Rabu, 25 Maret 2015

Zaman Jepang yang Tak Pernah Kita Ketahui.



Pada hari menjelang akhir tahun lalu, 27 Desember 2014, secara tidak sengaja saya melihat sebuah pertunjukkan kethoprak dengan lakon ‘Opak-Progo Wis Nyawiji’ yang dalam bahasa indonesia berarti Opak-Progo Sudah Menyatu. Dalam artian yang lebih mudah dipahami sebagai bersatunya sungai Opak dan sungai Progo. Dalam lakon itu baru saya ketahui perihal sejarah selokan mataram yang terbentang menghubungkan antara sungai Opak dan sungai Progo. Kisah itu sendiri bermula di zaman Jepang. Saat itu adalah awal masa Jepang menjajah Indonesia setelah kepergian Belanda dari tanah air Indonesia. Ketika Jepang marak menggalakkan Romusha, salah seorang pejabat pemerintahan Jogja berunding dengan orang Jepang. Jepang ingin Jogja juga menyumbangkan beras kepada jepang dalam rangka mendukung Jepang dalam perang melawan Amerika. Pejabat itu kemudian beralasan bahwa tanah di Jogja tidak bisa ditanami padi karena tidak adanya air untuk keperluan tanam padi. Kemudian, untuk menghindari permintaan tenaga untuk Romusha oleh pihak jepang, pejabat itu mengusulkan akan menyuplai beras mulai 3 tahun mendatang, dengan syarat, tidak ada orang Jogja yang ditarik untuk menjadi tenaga Romusha, demi pembangunan selokan mataram yang tadinya diharapkan untuk mengairi sawah guna menanam padi demi memenuhi permintaan pihak Jepang akan beras.

Yang kemudian menjadi terang bagi saya adalah perihal permintaan pihak Jepang akan beras tadi; kemarin, setelah membaca buku tulisan Idrus yang berjudul ‘Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma’. Dalam buku ini, saya kemudian memahami latar belakang jepang menuntut pasokan beras dari Jogja—sesungguhnya dari seluruh wilayah Indonesia—yang menjadi latar tempat dalam lakon yang saya singgung di atas. Idrus, dengan sangat cermat mampu memotret keadaan-keadaan indonesia, di lapisan paling bawah, dalam cerpen-cerpennya.

Sesungguhnya, buku ini terbagi menjadi tiga pembabakan. Yang pertama, zaman jepang. Di bagian ini terdapat dua tulisan Idrus yang terdiri dari satu cerpen dan satu naskah drama, yang menunjukkan awal mula dari kepenulisan Idrus. Dalam dua karya itu, Idrus berbicara tentang cinta segitiga. Lalu, di bagian kedua, Corat-Coret Bawah Tanah. Nah di bagian inilah Idrus mulai terlihat beralih ke tulisan realis. Berisi 7 cerpen yang memotret kehidupan masyarakat Indonesia di bawah pendudukan jepang. Di bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 45, berisi 3 tulisan Idrus yang agak panjang.

Cerpen Ave Maria dan naskah drama ‘Kejahatan membalas Dendam’ sendiri sebenarnya tidak pernah dipublikasikan. Jepang waktu itu sangat membenci tulisan yang tidak menunjukkan nilai ketimuran, dalam hal ini, judul Ave Maria yang mengacu pada barat.

Di bagian kedua, Corat-coret di Bawah Tanah, Idrus menulis tentang orang-orang indonesia yang merasakan kehidupan sengsara di zaman pendudukan jepang. Ambil contoh Kadir, seorang penjual kacang rebus dalam cerpen Sanyo. Di bawah sebuah radio umum yang sedang menyiarkan pengangkatan Sanyo—penasehat tiap-tiap departemen pada masa jepang. Dengan masa bodoh Kadir berkata “Apa perlunya aku berpikir, jika kacangku tidak dibeli orang? Mampuskah Sanyo itu, kacangku juga tidak akan laku oleh karena itu.” Hal ini seolah menunjukkan bahwa memikirkan hal yang jauh dengan kita adalah hal yang sia-sia. Dalam sebuah percakapan berikutnya dengan seorang tukang es lilin, “sekarang ini serba susah. Badan kita seperti es lilin saja. Bertambah kecil juga. Akhirnya menjadi air. Dilemparkan orang.” Kemudian Kadir menjawab sejurus kemudian “Aku melihatnya dari jurusan lain. Kita sama dengan es lilin. Sama-sama digigit dan dihirup orang.” Pada kenyataannya, metafor tersebut masih berlaku juga hingga hari ini. Orang-orang miskin semakin miskin karena diporoti oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Lain lagi dalam cerita Pasar Malam Jepang. Idrus menampilkan seorang indonesia yang mencoba keberuntungannya di meja judi, yang jelas-jelas pada akhirnya hanya menghabiskan uangnya dengan sia-sia. Cerita-cerita lain dalam Kota Harmoni dan Oh... Oh... Oh! Idrus memotret kehidupan di dalam moda transportasi trem dan kereta api pada masa itu. tentu saja dengan tetek bengek yang makin membudaya pada masa sekarang ini. Misalnya, tentang orang yang naik ke trem lewat jendela, alih-alih lewat pintu. Atau tentang kondektur kereta yang mengeluhkan penumpang yang tidak membeli tiket kereta api tetapi menerima selembar uang tutup mulut; mungkin saat ini hal ini tak bisa terjadi lagi, namun tak bisa diingkari bahwa masa itu pernah ada.

Lalu pada bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 1945, saya benar-benar terpikat oleh gaya tulisan Idrus. Dalam cerpen Surabaya, Idrus menggambarkan pertempuran 10 November di Surabaya dengan humor yang ciamik. Pada suatu rapat yang di gelar oleh para pejuang Indonesia, seseorang mengusulkan  ‘bagaimana kalau seluruh 70 juta rakyat Indonesia berbaris di depan tank-tank raksasa dan menyuruhnya giling badan mereka semua, ke 70 juta orang itu, oleh tank-tank raksasanya. Pengendara tank-tank itu pasti akan lelah karena menggiling demikian banyak manusia dan akhirnya mati lemas karena lelah dan kita bisa rampas tank-tank itu’. Di lain kesempatan, seorang di garis depan mengirim sebuah pesan ‘Paduka tuan, harap kirimkan dengan segera lemper atau pisang ambon saja. Jika ini tidak, apa saja pun baik, asal jangan sandiwara’. Selain dengan gaya yang jenaka, melalui cerpen Surabaya ini saya kemudian jadi memiliki bayangan akan apa-apa yang terjadi selama berlangsungnya pertempuran di surabaya itu, di medan perang dan juga di garis belakang.

Satu cerita lagi yang menarik perhatian saya adalah Jalan Lain Ke Roma. Cerpen tentang seseorang bernama Open ini mengisahkan bagaimana kehidupan Open yang bekerja sebagai seorang Guru yang kemudian menjadi mualim, pengarang dan akhirnya menjadi seorang tukang jahit. Semua itu bermula dari kisah bagaimana mulanya ia mendapat nama Open. Ibunya selalu berpesan, ia diberi nama Open dengan harapan agar ia selalu berkata dengan terus terang. Dari pesan ibunya inilah kemudian Open mengalami berbagai kejadian yang kemudian membawanya dari seorang guru menjadi mualim, lalu seorang pengarang, hingga kemudian menjadi tukang jahit. Melalui Open, pembaca kemudian diajak berpikir. Dalam sebuah adegan ketika Open menyerahkan sebuah karangan kepada redaktur, orang itu berkata ‘Tuan, ini berbahaya sekali. Lebih baik tuan simpan saja. Apa gunanya menggambarkan tai kebo jika ada pemandangan alam yang indah-indah.’ Kemudian Idrus menimpali ‘iya, tai kebo. Tapi jika tai kebo digunakan sebagai pupuk dapat menyuburkan kehidupan pohon-pohon.’ Bahwa dari hal yang paling burukpun, kita bisa mengambil manfaat darinya jika kita mau berpikir.  Selain itu, Idrus juga begitu piawai memainkan karakter Open dengan kejenakaannya.

Tak bisa dielakkan lagi, Idrus layak disandingkan dengan Chairil Anwar pada masanya. Chairil Anwar pada puisi dan Idrus pada Prosa. Puncak kecemerlangan Idrus terlihat di tiga cerpen terakhirnya di periode Setelah 17 Agustus 1945. Dalam bentuk dan isi. Tampak dalam tulisan itu Idrus tumbuh dari periode pertama hingga periode ketiga. Perubahan itu tampak jelas dalam karya-karyanya; dari romantik menuju realis hingga menjadi penggabungan romantik dan realis di tiga cerpen terakhir di buku ini.

Idrus, jauh pada masanya, telah menuliskan keresahan-keresahan yang juga kita rasakan dewasa ini. ‘Apa artinya uang sekarang ini?’ begitu teriak Idrus dalam cerpen Pasar Malam Jepang. Lihat lah rupiah terhadap dolar. Apa arti Rupiah terhadap Dolar sekarang ini? Dalam cerpen jawa baru lain lagi, dengan sinisnya ia berkata ‘jepang membutuhkan karung goni untuk mengangkut beras ke Tokyo, dan di sini, kita membutuhkan karung goni untuk baju.’ Alamak! Maka dari itu, mengutip kata Idrus dalam cerpen Surabaya ‘Rakyat Indonesia harus dibangunkan! Dibangunkan! Dibangunkan!’


Judul              : Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Penulis           : Idrus
Penerbit        : Balai Pustaka
Tahun terbit  : 2011, cetakan ke-28
Isbn                 : 978-979-407-218-9
                               

mereka yang dihancurkan dan tak tertaklukkan





Kali pertama membaca buku ini, sejujurnya saya tak mengharapkan apapun. Judul buku ini, The Virgin suicide, mau tak mau menanamkan stereotipe bahwa ini merupakan buku thriler. Dan buku bergenre thriler bukan sebuah buku yang biasanya memicu gairah membaca saya. Namun buku ini secara tepat telah membangkitkan minat saya, sejak paragraf pertama.

Jeffrey Euginides menggunakan teknik pembocoran kejadian/akhir cerita. Namun, hal itu tidak lantas membuat cerita kemudian menjadi mudah ditebak. Bukan dengan misteri-misteri atau fakta yang menghanyutkan yang membuat pembaca terkejut hingga berkata cihuy! Tidak! Jeffrey memikat saya lewat kalimat-kalimat tentang hal-hal sederhana yang membuat saya terbawa oleh tulisannya hingga ke akhir cerita, yang berkali-kali dibocorkan Jeffrey di awal atau tengah cerita. Begitupun dengan pemilihan sudut pandang narator dalam buku ini, alih-alih menyebut diri sebagai aku, Jeffrey memilih kata ganti kami, yang menjaga ketidaktahuan pembaca hingga sampai pada efek bertanya-tanya—sebenarnya apa yang terjadi hingga terjadi peristiwa-peristiwa bunuh diri itu, bayangkan, bukan satu, tetapi lima orang—dan yang lebih penting adalah cara Jeffrey menyampaikan apa yang narator ketahui, melalui semacam laporan penyelidikan, dan kemampuan Jeffrey mengontrol apa yang diketahui narator dan pembaca.

Yang pertama menarik perhatian saya adalah peristiwa bunuh diri itu sendiri. Selain diskripsi ketika Cecilia ditemukan mandi air hangat yang melarutkan darahnya dari urat nadinya, membuat saya berkali-kali mengusap pergelangan tangan saya sendiri, seolah-olah luka itu menganga di sana. Saya dengan sendirinya melihat hal itu—bunuh diri—adalah bentuk dari protes anak-anak gadis keluarga Lisbon kepada orang tua mereka. Mrs. Lisbon mungkin percaya bisa membuat anak-anaknya menjadi anak yang baik-baik saja dengan memperlakukan putri-putrinya dengan segala aturan dan keinginannya. Tetapi, putri-putri itu rupanya memiliki keinginan sendiri. Kendatipun tidak secara gamblang Jeffrey mengatakan sebab musabab keputusan gadis-gadis Lisbon untuk bunuh diri, satu-satunya hal yang terlintas dalam kepala saya adalah demikian. Sebenarnya, cara yang diambil oleh gadis-gadis keluarga Lisbon, sayangnya, menurut saya agak terlihat sebagai sebuah tindakan putus asa. betapa sungguh indah bila—mungkin—mereka menerima tawaran para anak lelaki yang sudah menyiapkan sebuah mobil untuk pelarian mereka. Tapi tentu saja, dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang apa yang mereka alami, tidak adil rasanya bila saya memutuskan untuk memandang cara mereka menentang ibunya sebagai hal yang agak egois, menyedihkan dan suram. Seolah tak ada jalan keluar dari keadaan mereka. Tapi, tetap saja itu hak mereka, bagaimana cara mereka menunjukkan keinginan mereka; seolah berkata kepada orang tuanya ‘mereka bisa dihancurkan, tetapi tidak bisa ditaklukkan.’ Pada akhirnya orang tua mereka yang takluk oleh protes mereka. Mereka lah yang memiliki kuasa atas apa yang harus/bisa mereka perbuat atas dirinya sendiri.

Yang menyedihkan dari peristiwa itu adalah bagaimana masyarakat menarik diri, seolah menutup mata akan hal itu; terutama ketika hal itu seharusnya bisa dicegah, setidaknya setelah peringatan itu diikrarkan oleh Cecilia; peristiwa bunuh diri yang awal mula. Mungkin mereka merasa bahwa itu urusan pribadi keluarga Lisbon, dan merasa sebagai orang luar yang tidak berhak mengurusi kehidupan orang lain. Tapi ketika menyangkut kehidupan lima jiwa gadis remaja yang juga memiliki hak untuk hidup seperti manusia lain di manapun ia berada, campur tangan itu saya kira perlu. Saya memahami kebingungan narator yang ingin menyelamatkan gadis-gadis itu namun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka(narator itu) masih remaja, berbeda halnya dengan orang tua narator yang setidaknya bisa memberikan pengayoman—paling tidak atap dan makanan—untuk gadis-gadis Lisbon itu. Saat narator akhirnya mengambil keputusan itu, mereka terlambat. Sekali lagi, ketidakpedulian pada akhirnya menjadi mesin pembunuh yang efektif.

Yang juga menarik bagi saya adalah adegan ketika gadis-gadis Lisbon berlari dan melindungi pohon elm di depan rumah mereka ketika petugas dari kota hendak menebang pohon elm itu dengan alasan bahwa pohon elm itu sudah terjangkit wabah kumbang yang jika tidak segera ditebang akan membuat pohon lain tertular. Kenyataan bahwa gadis-gadis itu yang notabene sebenarnya tidak memiliki kehidupannya sendiri masih peduli dengan hidup sebatang pohon yang bisa dikatakan sekarat. ‘biarkan ia mati dengan tenang’ itu yang saya baca dari adegan itu. Mana yang lebih baik, membiarkan pohon makhluk itu mati dengan tenang atau membunuh pohon makhluk itu agar pohon makhluk lain bisa hidup lebih lama? Hal lain yang menyentil saya adalah ketika lingkungan masyarakat merasa penebangan pohon elm itu menjadi hal yang wajar. Tidakkah kita juga begitu? Masih merasa sedih ketika melihat sebatang pohon mati karena dibunuh/terbunuh oleh ulah manusia adalah barang langka. Bagi kita, sebatang pohon ditebang kini merupakan hal sepele, untuk alasan apapun: demi keselamatan manusia di jalan, demi pembangunan tempat manusia tinggal, melindungi pondasi bangunan yang terancam tumbuh kembang akar sebatang pohon, agar daunnya tidak mengotori tanah, dan alasan lain yang mungkin bisa dicari manusia.

The virgin suicide, buat saya, bukan sekadar buku tentang bunuh diri; bukan novel thriler seperti bayangan saya pada awalnya. Saya puas dengan buku ini, di goodreads saya menyematkan 5 bintang untuk buku ini. Nah barangkali menemukan buku ini di bazar atau lapak dengan diskon, tak ada ruginya membawa buku ini pulang. Bahkan seandainya dijual dengan harga normal pun.
                                          
Judul             : The Virgin Suicide
Penulis           : Jeffrey Euginides
Penerbit        : Dastan Books
Alih bahasa   : Rien Chaerani
Tahun terbit  : Oktober 2013, cetakan keenam
Isbn                 : 978-602-247-131-8

Kamisan03 #5 batu mulia



Sejauh kuketahui, perempuan itu tak pernah mandi. Meski telah sebulan perempuan itu menjadi istriku, tak pernah kulihat ia mandi. Ia menolak mentah-mentah ketika aku ajak mandi bersama pada hari kedua setelah kami menikah. Mulanya aku sangka karena ia malu. Namun kini aku tahu bahwa ia memang tak pernah mandi.

Kendati tak pernah mandi, ia tidak bau. Badannya amat wangi. Tak pernah kubosan mencium pipinya yang penuh, selalu segar. Lehernya seperti candu, tak lelah aku menghidu wanginya. Wangi minyak Zaitun. Yang ia perbuat hanyalah mengolesi tubuhnya dengan minyak zaitun sebagai ganti mandi. Sekalinya ia ke kamar mandi hanya untuk membuang sisa dari apa yang ia makan dan minum.

Namanya Indah. Hanya itu yang kuketahui. Tidak yang lain. Tidak umur atau kapan ia lahir. Aku tak berminat mencari tahu siapa orang tuanya. Abai akan kerumitan bahwa pasangan yang baik harus jelas silsilahnya, aku memilih untuk tak mau merepotkan diriku sendiri. Indah seperti kertas kosong yang jatuh dari langit ke atas mejaku ketika aku ingin menulis. Kosong, tanpa sesuatupun aku ketahui. Bahkan nama keluarganya; hanya Indah, itu saja namanya.

Jodoh tidak jatuh dari langit. Omong kosong! Indah adalah bukti sahih dari kekeliruan peribahasa turun temurun itu.

***
Kata orang-orang yang pergi ke masjid ketika azan Subuh berkumandang, perempuan itu sudah duduk di kursi teras kontrakanku saat mereka lewat. Ia meletakkan kedua sikunya pada sandaran tangan dengan jemari berjalin di atas pangkuan. Memandang lurus ke depan menembus udara yang tak kentara. Rambut perempuan itu jatuh di bahu kala orang-orang pergi ke masjid. Lalu, saat mereka pulang dari masjid, rambut itu tersembunyi di balik kain panjang, hanya pipi lebarnya yang tampak mencuat memenuhi mukanya. Baju dan kerudungnya berwarna hitam ketika tanah telah terang. Dalam posisi duduk yang masih tak berubah.

Bahkan ia tak menoleh ketika aku membuka pintu kontrakan. Mula-mula aku sekadar menaruh sapu yang tadinya hendak aku gunakan untuk menyapu lantai. Karena hari ini aku sedang libur, maka aku terbebas dari rutinitas menjemur handuk basah di rentangan tali yang ada di atas kepala perempuan itu. Tak terusik udara yang kian terang, aku duduk di pagar semen setinggi lutut di sebelah pintu yang mebatasi kamar kontrakanku dengan kamar sebelah. Duduk sambil meluruskan kakiku di atas pagar pembatas itu, aku membiarkan pintu terbuka.

Perempuan itu duduk seperti patung lilin. Kulitnya berkilau ditimpa lampu teras yang lupa kumatikan. Saat desau angin datang dari arah perempuan itu, tiba-tiba udara beraroma lain. Bau yang sepertinya aku kenal, tetapi tak mampu betul kukenali. Seperti bau kertas dari buku yang baru saja dibuka segel plastiknya, aroma kayu tetapi aku tak tahu itu kayu apa.

Namun bau itu segera hilang ditimpa bau bubur ayam yang berhenti di seberang jalan. Aku melambaikan tanganku pada mamang penjual bubur itu. Membelah jalan yang masih lengang, ia memarkirkan gerobaknya di depan teras, sejajar dengan arah jalan. Setelah memesan dua mangkuk bubur, aku ke dalam untuk menyeduh teh. Air dalam dispenser telah lama panas. Suara air yang mengucur ke dalam gelas kemudian diikuti suara air memanas di dalam lapisan plastik dispenser. Buih-buih putih lembut terapung di permukaan air teh, bagaikan rona darah di bawah kulit seorang pemalu.

Di meja, dua mangkuk bubur bersisian malu-malu, saling menggoda dengan uapnya yang mengepul. Aku meletakkan gelas teh di dekat mangkuk bubur, lalu duduk di pagar semen selutut yang ada di depan perempuan itu. Uap hangat  air comberan di sisi luar teras menyentuh punggungku lewat lubang kaos yang terbuka ketika aku duduk. Aku tersenyum pada perempuan itu. Meski tidak segera membalas senyumku, perempuan itu melebarkan ujung bibirnya, mengusik pipi tembamnya hingga makin menggunung. Aku menengadahkan tanganku, mempersilakan. Tanpa menunggunya, aku mengambil mangkuk bubur dan mulai menyuapi mulutku. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tak menatap perempuan itu makan. Penjual bubur memukulkan sendok pada piring kosong hingga menghasilkan dengking suara seakan ingin membangunkan nyamuk-nyamuk yang sedang tidur di permukaan air comberan.

Sebersit aroma menguar setiap kali perempuan itu bergerak, kain-kainnya gemerisik tiap kali ia mengangkat dan menurunkan sendok. Lebih harum dari aroma uap teh yang menyeruak di hidungku. Sinar pertama matahari telah lama jatuh di tanah, debu muncul seolah bangkit dari tidur ketika tersaruk-saruk sandal atau sepatu. Keringat telah tumbuh mengiringi udara yang memuai. Tetarik oleh suara benturan mangkuk dan meja ketika perempuan itu meletakkan mangkuk bubur yang kosong, aku menoleh. bola matanya hitam. Kelam. Dengan selarit warna coklat yang kentara bila di perhatikan secara teliti. Aku mengenali kombinasi warna hitam dan coklat itu. tentu saja!

***

Lelaki itu tergopoh-gopoh menurunkan tas gendongnya. Bau matahari menguar dari baju, terlalu lama dipanggang matahari. Sekiranya ia memberitahu bahwa ia akan tiba, barangkali aku bisa menjemputnya. Meskipun tetap hanya jalan kaki dari jalan raya menuju kontrakan, setidaknya ia tidak perlu terbakar matahari sendirian. Untuk orang yang pernah makan dari piring yang sama denganku itu, aku tentu saja rela turut merasakan apa yang sepertinya menyiksa manusia. Kendatipun bisa saja ia tak pernah merasa tersiksa oleh apa yang aku anggap derita itu.

Sudah dua tahun kami tak bertemu. Kontrak kerja yang tak lagi diperpanjang oleh pabrik tempatku bekerja membuatnya kami harus berpisah. Aku akan pulang dan mengurus sawah orang tuaku, katanya saat itu. hal yang membuat batinku nyeri. Aku ingin jua pulang dan menemani orang tua di rumah; bedanya orang tuaku tak memiliki sawah untuk kugarap. Ah, tapi itu hanya bualnya saja. Sebulan kemudian kuterima sebuah pesan singkat darinya yang mengabarkan hendak lihat-lihat pulau kalimantan. Bangsat! Doaku mengapung di udara, menyentuh langit-langit kontarakan yang penuh sarang laba-laba. Sebulan, dua bulan, setahun tak ada secuilpun kabar. Cemas yang menggayut aku timpa dengan keyakinan bahwa kalimantan adalah hutan belantara tanpa pohon besi yang memancarkan sinyal untuk ponsel bututnya. Tentu saja aku naif waktu memikirkan hal itu.

Kini, tiba-tiba, seolah tak tahu aku baru saja pulang setelah kerja shift malam, ia muncul seperti begal di jalan sepi. Mataku panas, mimpi belum juga menengok tidurku, tetapi pintu kayuku bergetar sumbang diketuk tangan hitamnya. Senyumnya lebar luar biasa. Telah lupa kapan terakhir kali aku melihat senyum seperti itu. senyum terlebar yang mampu kuingat adalah saat ia mengatakan bahwa ia telah menghabiskan separuh dari gaji pertamanya di hari kedua setelah menerima gaji.

Kulitnya kini hitam. Satu-satunya yang menunjukkan betapa cemerlang kulitnya dulu hanyalah belang serupa sosok kacamata yang membekas di sekitar mata dan garis lurus di pelipis menuju daun telinga. Aku sengaja tidak menanyakan apa pekerjaannya di kalimantan sana. Demi mencegah hatiku teriris bila yang diceritakannya adalah sebuah pekerjaan yang tak mampu aku bayangkan. Seolah perkejaanku sebagai buruh pabrik jauh lebih berharga dari hidup yang barangkali ia nikmati di sana. Aku ingin memeluknya, tetapi malas rasanya kalau-kalau ia mengejekku tambah sentimentil.

Betapa mekar hatiku saat sahabatku itu membual bahwa ia mengambil penerbangan ke jakarta demi menemuiku terlebih dahulu, padahal aku tahu rasa sayangnya pada orang tuanya berlebih-lebih. Aku malas untuk mengambilkannya minum. Ia bukan tamu bagiku, keluarga, ini rumahnya pula. Tetapi, ketika aku tiba-tiba terdorong untuk mengambil gelas untuknya, lelaki itu menarik tanganku. Mendudukkanku seolah aku ini selirnya.

“Nah...” katanya sambil membuka tasnya. Ia mengeluarkan bungkusan kain yang wangi. “ini untukmu.” Bungkusan kain itu terbuka, memamerkan batu seukuran kelereng berwarna hitam. Batu hitam itu tersaput selarit garis coklat seperti seulas bibir yang tengah tersenyum. Agak terpukau, aku mengabaikan pikiran bahwa ia pergi jauh ke kalimantan untuk mengumpulkan batu mulia. Namun, lelaki itu buru-buru menambahkan “aku tak sengaja menemukan batu ini di sebuah gua di pedalaman kalimantan sana. Kau tahu sendiri betapa wingit hutan di kalimantan. Bayangkan sebuah kehidupan manusia yang begitu tua di hutan itu! saat menemukan batu itu, yang ada di kepalaku cuma kamu. Bangsat betul! Seolah kamu ini mengguna-gunaiku. Muka jelekmu itu selalu muncul di mimpiku selama seminggu terakhir. Aku takut kamu sekarat karena kesepian di kota yang jauh dari keluarga ini. Maka aku memutuskan pulang dan menengokmu.”

Empat tahun aku pernah dipeluknya setiap tidur. Aku tahu bualnya bukan main. Tapi cerita itu sungguh menarik untuk dipercaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang kesepian selain mempercayai bualan bahwa aku dimimpikan seseorang? Meskipun ia hanya seorang lelaki tengik yang aku anggap saudara.

“Dengar! Seorang kawan, seorang pribumi, ia bilang aku harus merendam batu ini di dalam kubangan minyak zaitun. Tunggulah tiga hingga lima hari, batu ini bisa berubah warna. Dan jika ia bisa berubah warna...” ia menepuk punggungku seolah kata-kata tak cukup untuk menggambarkan keajaiban batu itu.

Lama ia diam sementara aku menunggu. “Apa?” tanyaku kemudian setelah tak tahan dirundung penasaran.

“Tak apa-apa.” Senyumnya ketika ia menghabiskan separuh gajinya dalam satu hari kembali terukir. “Bisa jadi ini batu mahal. Tapi awas saja kalau sampai kamu jual batu ini. Kugergaji tanganmu!” lalu ia merebahkan badan tanpa memandangku. Tatapannya merenungi langit-langit kamar. Ketika matanya telah memicing, aku pergi membeli nasi uduk kesukaannya waktu dulu.

Kemudian, sehari setelah lelaki itu pamit pulang ke kampungnya, aku pontang panting mencari minyak zaitun. Sialnya, aku lupa menanyakan minyak zaitun macam apa yang harus kugunakan untuk merendam batu itu. setelah kesulitan mencari minyak zaitun, akhirnya aku memutuskan untuk melupakan tetek bengek yang memperumit diri. Aku memakai minyak zaitun pertama yang bisa aku dapatkan dan menggenangi batu itu dengan minyak zaitun di dalam ceruk cangkir transparan yang biasa kugunakan untuk menyeduh kopi.

Sehari, dua hari, tak ada perubahan apapun. Tanpa secuilpun kegelisahan, aku mengabaikan batu itu. Kadang, dengan sedikit iseng, aku menyoroti batu dalam genangan minyak zaitun itu menggunakan senter kecil. Seingatku, tak ada perubahan berarti dari warnanya, masih hitam.

Pada hari ketiga, setelah selesai memuja tuhan, aku keheranan melihat cairan lengket yang tercetak di lantai keramik menyerupai tapak kaki manusia. Pintu masih terkunci sempurna ketika aku periksa, dan tak ada yang aneh dengan daun jendela. Alih-alih melongok keluar, aku justru lebih tertarik menekuri jejak itu. Jejak itu jelas jejak seorang manusia. Jejak itu bermula dari cangkir bening tempat aku merendam batu hitam itu. batu hitam itu raib. Kalut memikirkan cara bagaimana sebaiknya aku mengabarkan akan lenyapnya batu itu, aku tak  sempat untuk mencurigai soal sepasang jejak kaki yang mengarah keluar itu. [ ]