Kamis, 31 Oktober 2013

Buku Nh. Dini pertamaku



Judul            : Namaku Hiroko
Penulis         : Nh. Dini
Penerbit        : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit  : cetakan kesembilan, mei 2009
ISBN             : 978-979-655-587-1


Namaku Hiroko, adalah buku Nh. Dini pertama yang kubaca. Waktu itu sebenarnya aku mencari buku Nh. Dini yang lain, Pada Sebuah Kapal, tapi karena justru buku ini yang aku temukan, akhirnya tetap aku ambil. Dan agak takjubnya, buku 247 halaman ini selesai dalam 3 hari saja. Dan itu aneh buatku.


Namaku Hiroko adalah sebuah buku tentang seorang gadis desa yang dibesarkan dalam sopan santun keluarga yang taat. Hiroko muda adalah gadis desa yang lugu dan terbiasa hidup keras. Seorang perempuan desa yang hanya lulusan sekolah dasar. Hidup bersama seorang ayah, ibu tiri, dan dua orang adik lelaki. Ayahnya petani, ibu tirinya baik hati, dan kedua adik lelakinya adalah pangeran di rumah mereka. Dalam budaya jepang, di buku ini, betapa anak lelaki hidup dengan manja, tidak seperti anak perempuan yang justru dituntut lebih bekerja keras, dari sinilah Hiroko mulai tumbuh.

Perjalanan hidup Hiroko dimulai saat Hiroko disuruh tanpa kata oleh ayahnya menjadi seorang pembantu rumah tangga. Dalam masa Hiroko menjadi pembantu inilah Hiroko kemudian mengetahui kehidupan yang menurut Hiroko lebih baik. Hiroko mengenal kebersihan dan kerapihan, sebuah rumah yang bersih dan rapi kemudian menjadi sebuah rumah yang ia inginkan, tidak seperti rumah ayahnya di desa. Pada suatu hari, nenek Hiroko meninggal, Hiroko kemudian terpaksa pergi dari rumah tempat ia bekerja. Ketika Hiroko masih di desa, Hiroko kemudian mendapat kabar dari majikannya bahwa ia tak perlu kembali bekerja, sudah ada orang lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama di rumah, Hiroko selalu mendambakan rumah yang lebih baik untuk tinggal.

Lalu, Hiroko bertemu dengan Tomiko, yang bekerja di kota Kansai, yang ada di pulau lain dari Kyushu, pulau tempat mereka tinggal. Setelah sepakat akan dicarikan pekerjaan di Kansai, Hiroko pun pergi turut dengan Hiroko ke Kansai. Selama perjalanan ke Kansai, Hiroko kemudian melihat Tomiko sebagai orang yang melekat ke dalam pikirannya sebagai orang panutannya. Selama belum bekerja, Hiroko untuk sementara tinggal berama Tomiko di rumah majikan Tomiko. Di sana, Hiroko bertemu dengan Emiko, salah seorang yang kemudian Hiroko belajar banyak hal darinya. Juga Michiko, seorang perempuan yang bekerja di kabaret. Dari merekalah kemudian Hiroko mulai belajar tentang hidup yang ia ingini.

Hiroko mendapatkan pekerjaan pertamanya di rumah sebuah keluarga kecil, suami istri yang mempunyai seorang anak balita. Dan dari rumah ini pulalah Hiroko mengenal cinta. Adalah Sanao, adik lelaki dari nyonya rumahnya, yang mengenalkan Hiroko pada tahap hidup yang ia anggap sebagai tahap ia melangkah ke dunia orang dewasa. Namun hal itu tidaklah berlangsung lama, karena Sanao harus mengakhiri kunjungannya ke rumah kakak perempuannya dan pulang kembali ke Yokohama. Kemudian, Hiroko keluar dari rumah tempat ia bekerja saat tuannya melakukan hal-hal lebih yang ia—sebagai orang desa yang polos dan pembantu rumah tangga kedudukkannya—tidak bisa tolak. Hiroko memilih keluar dari rumah itu dengan dibantu Tomiko.

Selepas itu, nasib membawa Hiroko menjadi seorang pegawai toko besar. Di tempat itu Hiroko bertemu dengan Nakajima-san, atasannya, yang darinya Hiroko melengkapi dirinya menjadi seorang perempuan yang tahu apa yang ia inginkan. Hiroko berubah dari gadis desa menjadi perempuan kota yang komplit. Didorong oleh kehidupannya yang miskin di desa, Hiroko kemudian bertekad untuk mewujudkan mimpi-mimpinya, punya hidup yang terjamin dan tentu saja kebebasan. Hiroko menyukai uang, namun tak sampai mendewakan uang. Meski sempat terjebak pada hal yang tak ia inginkan, Hiroko mampu berlepas diri dari hal yang mungkin bisa dibilang menjual prinsip hidupnya, dan Hiroko pada akhirnya tidak sudi menjual hidupnya demi uang.

Kisah hidup Hiroko kemudian berlanjut menjadi rumit, terutama perihal lelaki yang ia anggap  sebagai kekasih. Tapi Hiroko sudah matang, Hiroko tahu apa yang ia inginkan, dan barangkali, novel ini telah selesai bagi saya di sini.

Dengan tulisan yang ringan dan rapi, Nh. Dini sungguh memukau dengan menyajikan sebuah cerita yang memikat hati saya. Sebuah buku yang harus anda baca. Setelah buku ini, maka saya tidak akan heran jika pada akhirnya nanti, saya takkan kapok membaca tulisan Nh. Dini yang lain. Jadi, selamat membaca!

Review Burung-burung Manyar


Judul : Burung-Burung Manyar
Penulis : Y. B. Mangunwijaya
Penerbit : Djambatan
Tahun terbit : 1999, cetakan kedelapan
ISBN : 979-428-358-4


Saya termasuk orang yang tidak peduli dengan cover buku, jadi saya tidak akan membahas cover buku ini. Judul, selain cover, juga bukanlah hal yang membuat saya tertarik pada sebuah buku atau tidak.
Buku ini terbagi atas tiga bagian, bagian pertama menceritakan peristiwa antara tahun 1934-1944, lalu bagian kedua menceritakan peristiwa antara tahun 1945-1950, dan bagian ketiga menceritakan peristiwa antara tahun 1968-1978.


Bagian pertama, seperti kita tahu, tahun 1934-1944 adalah tahun sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Bagian pertama buku ini menceritakan masa kecil Teto dan Atik, tokoh Utama buku ini. Teto, atau yang mempunyai nama asli Setadewa, adalah anak dari seorang ningrat Jawa yang menjadi seorang Letnan KNIL, yang lahir dari rahim seorang perempuan Belanda. Sementara Atik, Larasati, anak dari ibu yang masih punya hubungan dengan lingkungan keraton, dan seorang ayah dari rakyat, bukan keturunan ningrat Jawa. Pada bagian pertama ini diceritakan bagaimana Teto dan Atik tumbuh dalam dunia yang berbeda. Teto, yang Papi dan Maminya yang kental dengan pengaruh dari Belanda, tumbuh dengan menjalani kehidupan anak kolong, yang sedikit banyak kemudian mempengaruhi bagaimana Teto memandang hidup. Sementara Atik, tumbuh menjadi perempuan berpendidikan yang bisa dibilang perempuan modern, namun tetap tidak melupakan akar budayanya sendiri.

Pada bagian kedua buku ini, menceritakan tentang peristiwa yang terjadi di rentang tahun 1945-1950. Diceritakan bagaimana peristiwa selama masa kemerdekaan mengubah kehidupan Teto dan Atik secara drastis, dan bertolak belakang. Teto, yang menaruh kebencian kepada Jepang, yang telah merenggut keluarganya, kemudian menjadi tentara KNIL, melawan republik yang menurut pemahamannya adalah sekutu Hepang. Sementara Atik yang berpendidikan baik, berdiri di pihak republik.

Di bagian ketiga buku ini, diceritakan Teto dan Atik pada usia matang mereka. Ah, sebaiknya saya tak bicara terlalu banyak tentang bagian ketiga ini, tidak adil rasanya kalau saya bicara terlalu banyak, saya takut bahwa ada kemungkinan saya merenggut keasyikan membaca buku ini.

Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1981, dari sana saya kemudian menjadi maklum dengan begitu banyaknya kata-kata yang masih menggunakan bahasa Jawa dan Belanda. Tapi tak menjadi soal, sebab ada banyak catatan kaki seandainya tidak paham dengan beberapa kata bukan dalam bahasa Indonesia. Dengan ejaan dan tata bahasa yang belum menggunakan EYD bahasa Indonesia mutakhir, hal itu justru membuat saya menikmati bahasa yang digunakan penulis, seperti juga saya menikmati tulisan-tulisan klasik penulis Indonesia.



kamisan #6 insomnia - lanturan lelaki tengah malam


Lampu kamar masih menyala terang, tiada lelah melawan malam. Sinarnya yang putih menerangi langit-langit kamar dimana aku sering menggantungkan angan. Di sudut sana, di atas pintu kamar, terdapat noda kuning yang melebar bekas air hujan musim hujan tahun lalu. Nodanya tampak masih muda. Aku suka melukis bermacam khayalan di sana, mulai  dari wajah perempuan ercantik yang mampu aku inginkan hingga tentang masa depan yang tak jauh dari hal-hal Wah yang sering aku lihat di dalam layar televisi. Barangkali, dalam kubangan kecil warna kuning pudar itu terkumpul seluruh hidupku, kini maupun nanti.

Alunan lembut musik dari laptop yang sedari tadi menyala membangunkanku dari lamunan. Sebuah lagu syahdu terlantun dari suara Monita yang mengcover lagu keliru yang dulu dipopulerkan Ruth Sahanaya. Dengan cara yang aneh lagu itu membawaku larut dalam memori lama tentang kisah asmaraku yang telah lama mati. Entah kenapa aku teringat pada sosok Ira kembali muncul dibenakku. Sebenarnya, kalau aku pikir-pikir lagi, tak ada yang terlalu istimewa dari Ira. Ira adalah gadis lugu yang sempat mengisi hariku dengan senyum malu-malunya setelah aku berlepas dari bayangan cinta pertamaku. Ira sempat lama menjadi bagian cerita hidupku yang kurasa tak bisa terlalu kubanggakan. Tidak ada yang cukup mampu kuingat darinya kecuali senyum tipisnya saat aku goda dengan pujian yang sengaja kuucapkan untuk membuatnya senang. Dan kenyataan bahwa Ira menyukai Ruth Sahanaya adalah kemungkinan paling masuk akal yang membuatnya muncul dipikiranku malam ini. Secepat itu dia datang, secepat itu pula sosoknya pudar bersama selesainya lagu Monita di laptop.

Layar laptop tampak bosan memamerkan tugas yang masih setia menunggu untuk kuselesaikan. Namun aku sendiri justru yang tak bergairah untuk menyentuhnya. Ada yang lelah di diriku menghadapi layar laptop terus-terusan. Aku sudah lupa kapan terakhir aku memanjakan diri. Ada agenda atau mungkin lebih tepat bisa dibilang wacana, hendak pergi ke lombok yang sudah kuangankan semenjak tahun lalu, tetapi masih belum terwujud juga hingga hari ini. Akhir-akhir ini terasa sekali kalau aku sudah tak bisa menikmati hari-hariku, entah kenapa. Ada yang kurang atau hilang atau apalah itu namanya, seringkali ada perasaan hampa setiap kali aku melakukan hal-hal yang pada hari biasanya seringkali membuatku tersenyum dan merasa ceria, tapi kini tidak lagi. Aku sendiri tak pernah berhasil mengidentifikasi jenis perasaan itu, apa yang salah, apa yang sebenarnya hilang dari diriku. Jenuh, jenuh pada rutiniitas harian yang sudah otomatis, terikat keteraturan, barangkali. Ah, mungkin refreshing itu memang perlu!

Sebuah jam keramik pemberian teman yang berdiri diam di sebelah layar laptop tiba-tiba menarik perhatianku, mengalihkan pandanganku. Sebuah logo klub sepakbola kesayanganku terpampang manja tepat ditengahnya, tertindih jarum-jarum yang bergerak teratur dan mengkultuskan diri sebagai panutan waktu. Warnanya merah menyala, dengan gambar meriam di atasnya. Jam itu adah jam pemberian seorang teman sebagai hadiah ulang tahunku. Seorang teman yang tergabung dalam komunitas penggemar klub sepakbola yang sama denganku. Seorang teman yang aku temukan di jejaring sosial. Karir pertemananku dengannya sungguh memuaskan, bisa dibilang istimewa. Meskipun hanya sekilas lintas bertemu di dunia maya, aku sudah bisa dengan sombong menyebutnya saudaraku, entah jika itu dari pihaknya. Hanya saja aku sudah memutuskan bahwa ia adalah orang yang pantas untuk aku sebut saudara. Sepele saja, pada suatu malam ketika aku sedang berada di kotanya dalam perjalanan pulangku dari rumah seorang teman di semarang waktu itu, dalam kondisi lelah dan sudah kemalaman, dengan mudahnya dia bilang untuk tidur di rumahnya. Dan cara dia serta keluarganya memperlakukan aku kala itu sungguh tidak memalukan untuk dikenang. Yah, engkau tidak tahu siapa saja yang mungkin mau menganggapmu sebagai seorang teman atau saudara, bahkan mungkin musuh.

Jarum jam itu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi, dan aku belum mampu tertidur. Sudah tiga gelas kopi yang tandas menemani malam ini. Seharusnya aku tak perlu heran bukan kenapa aku masih terjaga? Ah, besok masih ada kerja tetapi hingga saat ini aku masih belum ada akal untuk menidurkan diri. Mataku sepertinya jenis mata yang tengah tidak disukai apa yang biasa disebut kantuk itu. Tak peduli sekuat apapun aku meniatkan diri untuk tidur, setiap aku menutup mata selalu saja kelopak mataku berubah menjadi layar bioskop yang memutar film yang disutradarai dan dikehendaki pikiran. Pikiranku terlalu kreatif, itu kata seorang teman yang suka meremehkan kemampuan tidurku. Disuruhnya aku mencari seorang teman tidur, seseorang yang cukup tabah untku aku panggil istri. Biasanya, aku hanya tertawa saja menanggapi gurauan serius temanku itu. Jujur saja, aku masih belum berani memikirknkehidupan berumah tangga. Ah mungkin bkan belum berani, Cuma belum ada bayangan dalam pikiranku perihal pernikahan. Itu bukan alasan, sungguh, aku bilang dengan kesungguhan hati. Namun bila engkau bilang itu hanya alasanku saja, lalu apa hakku untuk melarang anggapan-anggapan itu? Mentang-mentang pikiran itu bukan Cuma pikiran satu atau dua orang, tidak berarti pendapat banyak orang adalah pendapat yang paling benar, bukan? Tetapi, kupikir lagi, buat apa aku memikirkan hal itu, yah barangkali hal itu sama pentingnya dengan perihal pernikahan, tetapi kiranya bukan itu yang perlu aku khawatirkan saat ini. Belum!

Nah dengar, adzan Subuh sudah berkumandang. Sebaiknya aku segera mengambil air wudlu, ada hutang tidur yang harus kukejar setelah selesai dua raka’at. Semoga masih ada berkah tidur untukku. Nah selamat pagi, dan jangan lupa doakan aku untuk nikmat tidur yang semoga masih tersisa untukku, jika manusia tak terlalu tamak dan rela menyisakan barang secuil nikmat itu untukku, ah engkau tahu itu hanya harapan. Atau bangunkan aku jam tujuh, itu lebih berguna bagiku, kiranya! Nah selamat pagi, selamat merayakan hari.

Kamis, 24 Oktober 2013

kamisan #5 Lupa - Urusan Sepele Tentang KTP


Hendra berjalan cepat menghindari terik matahari. Rumah Pak RT sudah tampak di ujung jalan. Temboknya yang berwarna putih mengilap terlihat seperti mengejek pohon pisang kepok yang tumbuh di halaman depan. Daun-daun pohon pisang itu compang-camping. Hendra berhenti dalam jarak satu langkah dari rumpun pohon pisang itu, mengatur nafas dan menyeka keringat di keningnya dengan punggung tangan. Kemudian, dengan langkah teguh Hendra mulai mendekati rumah itu.

Hendra mengetuk pintu, mengucap salam. Sambil memandang celana panjang miliknya, Hendra tersenyum setelah memastikan lipatan celananya tak rusak. Terbayang sudah pekerjaan yang telah dijanjikan Karyo di kota. Sebentar lagi Hendra akan mampu membelikan emaknya baju baru untuk lebaran tahun ini. Pintu dibuka dari dalam, wajah Pak RT yang keras muncul dari balik pintu, keningnya berkilat seperti bekas keringat yang mengering.

"Eh kamu Hen, mari masuk"
"Iya, Pak. Maaf mengganggu istirahat Bapak."
"Ah tidak apa-apa. Mari silahkan duduk." Hendra duduk di kursi yang menghadap Pak RT. "Jadi, ada urusan apa?"
"Ini Pak, saya mau mengambil KTP." jawab hendra dengan sudur bibir yang ditarik keatas.

"Ah iya, soal itu. Ini tadi Bapak sedang terburu-buru Hen, jadi Bapak kelupaan untuk membawa KTPmu, masih di kelurahan. Besok lah kamu ambil kemari lagi." sahut Pak RT sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Senyumnya tipis terangkat tanpa beban.

Hendra diam, tatapannya jatuh ke meja kayu di antara mereka.

"Nah begitu saja ya Hen, saya ambilkan KTP-mu besok." ulang Pak RT mencoba menegaskan.
"Iya, Pak. Saya ke sini lagi besok." jawab Hendra datar. Hendra bangkit dari duduknya. "Maaf, Pak, sudah mengganggu istirahatnya. Terima kasih."

Sekonyong-konyong Hendra gelisah sendiri, langkah kakinya cepat dan panjang-panjang. Pikirannya melayang, sudah terlambat kalau ia berangkat ke kelurahan sekarang, kelurahan sudah tutup saat ia sampai nanti. Satu-satunya harapan Hendra adalah Karyo yang saat ini menunggu di warung mbok Darmi. Hendra melangkah cepat lewat jalan terdekat yang ia tahu.

Karyo masih duduk di kursi panjang warung Mbok Darmi. Karyo meletakkan gelas kopinya yang masih sisa setengah. Tersenyum panjang melihat Hendra datang. Tapi saat melihat Hendra tak membalas senyumnya, Karyo buru-buru menyembunyikan bekas senyumnya. Raut wajahnya menjadi serius.

"Yo, Pak RT lupa membawa KTPku." Hendra langsung menyudutkan Karyo dengan kabar KTP itu.

Karyo mengerutkan keningnya, agak lama tak langsung menanggapi berita itu. Karyo menenggak sisa kopinya sebelum bicara "Bagaimana kalau kita ke kelurahan sekarang?"
"Terlambat Yo, kalaupun kita berangkat sekarang, kelurahan sudah tutup saat kita sampai nanti."
"Bangsat memang Pak RT-mu itu!"

"Apa tidak bisa kau tunda sehari keberangkatanmu?" Tanya Hendra menaruh harap.
"Tidak bisa Hen, kalau aku berangkat besok, jangankan kamu, bisa-bisa aku tak punya pekerjaan."
"Bagaimana kalau aku tetap ikut berangkat hari ini?"
"Tanpa KTP?" Hendra mengangguk. "Tidak bisa Hen, mandorku takkan mau mempekerjakanmu tanpa KTP. Kau lihat sendiri kan di berita tentang razia KTP di jakarta?"
"Jadi bagaimana?"
Karyo menepuk bahu Hendra. "Apa boleh buat Hen, tahun depan saja kau ikut aku."

Karyo membayar kopinya lalu meninggalkan Hendra di warung. [ ]

Kamis, 17 Oktober 2013

kenapa menjadi orang baik bisa begitu rumit?

Tiba-tiba saja aku merasa perlu untuk bersedih. Aku baru saja mengetahui bahwa barangkali aku telah menyakiti perasaan seorang perempuan, lagi. Baru saja aku membaca status orang itu di salah satu akun sosial media miliknya. Ia bilang aku meninggalkan bekas luka, meski ia tidak secara tegas menyebutkan bahwa orang itu aku, tetap saja aku merasa bahwa ia tengah berbicara tentangku.
Kenyataannya adalah aku tidak pernah merasa hendak dengan sengaja menyakiti perasaanya. Hal seperti ini bukanlah yang pertama kalinya buatku, tapi tetap saja itu membuatku sedih, dan justru kian memaksaku untuk berpikir bahwa mungkin kesalahan ada padaku dan aku saja yang barangkali tidak menyadarinya.

Yang paling sering terjadi adalah aku pada awalnya, seperti setiap kali aku berlaku, beramah-tamah. Aku suka mempunyai banyak teman, akrab dengan semua orang, mempunyai banyak saudara adalah sesuatu yang aku inginkan. Pada satu waktu, mungkin aku menjadi terlalu gampang bilang iya. Aku mudah sekali meluluskan permintaan yang sekiranya itu sepele buatku. Membuat orang senang, tersenyum adalah kesenangan yang lain. Saat melihat seseorang bersedih aku tidak pernah tak tergiur untuk sekadar membuatnya tersenyum. Memberi hadiah atau kado adalah sesuatu yang lain yang menjadi kegemaranku, biasanya. Lalu, lambat laun, satu atau dua orang kemudian menganggap hal-hal itu sebagai sesuatu yang lain bagi mereka. Lalu kesalahan akan dengan mudah menjadi milikku. Kenapa menjadi orang baik menjadi begitu rumit sekarang ini? Oke mungkin aku terlalu naif saat bilang aku orang baik. Tapi bagaimana nanti nasib manusia saat kebaikan kemudian dianggap sebagai hal buruk? Sebagai pemberi harapan, lalu saat kebaikan itu tidak sesuai dengan harapannya, dengan mudah ia bilang itu sebagai pemberi harapan palsu??

Apakah salah menjadi orang baik? Lalu, bila aku menjadi orang jahat apa kalian masih mau berteman denganku? Bahkan antara para penjahat pun mereka selalu saling berbuat baik.
Kenapa berbuat baik harus selalu dengan alasan? Kenapa keramahan harus dicurigai? Hidup sudah sulit, kenapa harus mempersulit diri dengan prasangka dan harapan tinggi? Saranku, selama itu tidak merugikan, ambil saja apa yang ada.
Ah iya, orang yang tidak bisa menerima kita saat kita bilang tidak padanya adalah orang yang ingin mengendalikan hidup kita. Kau tahu apa yang harus kalian lakukan pada orang seperti itu, bukan? Iya, setidaknya aku sedang belajar untuk berkata tidak, aku agak terpaksa barangkali. Namun hal itu tidak aku yakini akan dengan sungguh-sungguh aku laksanakan tanpa kompromi. Meminjam perkataan temanku ‘sempit sekali duniaku kalau hidupku harus selalu berpusat pada perkataan orang-orang yang bahkan tidak menaruh peduli padaku.’ Aku masih enggan percaya bahwa berbuat baik adalah sebuah kejahatan. Mungkin aku hanya harus agak berhati-hati untuk berbuat baik. Sudah pasti tidak semua orang bisa menerima kebaikan. Tidak sekali aku mendapat kerumitan gara-gara berbuat kebaikan. Inilah ‘Bumi manusia’, tidak sekali-kali aku tak setuju oleh Pram dalam hal ini.

Masih ada orang-orang di luar sana yang mempertanyakan apa motivasi dari kebaikan yang sering kita perbuat tanpa sesuatu maksud apapun. Perlukah kita berhati-hati dalam berbuat baik? Aku percaya perlu. Namun berbuat baik, bagiku, jauh lebih dari perlu!

kamisan #4 cinta yang menyembuhkan - menghibur penghibur


Ida membuka pintu kamar kost Neni secara serabutan. Bau apak segera menyerbu paru-paru Ida. Ida menyibak kan tirai jendela. Neni menutupi matanya yg masih terpejam dengan punggung tangannya, terkejut oleh intensitas cahaya dari luar yang menyerobot masuk lewat lubang pintu dan jendela. Ida membuka daun jendela, membiarkan udara masuk banyak-banyak.
Ida mengambil bungkusan nasi goreng yang ia bawa kemarin, masih utuh, Ida membuangnya ke tempat sampah di luar kamar. Ida menyingkirkan gelas teh yang telah dingin di dekat kasur Neni, menaruhnya di dekat dispenser. Lalu Ida duduk di bibir kasur, tangannya jatuh di paha Neni. Neni menurunkan tangan yang menutupi matanya. Neni memandang lurus ke langit-langit kamar kost nya.

"Ayo bangun, mandi sana!" Ida menarik sebelah lengan Neni. Neni memiringkan tubuhnya, memunggungi Ida, menatap tembok. "Hendak sampai kapan kau akan begini?"

"Apa salahku, Da? Apa menurutmu aku salah?"  ujar Neni tanpa membalikkan tubuhnya. Suaranya serak dan bergetar, ada tangis di suaranya. Neni masih terpukul, pacarnya selingkuh, ada rasa bersalah yang masih tinggal di dirinya. Dan Neni tidak tahu cara menghapus rasa bersalahnya.

"Tidak ada yang salah padamu. Lelaki itu yang brengsek, yang tidak bisa memperlakukanmu dengan layak." Neni kemudian terisak. "Kau tidak bisa terus-terusan menyia-nyiakan hidupmu seperti ini, Nen."

Ida bangkit, memanaskan air dalam dispenser, lalu kembali menghampiri Neni."Sudah ayo mandi dulu, biar wangi." bujuk Ida seraya melebarkan bibirnya.

Neni bangkit dengan malas. Matanya yang bengkak berkedip sekali, tanpa menatap Ida, Neni berjalan ke kamar mandi. Ida membereskan kasur Neni, menyapu lantai. Membuat segelas teh hangat untuk Neni.
   
Neni keluar dari kamar mandi. Bau sabun dengan cepat mengisi udara kamar. Rambutnya yang basah menguarkan bau shampo. Namun kesegaran itu tidak terlalu membekas di raut muka Neni, sorot matanya kosong.
"Minumlah!" Ida menyodorkan teh hangat ke depan Neni yang duduk bersimpuh di kasur, menyandarkan dirinya ke tembok. "Jadi, mau kemana kita hari ini?" tanya Ida dengan mata berbinar. Neni menggeleng. "Kamu mau eskrim? Ada warung es krim baru di dekat toko buku di ujung jalan." Neni diam, meratapi keengganan yang tumbuh pada makanan favoritnya itu. "Ah pasti menyenangkan makan es krim panas-panas begini. Nah, nanti kita mampir ke toko buku, sudah lama kan kita tidak belanja buku bareng?" Ida tidak berniat menyerah kepada Neni. "Atau kita bisa shoping aja, bagaimana?" Ida melirik nakal pada Neni.
Neni diam, memandang gelas teh di depannya tanpa gairah. Ida menghela nafas, lalu duduk pasrah di samping Neni. Ida memeluk lututnya seraya menyandarkan bahunya pada tembok.

Neni memandang pada Ida, Neni tahu dia tak bisa menyia-nyiakan usaha Ida menghiburnya. Neni tersenyum, “tentu saja kita akan ke sana Da. Aku ingin eskrim vanilla.” ujar Neni sambil bangkit. Ida tersenyum. [ ]

Jumat, 11 Oktober 2013

surat: kepada 'princess Zimbabwe' Dhila


Selamat malam Dhila yang baik,
Apa kabar? Semoga kesehatan selalu bersamamu ya, seperti juga kebahagiaan selalu setia menghiasi hidupmu. Heheheheh iya aku tahu doaku itu barangkali terlalu muluk bagi manusia, terlebih bila mengingat kondisi terakhir yang sempat kau kabarkan di waktu paling mutakhir dulu. Tapi apa salahnya berdoa, bukan? Meskipun aku masih orang yang sinis, yang tidak begitu mampu percaya kepada harapan, kupikir, doa, lainlah dengan harapan. Doa lebih seperti tanda kerendahan diri seorang mahkluk yang meminta tanpa memaksa kepada yang dimintai. Nah itulah, semoga surat ini, setidaknya, mampu paling sedikit membuat bibirmu tertarik keatas.

Dhila yang tengah bersenyum,
Jadi, sudah sejauh apa engkau menyelesaikan bacaanmu? Yah, sesungguhnya engkau pun tahu, aku tak pernah bermaksud meracuni engkau dengan jenis bacaan-bacaan yang barangkali tak sesuai dengan selera bacamu. Aku bukan hendak pula mendikte engkau dengan bacaan-bacaan jenis tertentu. Aku hanya ingin engkau menemui jenis bacaan yang lain dari buku yang biasa engkau baca, agar engkau tidak bertemu dengan kejenuhan yang dulu sempat mampir kepadaku. Yah siapa tahu, dengan menemukan jenis bacaan yang baru, engkau justru kemudian akan mau untuk tertarik pada hal-hal baru, sudut pandang yang baru, dunia baru, bukankah itu sekiranya akan menyenangkan? Bisa kubilang mampu memberi warna lain yang mungkin asing dalam hidup.

Dhila yang semoga tidak sedang cemberut,
Aku baru saja selesai membaca buku yang engkau sarankan. Buku yang jelas sekali bukan jenis buku yang akrab bagiku, tapi, iya dulu aku pernah pula membaca buku jenis ini. Nah, memang, seperti yang aku khawatirkan, buku ini memang bacaan yang renyah, hanya saja, masih seperti ingatan lamaku, buku seperti ini masih kurang memperhatikan penulisan yang benar. Engkau tahu bukan, buku bukan sekadar cerita, terlebih bagiku, bahasa yang rapi dan cerita yang tak berasal dari langit. Ah tapi tentu saja, satu dan lain orang bisa sangat berbeda dalam memandang sebuah buku, dan aku masih percaya bahwa setiap buku memiliki pembacanya sendiri.

Dhila yang cerewet,
Hehehehe... ah aku tau engkau sebenarnya tidak terlalu cerewet, hanya agak saja engkau mempunyai sedikit kecenderungan untuk tahu. Dan itu bagus, apalagi untuk seorang pembaca buku. Keingintahuan adalah bukti hidup seorang manusia, barangkali. Nah mungkin kita akan sepakat dengan ungkapan orang-orang, bagiku bukuku dan bagimu bukumu.

Dhila yang makin rajin,
Sekiranya itu saja yang bisa aku tuliskan dalam surat ini. Aku tak ingin engkau bosan mendengarkan ceramahku... hahahaha. Yah, semoga engkau tak kapok membaca buku-buku yang barangkali bukanlah jenis buku yang biasa engkau baca untuk menghabiskan waktumu. Nah sebaiknya aku akhiri saja surat ini. Tetap membaca ya!

Semoga kedamaian selalu bersamamu. Salam sejahtera!
(yang boleh kau anggap)kakak... atau om :D

Rabu, 09 Oktober 2013

Kamisan #3 Telur Dadar - resep telur dadar

Sebenarnya saya tak hendak menulis perihal ini. Hal pertama yang terpikir kali pertama saat saya duduk di depan laptop adalah sebuah cerita aneh tentang hantu; saya sedang terpikir tentang sebuah pertanyaan teman saya saat sedang menonton film Insidious 2. Namun, kemudian saya menjadi tidak yakin, ada sebuah keengganan yang tiba-tiba merasuki saya. Sebuah pikiran yang menyuruh saya menangguhkan cerita aneh itu, daripada menulisnya dalam sebuah keterburu-buruan yang barangkali menipu pikiran, saya memutuskan untuk menyimpannya agar pertanyaan tadi akrab dengan cara pikir saya, menunggu hingga ia nyaman dengan diri agar nanti ia rela dengan sendirinya menampakkan diri dalam wujudnya yang sepele. Maka izinkan saya sekali lagi menulis tentang sesuatu yang telah begitu lebur dengan diri.

Baiklah, sebelum itu, bolehlah kiranya saya menyampaikan sebuah pembelaan, bahwa saya menulis hal ini sebagai tabik saya kepada kenangan. Saya tak ingin membuat anda bosan dengan kenangan-kenangan yang hidup dalam diri saya, satu dua hal sepele yang mungkin bagi Anda adalah sebuah bentuk pemujaan berlebihan. Mau bagaimana lagi? Saya tidak bisa memungkiri bahwa barangkali saya membangun hidup saya dari kenangan-kenangan. Saya termasuk orang yang rewel, saya suka sekali menanam makna-makna dalam setiap hal yang menyinggung hidup saya. Saya bukan hendak membentengi hidup saya dari dunia di luar saya dengan kenangan-kenangan; tapi, saya lebih suka mengatakan bahwa itu adalah cara saya menghormati apapun dan siapapun, bahkan mungkin Anda. Bahwa saya akan mengingat siapapun atau apapun yang mampu memberi warna pada hidup saya yang menyedihkan, menyedihkan bukan dalam arti saya selalu menderita atau kekurangan ini-itu(barangkali saya pernah mengalami hal itu, namun itu bukan hal menyedihkan bagi saya), menyedihkan yang saya maksud adalah bahwa hidup saya tidaklah dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa yang bisa ditertawakan atau yang cukup layak diceritakan kepada teman atau anak cucu kelak. Maka, dari sana saya mulai belajar memberi cerita atau makna pada hal-hal yang kadang kala mampir dan bersinggungan dengan kekosongan hidupku.

Sungguh saya tak bermaksud membuat Anda bosan dengan kenangan yang hidup pada diri saya. Tapi, pada kesempatan kali ini saya ingin membagikan sebuah kejadian yang hingga saat ini masih singgah dengan nyaman dalam ingatan saya.

Pada sebuah pagi yang sudah seluruh manusia sepakati sebagai sebuah hari pada bulan april tahun 2012. Pagi itu saya bangun di dalam sebuah kamar hotel di kota Palu. Saya bangun dengan perasaan aneh, sebuah perasaan wajar yang saya paksakan untuk menekan euforia bahwa hari ini saya akan bertemu dengan seorang perempuan yang sudah dengan suka rela memercayakan sebagian waktu dan harapannya akan masa depannya kepada saya. Setelah melalui serangkain percakapan yang menghadirkan sebuah janji, takdir kemudian sudi berbaik hati memberi jalan pada janji untuk menampakkan diri. Saya terbangun dengan wajar, tanpa sempat merasakan bau udara panas yang sering saya dengar dalam suara manja yang terdengar hangat dari balik speaker telepon seluler, udara panas itu hanya muncul dalam angan saat saya memenuhi paru-paru dengan udara sejuk yang keluar dari pendingin ruangan kamar hotel.

Pintu kamar hotel bergetar, menghadirkan suara riang yang lucu; saya membuka pintu kamar. Apa yang saya temukan di luar pintuku adalah sesuatu yang akan menghantui hidup saya sejak saat itu. Sebuah wajah murung yang terbingkai rapi di dalam balutan kain jilbab berwarna krem lembut. Pipi yang menggembung, ujung bibir yang membentuk sebuah ceruk kecil di pipinya, sorot mata merindu, tangan yang terkulai menenteng sebuah tas plastik berisi tempat makanan. Menghambur, tanpa ucapan selamat pagi atau pertanyaan sederhana untuk memastikan bahwa ia tidak salah orang, ia langsung memeluk.

Ia membawakan sekotak nasi goreng dan telur dadar untuk makan pagi. Yang tidak akan saya lupakan adalah bahwa telur dadar itu agak terlalu asin. Saya agak tak percaya kala ia bilang sudah makan, apa iya ia akan tetap memberikan telur dadar itu pada saya kalau ia mengetahui bahwa telur dadar  itu agak terlalu banyak mengandung garam? Dan bentuk wajahnya kala merasakan telur dadar itu sungguh tak terlupakan, serupa dengan ekspresi saat ia tengah berdiri di depan pintu tadi, tapi sedikit lebih lucu. Pipinya yang bulat bersemu merah, dua bola matanya agak redup, cuping hidungnya mengecil dengan cara yang aneh, dan bibirnya yang malu tertarik lebih panjang seolah ada yang lucu di wajah saya. Ah itu seperti anda tengah menyaksikan sebuah larik pelangi tanpa warna hijau pada barisannya.

Perempuan pemilik wajah pelangi tanpa warna hijau itu kini telah memutuskan berlepas diri dari saya, namun ekspresi wajahnya tetaplah milik saya. Maka jangan tuduh saya gila bila saya selalu tersenyum menatap onggokan telur dadar di atas piring makan saya. Sepotong telur dadar(boleh dibaca: kenangan) di pagi hari bolehlah mencerahkan sebuah hari kelabu di bulan Oktober--seharusnya musim penghujan sudah mulai sering hadir di bulan ini, atau anggap saja begitu.

Anggaplah kuning telur itu Anda, dan putih telur itu sebagai kenangan. Anda bisa saja terus tumbuh di dalam kenangan Anda, terbungkus dalam dunia kenangan yang tak berwana. Atau Anda pun boleh mengolahnya menjadi telur dadar yang bisa membuat hari Anda yang murung menjadi hari yang bisa Anda tertawakan atau Anda senyumi. Dengan meleburkan kenangan bersama diri menjadi satu; Anda boleh menambahkan sejumput  penerimaan atau keikhlasan, ditambah dengan sedikit cincangan pikiran positif, lalu taburi dengan mimpi Anda akan kebahagiaan; niscaya kenangan adalah seorang teman setia yang bisa menguatkan kalau Anda berkehendak demikian. Maka saya takkan mengganggap Anda gila saat Anda tertawa didepan piring makan Anda. Anda tidak sendiri, Anda ada bersama dengan saya. Nah, selamat menikmati telur dadar Anda dengan cara yang boleh Anda pilih. Salam sejahtera!

Kamis, 03 Oktober 2013

#punishment kamisan #1 - Review buku - Kappa






 
Judul               : Kappa
Penulis           : Ryunosuke Akutagawa
Penerbit         : interprebook, KPP(Kelompok Penerbit Pinus)
Tahun terbit    : 2009
ISBN               : 978-979-18388-4-9


Novel yang ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa ini adalah tergolong pendek dengan jumlah 121 halaman saja dari 144 halaman. Selebihnya adalah kisah tentang penulis yang membuat novel ini dalam waktu dua minggu.

Penulis kemudian bunuh diri tidak lama setelah cerita Kappa ini dimuat dalam Majalah Kazio edisi Maret 1927. Penulis bunuh diri pada tanggal 24 juli 1927.


Kappa sendiri adalah sebuah dongeng yang berasal dari Jepang. Akutagawa mencoba menuliskan sebuah cerita tentang negeri Kappa, sebuah negeri yang sangat berbeda dengan negeri manusia-- yang dalam buku ini adalah Jepang yang tidak lain adalah negeri tempat asal Akutagawa.

Kappa adalah makhluk mitos yang keberadaanya masih diragukan. Dalam buku ini digambarkan Kappa memiliki tinggi tubuh kurang lebih satu meter, memiliki rambut pendek dan jarang, kaki dan tangannya pun berbulu. Kappa memiliki cawan berbentuk oval di kepalanya, seiring bertambahnya usia maka cawan ini perlahan-lahan semakin mengeras. Kulit kappa serupa dengan kulit bunglon yang bisa berubah warna untuk berkamuflase menyerupai lingkungannya. Kappa juga memiliki kantung di perutnya seperti kangguru. Kappa memiliki cadangan lemak di bawah kulitnya sehingga tidak memerlukan pakaian meskipun hidup di lingkungan bersuhu dingin.

Novel ini adalah novel satire--sebuah sindiran-- yang membandingkan kehidupan manusia dan kehidupan Kappa. Dunia yang nyaris berbanding terbalik dengan negeri manusia. Hal-hal yang dianggap serius di dunia manusia justru dianggap sebagai sesuatu yang lucu di dunia Kappa. Dalam novel ini pun digambarkan betapa sensitifnya perasaan Kappa. Begitu sensitifnya perasaan Kappa sehingga bisa mati hanya karena disebut kodok.

Kisah ini bermula dari seorang manusia yang tidak sengaja terbawa masuk ke dunia Kappa. Di dunia Kappa, manusia menjadi seorang tamu yang dilindungi dan dihormati, seperti seorang turis yang datang ke sebuah negara asing. Lalu manusia ini tinggal selama beberapa bulan di dunia Kappa. Dari manusia inilah Akutagawa menceritakan seperti apakah dunia Kappa ciptaannya.

Berikut adalah contoh keadaan dunia Kappa yang digambarkan penulis dalam buku ini.

Kappa memiliki bahasa mereka sendiri. Tidak ada pengangguran di dunia Kappa karena semua pengangguran disembelih dan dagingnya dijual untuk dimakan; hal ini mungkin terjadi karena di dunia Kappa ada undang-undang yang mengatur penyembelihan buruh--yaitu buruh-buruh yang di PHK dan kehilangan pekerjaan.

Di dunia Kappa, yang betina lah yang menjadi superior dalam urusan asmara. Kappa betina mengejar-ngejar kappa jantan adalah suatu kewajaran, seringkali kappa jantan tampak seperti korban yang tak berdaya akan superioritas kappa betina. Kappa betina diciptakan dari sebagian otak kappa jantan, bukan dari iga sebelah kiri. Dan dalam urusan kelahiran, bayi kappa punya hak untuk memilih dilahirkan atau tidak. Dalam hal ini setiap bayi yang akan lahir, mereka akan ditanya dulu apakah ia mau dilahirkan atau tidak. Di dunia kappa, bayi kappa yang baru lahir sudah bisa berjalan dan berbicara.

Kelebihan buku ini: Akutagawa bisa menyajikan sebuah cerita tentang dunia Kappa yang menggelitik dan kadang menohok pembaca. Sebuah buku yang kaya nilai dan cukup padat--untuk buku yang hanya setebal 121 halaman.

Kekurangan: bahasanya agak membingungkan bagi saya, mungkin ada pada masalah penerjemahan, atau mungkin ini memang bahasa asli yang digunakan si penulis, karena buku ini ditulis pada akhir masa hidup Ryunosuke Akutagawa sebelum bunuh diri. Dan juga dari halaman 122 sampai 144 buku ini justru menjelaskan jalan hidup penulis, yang menurut saya terlalu panjang.

Kamisan #2 Kutukan - Kutukan Bernama Kenangan




Tadi siang aku menerima kabar buruk. Sandalku, yang kemarin tertinggal di lokasi, rusak. Ada kemungkinan ia tak bisa dipakai lagi. Entah kenapa, aku terpukul sekali. Ada gejolak kemarahan yang membuncah. Tapi aku tidak bisa marah, kepada siapa? Dan untuk apa?

Begini, terakhir kali aku ke lokasi(tempat aku melakukan kerja selain di tempat aku standby, anggap saja hutan), sehari sebelum aku balik ke balikpapan, ada teman yang meminjam sandalku. Di saat pertama permintaan pinjam itu, aku sudah merasa berat hati, tapi dia teman, dan lagi, apa yang tidak baik dari meminjamkan sandal? Tapi, barang hak milik, seperti halnya sandal, mungkin bagi seorang lain hanya sekadar nama, dan itu yang sesungguhnya berbahaya. Yang paling berbahaya dari orang asing bukanlah kemungkinan perubahan yang bisa saja ia bawa, tetapi lebih pada ketidaktahuannya akan sejarah. Penghormatan macam apa yang bisa kita harapkan dari seorang yang tak tahu/peduli pada sejarah??

Dan apa yang paling sering kita khawatirkanlah yang lebih sering terjadi. Seorang teman yang meminjam sandalku, seperti yang pernah aku takutkan, tidaklah terlalu peduli pada keadaan sandalku. Sandalku rusak, wujudnya sungguh menyedihkan. Dan apa pertanggungjawaban teman peminjam itu? Dia bilang 'berapa sih harganya? Nanti aku ganti' enteng sekali. Dia pikir, sandal baru akan menyelesaikan masalah. Dia pikir sandal baru bisa menggantikan sandal lamaku. Kalau dia bisa memindahkan makna dan riwayat sandalku ke sandal baru, bolehlah masalah selesai. Tapi, semudah itu kah menggantikan kenangan? Ah Mungkin pertanyaan yang lebih tepat buatku adalah seberapa penting kah kenangan itu?

Sandal itu sudah hampir setahun terakhir menemaniku. Selain ia merupakan sandal yang nyaman di kaki, sandal itu adalah pemberian seorang lawan jenis yang tentu saja pernah membuatku tersenyum. Bahwa sandal itu harus menyebrang pulau untuk menjadi kesayangan kakiku. Dalam cara yang aneh, sandal itu memanjakan telapak kakiku, sekaligus tidak mengganggu aliran darahku yang biasa mewujud dalam pegal yang tak nyaman di telapak kaki. Sandal itu barangkali memiliki bau yang sama dengan kaos atau baju atau celana yang dulu dibelikan oleh orang yang dulu memenuhi hatiku dengan wangi bunga-bunga. Tapi sandal itu tak seperti pakaian yang harus dicuci setiap hari, maka tak perlu heran jika kemudian kami cepat intim. Kenyataan bahwa orang yang memberikan sandal itu tak lah lagi boleh kupanggil kekasih, sama sekali tidak mengurangi kemesraan hubungan sandal dan kakiku, malah aku merasa harus menghormati warisan itu sebagai monumen di mana sandal itu pernah mewakili sedikit cerita hidup yang dulu menurutku sebuah anugerah. Iya, tentu saja perilakuku bisa dibilang aneh--tapi kupikir taklah perlu aku menguraikan alasanku--di mana saat orang kebanyakan menyingkirkan barang-barang yang mengandung secuil kenangan ketika sebuah komitmen harus diputuskan sebaik-baiknya, aku justru menyimpannya. Sudah barang tentu, hidupku disusun rapi di atas tumpukan kenangan yang mengering.

Maka saat aku mendapati kenyataan aku terancam akan berpisah juga dengan sandal itu, aku bisa dibilang kemudian menjadi panik. Ah tentu aku marah. Aku marah sebab untuk urusan sepele seperti sandal saja harus ditentukan oleh orang yang nyaris tak memberiku sedikitpun kesan berarti untuk hidupku. Betapa aku tidak bisa memilih sendiri untuk melepas atau memelihara kenangan sederhana ini. Sungguh menyedihkan, bukan? Tapi yang sudah terjadi tak bisa ditarik kembali. Sandalku sudah rusak, adakah yang masih bisa dilakukan kecuali menerimanya? Aku marah dan terluka, memang, bagaimana tidak? Kenangan yang melekat dijiwamu ditebas paksa! Ah!! Selesai sudah riwayat sandalku, ditimpas dunia bersama kenangannya.

Dan di sinilah aku kini berdiri, mengenakan sandal baru, bau karet baru keluaran pabriknya tercium amat memuakkan. Masih terasa asing di telapak kakiku, seperti sofa murahan baru yang terasa datar di pantat. Tapi harus kuakui, langkahku ringan kini. Seperti bahu yang kehilangan beban untuk dipanggul. Jadi, bolehkah jika aku lancang menyebut diri baru saja terbebas dari kutukan yang menyaru sebagai kenangan?? Ah masih banyak jalan yang menungguku melangkah. [ ]


                                                                                                 Batu Kajang, Oktober 2013