Kamis, 12 Maret 2015

kamisan#03 - 4 oh!



Pigor bergegas pergi seusai menyerahkan kembang api kepada Asa. Tanpa sepatah kata, meninggalkan Asa dengan kebingungannya. Perempuan itu masih termenung memandangi kembang api di tangannya. Tidak tahu apakah harus senang atau bagaimana. Apakah kembang api itu hadiah? Hadiah apa? Hari itu bukan hari istimewa, tak ada yang berulang tahun pada hari itu. Bahkan, tahun baru belum menjelang.

Lelaki itu selalu penuh kejutan. Tak bisa ditebak. Dahulu, ketika Asa masih kecil, Pigor acapkali membacakan kisah puteri salju padanya sebelum tidur. Setelah dongeng selesai, biasanya Pigor akan mengulurkan sebuah apel.

”Makanlah! Maka kau akan menjadi putri salju.” Lalu Asa akan pura-pura tertidur setelah gigitan kedua atau ketiga.

Sejak malam saat Pigor mendongengkan cerita putri salju sebagai pengantar tidurnya, Asa merasa memiliki pelindung. Ketika berangkat sekolah, perempuan itu tak perlu kalut setiap kali hendak menyeberang jalan. Pigor akan menggandeng tangannya. Kali lain ia akan memegangi tas punggung Pigor yang berjalan di depan. Di sekolah, tak ada yang berani mengganggu Asa begitu melihat Pigor berjalan di sampingnya.

Namun masa-masa itu tak berlangsung lama. Sejak papa dan mama Pigor kerap bertengkar, Asa merasakan lelaki itu berlaku tidak biasa. Pigor mulai memakai sepedanya untuk berangkat sekolah. Ia tidak bersedia membiarkan Asa duduk di sadel belakang. Berangkat pagi-pagi sekali sebelum Asa selesai sarapan. Dan tidak ada lagi cerita tentang Putri yang tertidur setelah memakan apel tukang sihir jahat.

“Mereka baik-baik saja sebelum kamu datang.” tukas Pigor ketika mereka berpapasan. Bahkan, Pigor tidak berhenti atau menoleh saat mengatakannya.

Ketika papa dan mama akhirnya bercerai, Asa tidak tahan untuk tak menangis. Pigor makin malas berbicara. Ia hanya bicara untuk hal-hal yang ia anggap penting. Sekalinya bicara, nada suranya melengking, menyakiti telinga. Asa menjadi rindu pada sosok seorang pelindung. Ia ingin seseorang menggenggam tangannya, menyelimuti tubuhnya ketika hendak tidur. Perempuan itu diam-diam membaca sendiri buku tentang Putri Salju di malam hari. Lalu termangu membayangkan rasa asam buah apel yang akan membawanya pada mimpi-mimpi miliknya sendiri. Asa menggigit bibirnya, kemudian beringsut ke dalam selimut.

Keesokan harinya, Asa menemukan sebuah apel di dalam kulkas. Tanpa pikir panjang, ia segera memakannya seperti orang kelaparan. Begitu habis, perutnya seolah kenyang hanya dengan sebuah apel. Lalu, ketika ia melihat buah apel, di mana saja, perutnya melolong karena lapar. Air liurnya akan terbit setiap kali bertemu apel. Perempuan itu kehilangan minat pada jenis makanan lain. Di kios-kios pedagang buah, Asa mencobai segala jenis macam apel yang ia lihat. Apel hijau, apel merah, apel kuning yang bentuknya kecil, apel kuning bersemburat merah, semua jenis apel. Tapi hingga kini Asa tetap tak berjodoh dengan apel yang telah dimantrai itu. Ia tak pernah jatuh tertidur setelah makan apel. Tetapi perempuan itu tak pernah berhenti mencari. Ia ingin menjadi Putri Salju, jatuh tertidur setelah makan apel. Asa ingin tidur untuk selamanya, agar ia tak perlu merasakan kesedihan itu. Kesedihan tak dihiraukan Pigor. Asa terus makan apel, hanya apel. Tak putus asa ia memberi makan kesedihannya. Hingga tumbuh subur, membengkak seperti badannya ketika ia mulai bekerja di sebuah kantor.

Tetapi apel terkutuk itu tak pernah ia temukan. Apakah apel-apel itu benar-benar sudah tak ada? Baikkah semua pohon-pohon itu sehingga tak ada satu saja apel kena kutuk untuk Asa? Sungguhkah punah apel terkutuk yang tumbuh di pohon-pohon yang lebat? Sudah punahkah para tukang sihir? Atau sudah tak berguna lagi kekuatan sihir mereka? Dunia macam apa yang bahkan sihir terburukpun tak lagi mempan? Atau, apakah sebenarnya ada apel terkutuk itu, tetapi justru jatuh ke tangan orang lain? Oh petaka! Malang sungguh orang yang memakan apel terkutuk itu, lalu jatuh dalam kutukan tidur tak berkesudahan karena ia tak memiliki lagi sebuah cinta yang sejati. Masih adakah manusia yang memiliki cinta sejati? seperti Asa? Betulkah? Betapa bahagia manusia-manusia yang tak mengenal kasih sayang!

Tapi tidak! Asa tak memercayainya. Pada suatu kali, seorang teman mengajaknya pergi menonton pertunjukan ketoprak di taman budaya. Kamu butuh hiburan, kata teman itu. Berada di tengah ruangan besar dengan kursi-kursi berwarna merah dan empuk. Di tengah derai tawa para penonton menyaksikan sebuah lakon, setelah makan apel terakhir yang ia punya di tasnya, tiba-tiba Asa jatuh tertidur. Perempuan itu ingin menangis. Ternyata bukan tidurnya Putri Salju. Ia tidak dibangunkan oleh ciuman orang yang ia cintai. Asa terbangun oleh kilau lampu gedung yang menyala. Pertunjukkan telah selesai. Temannya menggelengkan kepala pada Asa.

“Kamu tidur? Ajaib.”

Asa malu bukan kepalang. Diam menahan alibi di ujung lidahnya. Seolah ada badai besar yang mencerabutnya dari tanah tempat ia tumbuh, hingga ke akar-akarnya. Ia sendiri, betapa mati.  Perempuan itu ingin sekali menancapkan kembali akar-akarnya ke dalam  tanah.

***

Namun, sedingin apapun Pigor, yang Asa ingat hanyalah sosok lelaki yang membacakannya dongeng pengantar tidur. Perempuan itu tidak akan pernah lupa pada hari pertamanya menjadi anak papa dan mama. Setelah enam tahun menghabiskan waktu di panti asuhan, akhirnya Asa bisa memiliki keluarga. Pigor empat tahun lebih tua darinya, dan lima tahun lebih dulu menjadi anak papa dan mama. Asa bisa melihat mata lelaki itu berbinar-binar mendapati kenyataan ia akan memiliki seorang adik. Pigor menunjukkan buku-buku yang dimiliki keluarga itu. Ia mengatakan bahwa Asa boleh membaca buku-buku itu semaunya, kapanpun. Karena Asa masih belum begitu lancar membaca kata-kata di dalam buku itu, maka Pigor dengan senang hati membacakan buku-buku itu untuk Asa. Perempuan itu akan duduk seperti murid TK yang duduk manis di hari pertamanya masuk sekolah saat Pigor membaca dengan suara keras. Lalu ritual itu pun di mulai.

Sejak saat itu Asa tidak pernah kehilangan harapan. Memang, Pigor adalah kakaknya. Namun, mereka hanya saudara angkat, tanpa ikatan darah. Lalu apa yang salah? Hingga saat ini Asa masih percaya Pigor adalah lelaki yang hangat. Ia sudah pernah melihatnya, jauh sebelum masa-masa kehancuran itu datang. Perempuan itu hanya mempercayai apa yang ia ingin ia percaya.

Harapan itu sedikit menemui titik terang ketika siang tadi, Pigor datang ke rumah. Sejak papa dan mama bercerai, mereka tinggal beda rumah. Pigor ikut mama, dan Asa ikut papa. Kadang, pada waktu-waktu tertentu mereka bertukar tempat. Saling mengunjungi orang tua mereka selama seminggu. Dan hari ini Asa tidak pernah menduga bahwa Pigor akan muncul di depan pintu rumah membawa sebatang kembang api untuknya. Sekarang ia baru ingat bahwa besok adalah hari keseribu meninggalnya mama. Dalam kekhusukannya menerka arti hadiah itu, Asa mulai memikirkan segala kemungkinan. Apakah Pigor telah berubah? Kembali menjadi lelaki yang dulu ia kenal sewaktu kecil? Tiga tahun yang sepi barangkali telah membuat Pigor merindukan kehangatan sebuah keluarga?

Bahkan Asa tergoda untuk berpikir ketika ia menyalakan kembang api itu nanti ia akan melihat sebuah tulisan pernyataan cinta untuknya. perempuan itu tahu bahwa opsi itu mustahil. Tapi ia berkeras tak ingin menghapus kemungkinan itu dari harapannya. Apa yang tidak mungkin di dunia ini? Nihil! Keajaiban masih terjadi sesekali. Asa sudah terbiasa keras kepala, seperti selama ini. Tapi, jika ia menyalakannya, dan Asa tak menemukan apa yang ia inginkan, tentu ia akan kecewa. Kembang api itu hanya akan menjadi selongsong. Dan tak ada lagi yang bisa ia kenang dari pemberian Pigor itu? Ah, bukankah setelah menjadi selongsong Asa masih bisa menyimpan selongsong itu? Berisi atau tidak, kembang api itu telah ia beri arti.

Didorong oleh pemikirannya, Asa pergi keluar sambil membawa pemantik api milik papanya dan kembang api. Malam cerah, tanpa awan. Langit biru ditingkahi kesiur angin meniup-niup nyala api di pemantik api milik papanya. Bau sumbu terbakar. Hati Asa merekah melihat api menjalar seperti tengah melihat senyum Pigor, jelas sekali. Asa menjulurkan tangannya, mencoba meraih mimpinya. Duar! Asa memejamkan matanya. Ledakannya seolah meletus di samping telinganya. Tangannya terasa panas, perih. Asa kemudian tak bisa merasakan kulitnya melepuh oleh serbuk petasan di dalam bungkus kembang api itu membakar kulit rapuhnya. Perempuan itu jatuh tertidur. Di gelap kelopak matanya ia sempat melihat Pigor tersenyum, sudut bibir kanannya naik lebih tinggi tinimbang sebelah kiri. Asa tidur, menjadi Putri Salju. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar