan buku gak mau menerima pesanan juga kan kasihan pembelinya?? Jadi bingung, trus nanti doi nekat bunuh diri piye??"
 
Uhuk uhuk... olih tersedak demi mendengar lelucon David. "Mas, kalau mau bikin joke mbok ya dilatih dulu mas joke-nya" Olih pergi mencabut kabel speaker aktif yang tersambung ke ponselnya. Lalu duduk ke tempat semula sambil menekuri layar ponsel. "Tapi bener juga sih, kek nya kalau agak fleksibel bisa jadi lebih memudahkan. Kan sebenernya tinggal di-forward-kan aja toh pesenannya. Sama halnya dengan minsis saat menerima pesanan, untuk urusan stok buku, ada baiknya juga kalau dia tau, jadi ndak melulu harus nanya stok ke yang ngadain buku."
 
"Hmmmm.... tapi kalau dipikir lagi, kita ini sok tau ga sih? Lihat dapurnya aja kita tidak, tapi sudah omong ini itu."
 
Olih terkekeh juga mendengar penuturan David. "Perkara patah hati ini benar-benar bikin dungu ya!!" "Memangnya, hal seperti apa sih yang kamu pengen dari sebuah tobuk online?"
 
"Yang pasti sih, pengennya, kalau bisa, menyediakan buku-buku yang ga ada di toko buku. Jadi bener-bener bisa jadi semacam tobuk alternatif selain tobuk yang sudah ada di mall-mall gitu. Jadi pembeli punya lebih banyak pilihan bacaan." "Bayangkan, buku-buku aneh selain buku-buku yang sering nampang di toko buku. Tau sendiri kan selera bacaanku ini agak nyeleneh. Ya kayak prajurit schweik yang tadi itu. Ga perlu harus murah juga sih, selama ketersediaan buku-buku siluman itu bisa diendus, itu sudah jauh lebih murah dari buku gratis sekalipun."
 
"Iya sih, buku-buku dari penerbit semacam kata kita, banana, ultimus, marjin kiri, akar dan penerbit lain yang tak bisa menembus toko buku besar gitu memang susah didapat sih."
 
"Nah makanya itu, kan?"
 
"Ada lagi yang kau inginkan? Mumpung aku lagi chating-an sama minsis-nya ini." Olih serius menekuri ponsel pintarnya.
 
"Hmm... " David mengankat dagu sambil mengelus jenggotnya yang tak seberapa. "Kupikir, bonus semacam pembatas buku gitu asyik juga kan. Dengan quote kecil macam 'sejak dulu beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir.' Nah bagaimana menurutmu?"
 
"Menurutku, kau perlu segera mencari kekasih baru, biar tak sakit-sakit benar dalamanmu itu."
 
"Kau benar. Ke Mbak mendoan, yuk!" David bangkit mengambil jaketnya. "Tapi aku serius soal pembatas buku tadi. Orang tengik macam kita butuh pembatas buku seperti itu. Siapa tau bisa untuk merayu Mbak mendoan."
 
"Jangan Sinting!"
 
Olih berdiri di lubang pintu, bersisian menutup lubangnya. Hujan di luar belum reda. Tempias air hujan menerpa wajah mereka. Bahkan air hujan terasa hangat dibandingkan jiwa mereka yang beku sehabis dikosongkan dari dalamnya bongkahan-bongkahan cinta.
 
David memasukkan tangannya ke saku jaket dan ngeluyur pergi, dingin pada tetes hujan yang jatuh di jaketnya, di rambutnya. Olih menyulut sebatang rokok, menghisapnya dalam, menutup pintu, tanpa mengunci pintu ia pergi menerobos hujan. Menggauli hujan. Lagipula, bagaimana mungkin kau bisa bersikap tak romantis terhadap hujan??
 
 
 
Ps:
1. Pembaca yang budiman, inilah minggu-minggu penuh derita : dikutip dari cerpen Edward dan Tuhan karya Milan Kundera
2. Nasib adalah kesunyian masing-masing : dikutip dari Chairil Anwar
3. bagaimana mungkin kau bisa bersikap tak romantis terhadap hujan?? : dikutip bebas dari film Moneyball
 
 
Tulisan ini diikutkan dalam #GABoekoe oleh Factory Outlet.
http://foboekoe.blogspot.com/