Kamis, 29 Januari 2015

Kamisan03 - #1 - Bagaimana Seseorang Mati Sia-Sia



Pigor  membanting koran yang ia baca ke atas meja, kesal karena merasa telah dibohongi oleh judul yang bombastis, sementara isi beritanya tak seberapa penting. Bukan soal uang yang telah ia keluarkan untuk membeli koran tersebut yang ia perkarakan. Tetapi lebih kepada betapa penipu telah menggerogoti semua unsur kehidupan. Seperti seorang tukang masak yang menghias masakan tak sedapnya dengan tampilan aduhai agar orang-orang lapar itu tak tega memakan masakannya yang hambar.

Ketika membuang muka dari koran di depannya, lelaki itu melihat seorang perempuan muda tengah berdiri memegangi payungnya di seberang jalan. Di luar, hujan tengah berlangsung. Jalanan sepi. Tak ada banyak orang yang menghalangi pandangannya pada perempuan itu. Sehingga ia bisa dengan seksama memperhatikan kulit perempuan itu memucat dipulas oleh hawa dingin. Lengannya yang telanjang tampak berkilau di tengah latar tembok tua muram. Di tengah kota yang kedinginan oleh hujan, ia berdiri teguh seperti patung lilin yang dipamerkan.

“Siapa perempuan itu?” ujar lelaki yang duduk di sebelahnya entah sejak kapan.

“Bukan kekasihku. Kalau aku kekasihnya, takkan aku biarkan ia kedinginan di tengah hujan begini.”

"Apakah kau memikirkan apa yang aku pikirkan?" Pigor menoleh heran. "Kau ingat lelaki yang dibunuh tempo hari? Mungkin perempuan itu kekasihnya."

Pigor teringat lelaki gendut hampir telanjang yang ditemukan mati kemarin malam di gang sebelah. "Jangan becanda! Perempuan secantik itu, mau jadi kekasih seorang lelaki gendut seperti orang itu? Kau jangan menghinaku!"

"Loh, apa salahnya? Kaupikir lelaki gendut tak boleh punya kekasih perempuan cantik??"

"Tentu tidak, kecuali si gendut itu orang kaya."

"Kau naif sekali. Bisa saja dulunya dia mirip atlet binaraga, lalu jadi gendut karena bahagia punya kekasih secantik perempuan itu."

"Berapa besar kemungkinan perempuan itu tidak meninggalkannya ketika ia menjadi sebesar karung tepung seperti itu?"

"Besar. Lihat, dia berdiri di sana. Menungguinya. Menangisinya."

"Omong kosong! Aku berani bertaruh satu juta dia bukan kekasih lelaki gendut itu."

"Kau punya uang sebanyak itu?"

"Tidak penting. Karena aku tak akan kalah." Pigor melihat perempuan itu memeluk dirinya sendiri dengan satu tangan.

"Lihat, dia memeluk dirinya sendiri. Dia pasti merindukan lelaki gendut itu."

"Dia kedinginan. Tidak kaulihat, di luar sedang hujan?"

"Bangsat. Kepala batu!" Lelaki itu mendengus, menyesap rokoknya. "Apa kau pernah memeluk seorang perempuan di kala hujan begini?" Pipinya tiba-tiba memerah seperti pipi seorang perempuan yang tersipu malu.

Pigor menggeleng. "Menurutmu, siapa yang membunuh lelaki itu?"

"Mana kutahu. Bangsat! Kenapa kau tanya aku?"

"Demi Tuhan. Aku cuma tanya, kenapa kau berang, betul?"

"Karena kau tolol. Itu bukan kerjaku. Tanyalah ke polisi kalau kau hendak tahu! Buat apa kita bayar polisi-polisi pemalas itu kalau hal begini saja kita yang harus cari tahu sendiri? Heh? Bangsat betul."

"Kau tahu sendiri apa jadinya kalau aku macam-macam sama mereka. Tak sudi. Cih. Kau tahu, begitu kau tanya macam-macam, bukannya menjawab, kau bakal ditanya balik. Pada hari kamis, jam sekian kau di mana? Sedang apa?"

"Kau bisa mencium bau penjara di belakang kalimat itu."

"Tepat sekali." Pigor menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangannya.

"Sial sekali orang gendut itu ya?"

"Ya, melihat lemaknya, kukira ia lelaki yang tak pernah kelaparan."

"Apakah ia dirampok?"

"Demi Tuhan!! Bangsat. Bisakah kau berhenti menanyakan hal itu padaku?"

"Demi Tuhan! Apa masalahmu? Aku cuma bertanya. Tak perlu kau jawab kalau kau tak ingin."

"Berhentilah bertanya tentang hal-hal yang tidak aku tahu."

"Apa yang kau tahu?"

"Banyak. Selain bangsat gendut itu."

Pigor menatap perempuan di seberang jalan itu lagi. Perempuan itu tiba-tiba berbalik, berjalan memunggunginya.

“Ayo!”

“Ke mana?”

“Memeluk perempuan!”

Pigor tergopoh-gopoh mengikuti lelaki itu.


***

Asa menyambar payung dan pergi keluar. Hanya payung. Jaket dan tas tidak terlalu menggiurkannya ketika itu. Langit tidak biru. Jalanan tak sedikitpun dijamah sinar matahari. Angin lembut mempermainkan ujung roknya. Hiruk pikuk pengguna jalan menyapa gendang telinganya. Ia lalu mengembangkan payung dan berjalan pergi menyusuri trotoar.

Tidak mengindahkan kenyataan bahwa hujan tidak turun dan panas matahari tak sampai di kulitnya, Asa tetap menaruh payung itu di bahunya. Memutar-mutar gagangnya dengan riang sambil mendendangkan nada sebuah lagu dalam benaknya. Perempuan itu terus berjalan tanpa tahu akan kemana. Melangkah ia menuruti kaki. Ia hanya ingin menghabiskan hari dengan apapun yang ia suka. Itu adalah hari pertamanya setelah memutuskan untuk berhenti kerja. Asa ingin menikmatinya, dengan berjalan menyia-nyiakan waktunya.

Setelah tiga tahun mengurung diri dalam bilik kerja bersama segala perangkat kerja tanpa hati di atas mejanya, Asa, siang kemarin, tanpa aba-aba, juga tidak dengan alasan yang cukup bagi atasannya, mengajukan surat pengunduran diri. Tidak mengetahui apa yang ia inginkan, Asa meninggalkan surat pengunduran dirinya di ruangan bosnya. Lelaki itu mengatakan bahwa Asa harus mencari pengganti dulu sebelum berhenti bekerja dan ia tidak boleh mengundurkan diri secara mendadak seperti itu. Tetapi Asa tidak peduli. Ia pulang ke rumah saat itu juga, meninggalkan apapun yang ada di atas meja kerjanya. Dan tidak masuk kerja hari ini, meskipun atasannya tiga kali menelpon ke ponsel miliknya, yang tak satupun ia angkat.

Asa masih berjalan tidak acuh ketika tetes hujan pertama jatuh dari langit. Ia mencondongkan payungnya ke depan untuk menghadang hujan yang jatuh miring dari depan. Sisa hujan yang tak terhalang payung jatuh di kaki. Sebagian hinggap sebentar di permukaan rok, yang lalu melesap mencetak noda bulat gelap. Langkahnya kemudian melambat. Asa berhenti di trotoar pinggir jalan. Ragu-ragu hendak menyebrang, ia tetap berdiri di sana.

Sekonyong-konyong, terbit gagasan mematung di sana. Mula-mula ia mengamati bercak air yang jatuh di sepatunya. Sepatu itu baru saja ia beli minggu lalu. Sepatu kain berhak rendah. Polos tanpa ornamen. Hijau seperti warna kesukaan anak semata wayangnya. Sudah lama sekali rasanya, ia rindu menggendong putri kecilnya itu. Sedang apa kau nak? Asa ingin menangis seperti ibu-ibu lainnya. Tapi ia tak mampu.

Asa memeluk dirinya sendiri dengan satu tangan. Dingin yang datang menegaskan ketidakberadaan anaknya. Sudah hampir setahun dari saat suaminya menghilang membawa putrinya yang waktu itu berumur tiga tahun. Ia tak pernah menduga pelukan mantan kekasihnya harus dibayar dengan hilangnya pelukan anaknya.

Tak ada yang hebat dari pelukan kekasihnya itu, dingin seperti pelukan hujan. Tak berharga sama sekali. Tapi, itu cukup untuk membuat suaminya pergi. Alasan bukan perkara penting untuk suaminya. Dan Asa tak berminat menjelaskan apapun. Seminggu kemudian, suaminya menghilang membawa putrinya.

Hujan mulai reda. Kulit Asa telah mengeras. Jalanan kosong. Masih ragu-ragu hendak menyebrang, Asa merasa lelah. Udara basah, Asa menghirupnya tanpa ragu. Seketika rongga dadanya menjadi lega. Ia berbalik pulang. Perempuan itu tak menyadari dua orang lelaki mengikutinya.

***

Sembilanbelas orang lainnya telah lebih dulu hilang. Waktu begitu singkat. Hidup begitu pendek. Kau takkan tahu kapan ajal menjemputmu. Tapi seolah maut mengalir di nadimu. Ia begitu dekat.

Baiklah, aku beritahu sebuah rahasia. Tak akan ada yang mati di sini. Tidak Asa atau siapapun. Sembilanbelas temanmu yang lain, sudah pergi lebih dulu sebelum sampai bagian ini. Ya, mereka pintar. Mereka tak mau mati konyol. Karena itu mereka pergi meninggalkan cerita membosankan ini. Itupun jika tulisan ini boleh disebut cerita.

Nah, sekarang jadi pilihanmu. Bagaimana? Apa engkau masih mau meneruskan membaca cerita ini sampai engkau mati sia-sia? Atau kita sudahi sampai di sini saja? [ ]


2 komentar: