Kali pertama membaca buku ini,
sejujurnya saya tak mengharapkan apapun. Judul buku ini, The Virgin suicide,
mau tak mau menanamkan stereotipe bahwa ini merupakan buku thriler. Dan buku
bergenre thriler bukan sebuah buku yang biasanya memicu gairah membaca saya.
Namun buku ini secara tepat telah membangkitkan minat saya, sejak paragraf
pertama.
Jeffrey Euginides menggunakan teknik
pembocoran kejadian/akhir cerita. Namun, hal itu tidak lantas membuat cerita
kemudian menjadi mudah ditebak. Bukan dengan misteri-misteri atau fakta yang
menghanyutkan yang membuat pembaca terkejut hingga berkata cihuy! Tidak!
Jeffrey memikat saya lewat kalimat-kalimat tentang hal-hal sederhana yang
membuat saya terbawa oleh tulisannya hingga ke akhir cerita, yang berkali-kali
dibocorkan Jeffrey di awal atau tengah cerita. Begitupun dengan pemilihan sudut
pandang narator dalam buku ini, alih-alih menyebut diri sebagai aku, Jeffrey
memilih kata ganti kami, yang menjaga ketidaktahuan pembaca hingga sampai pada
efek bertanya-tanya—sebenarnya apa yang terjadi hingga terjadi
peristiwa-peristiwa bunuh diri itu, bayangkan, bukan satu, tetapi lima
orang—dan yang lebih penting adalah cara Jeffrey menyampaikan apa yang narator
ketahui, melalui semacam laporan penyelidikan, dan kemampuan Jeffrey mengontrol
apa yang diketahui narator dan pembaca.
Yang pertama menarik perhatian saya
adalah peristiwa bunuh diri itu sendiri. Selain diskripsi ketika Cecilia
ditemukan mandi air hangat yang melarutkan darahnya dari urat nadinya, membuat
saya berkali-kali mengusap pergelangan tangan saya sendiri, seolah-olah luka
itu menganga di sana. Saya dengan sendirinya melihat hal itu—bunuh diri—adalah
bentuk dari protes anak-anak gadis keluarga Lisbon kepada orang tua mereka.
Mrs. Lisbon mungkin percaya bisa membuat anak-anaknya menjadi anak yang
baik-baik saja dengan memperlakukan putri-putrinya dengan segala aturan dan
keinginannya. Tetapi, putri-putri itu rupanya memiliki keinginan sendiri.
Kendatipun tidak secara gamblang Jeffrey mengatakan sebab musabab keputusan
gadis-gadis Lisbon untuk bunuh diri, satu-satunya hal yang terlintas dalam
kepala saya adalah demikian. Sebenarnya, cara yang diambil oleh gadis-gadis
keluarga Lisbon, sayangnya, menurut saya agak terlihat sebagai sebuah tindakan
putus asa. betapa sungguh indah bila—mungkin—mereka menerima tawaran para anak
lelaki yang sudah menyiapkan sebuah mobil untuk pelarian mereka. Tapi tentu
saja, dengan segala keterbatasan pengetahuan tentang apa yang mereka alami,
tidak adil rasanya bila saya memutuskan untuk memandang cara mereka menentang
ibunya sebagai hal yang agak egois, menyedihkan dan suram. Seolah tak ada jalan
keluar dari keadaan mereka. Tapi, tetap saja itu hak mereka, bagaimana cara
mereka menunjukkan keinginan mereka; seolah berkata kepada orang tuanya ‘mereka
bisa dihancurkan, tetapi tidak bisa ditaklukkan.’ Pada akhirnya orang tua
mereka yang takluk oleh protes mereka. Mereka lah yang memiliki kuasa atas apa
yang harus/bisa mereka perbuat atas dirinya sendiri.
Yang menyedihkan dari peristiwa itu
adalah bagaimana masyarakat menarik diri, seolah menutup mata akan hal itu;
terutama ketika hal itu seharusnya bisa dicegah, setidaknya setelah peringatan
itu diikrarkan oleh Cecilia; peristiwa bunuh diri yang awal mula. Mungkin
mereka merasa bahwa itu urusan pribadi keluarga Lisbon, dan merasa sebagai
orang luar yang tidak berhak mengurusi kehidupan orang lain. Tapi ketika
menyangkut kehidupan lima jiwa gadis remaja yang juga memiliki hak untuk hidup
seperti manusia lain di manapun ia berada, campur tangan itu saya kira perlu.
Saya memahami kebingungan narator yang ingin menyelamatkan gadis-gadis itu
namun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Mereka(narator itu) masih
remaja, berbeda halnya dengan orang tua narator yang setidaknya bisa memberikan
pengayoman—paling tidak atap dan makanan—untuk gadis-gadis Lisbon itu. Saat
narator akhirnya mengambil keputusan itu, mereka terlambat. Sekali lagi,
ketidakpedulian pada akhirnya menjadi mesin pembunuh yang efektif.
Yang juga menarik bagi saya adalah
adegan ketika gadis-gadis Lisbon berlari dan melindungi pohon elm di depan
rumah mereka ketika petugas dari kota hendak menebang pohon elm itu dengan
alasan bahwa pohon elm itu sudah terjangkit wabah kumbang yang jika tidak
segera ditebang akan membuat pohon lain tertular. Kenyataan bahwa gadis-gadis
itu yang notabene sebenarnya tidak memiliki kehidupannya sendiri masih peduli
dengan hidup sebatang pohon yang bisa dikatakan sekarat. ‘biarkan ia mati
dengan tenang’ itu yang saya baca dari adegan itu. Mana yang lebih baik,
membiarkan pohon makhluk itu
mati dengan tenang atau membunuh pohon makhluk
itu agar pohon makhluk lain
bisa hidup lebih lama? Hal lain yang menyentil saya adalah ketika lingkungan
masyarakat merasa penebangan pohon elm itu menjadi hal yang wajar. Tidakkah
kita juga begitu? Masih merasa sedih ketika melihat sebatang pohon mati karena
dibunuh/terbunuh oleh ulah manusia adalah barang langka. Bagi kita, sebatang
pohon ditebang kini merupakan hal sepele, untuk alasan apapun: demi keselamatan
manusia di jalan, demi pembangunan tempat manusia tinggal, melindungi pondasi
bangunan yang terancam tumbuh kembang akar sebatang pohon, agar daunnya tidak
mengotori tanah, dan alasan lain yang mungkin bisa dicari manusia.
The virgin suicide, buat saya, bukan
sekadar buku tentang bunuh diri; bukan novel thriler seperti bayangan saya pada
awalnya. Saya puas dengan buku ini, di goodreads saya menyematkan 5 bintang
untuk buku ini. Nah barangkali menemukan buku ini di bazar atau lapak dengan
diskon, tak ada ruginya membawa buku ini pulang. Bahkan seandainya dijual dengan
harga normal pun.
Judul : The Virgin Suicide
Penulis : Jeffrey Euginides
Penerbit : Dastan Books
Alih bahasa : Rien Chaerani
Tahun terbit : Oktober 2013, cetakan keenam
Isbn : 978-602-247-131-8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar