Sejauh kuketahui, perempuan itu tak
pernah mandi. Meski telah sebulan perempuan itu menjadi istriku, tak pernah
kulihat ia mandi. Ia menolak mentah-mentah ketika aku ajak mandi bersama pada
hari kedua setelah kami menikah. Mulanya aku sangka karena ia malu. Namun kini
aku tahu bahwa ia memang tak pernah mandi.
Kendati tak pernah mandi, ia tidak
bau. Badannya amat wangi. Tak pernah kubosan mencium pipinya yang penuh, selalu
segar. Lehernya seperti candu, tak lelah aku menghidu wanginya. Wangi minyak
Zaitun. Yang ia perbuat hanyalah mengolesi tubuhnya dengan minyak zaitun
sebagai ganti mandi. Sekalinya ia ke kamar mandi hanya untuk membuang sisa dari
apa yang ia makan dan minum.
Namanya Indah. Hanya itu yang
kuketahui. Tidak yang lain. Tidak umur atau kapan ia lahir. Aku tak berminat
mencari tahu siapa orang tuanya. Abai akan kerumitan bahwa pasangan yang baik
harus jelas silsilahnya, aku memilih untuk tak mau merepotkan diriku sendiri.
Indah seperti kertas kosong yang jatuh dari langit ke atas mejaku ketika aku
ingin menulis. Kosong, tanpa sesuatupun aku ketahui. Bahkan nama keluarganya;
hanya Indah, itu saja namanya.
Jodoh tidak jatuh dari langit. Omong
kosong! Indah adalah bukti sahih dari kekeliruan peribahasa turun temurun itu.
***
Kata orang-orang yang pergi ke masjid
ketika azan Subuh berkumandang, perempuan itu sudah duduk di kursi teras
kontrakanku saat mereka lewat. Ia meletakkan kedua sikunya pada sandaran tangan
dengan jemari berjalin di atas pangkuan. Memandang lurus ke depan menembus
udara yang tak kentara. Rambut perempuan itu jatuh di bahu kala orang-orang
pergi ke masjid. Lalu, saat mereka pulang dari masjid, rambut itu tersembunyi
di balik kain panjang, hanya pipi lebarnya yang tampak mencuat memenuhi
mukanya. Baju dan kerudungnya berwarna hitam ketika tanah telah terang. Dalam
posisi duduk yang masih tak berubah.
Bahkan ia tak menoleh ketika aku
membuka pintu kontrakan. Mula-mula aku sekadar menaruh sapu yang tadinya hendak
aku gunakan untuk menyapu lantai. Karena hari ini aku sedang libur, maka aku terbebas
dari rutinitas menjemur handuk basah di rentangan tali yang ada di atas kepala
perempuan itu. Tak terusik udara yang kian terang, aku duduk di pagar semen
setinggi lutut di sebelah pintu yang mebatasi kamar kontrakanku dengan kamar
sebelah. Duduk sambil meluruskan kakiku di atas pagar pembatas itu, aku
membiarkan pintu terbuka.
Perempuan itu duduk seperti patung
lilin. Kulitnya berkilau ditimpa lampu teras yang lupa kumatikan. Saat desau
angin datang dari arah perempuan itu, tiba-tiba udara beraroma lain. Bau yang
sepertinya aku kenal, tetapi tak mampu betul kukenali. Seperti bau kertas dari
buku yang baru saja dibuka segel plastiknya, aroma kayu tetapi aku tak tahu itu
kayu apa.
Namun bau itu segera hilang ditimpa
bau bubur ayam yang berhenti di seberang jalan. Aku melambaikan tanganku pada mamang
penjual bubur itu. Membelah jalan yang masih lengang, ia memarkirkan gerobaknya
di depan teras, sejajar dengan arah jalan. Setelah memesan dua mangkuk bubur,
aku ke dalam untuk menyeduh teh. Air dalam dispenser
telah lama panas. Suara air yang mengucur ke dalam gelas kemudian diikuti suara
air memanas di dalam lapisan plastik dispenser.
Buih-buih putih lembut terapung di permukaan air teh, bagaikan rona darah di
bawah kulit seorang pemalu.
Di meja, dua mangkuk bubur bersisian
malu-malu, saling menggoda dengan uapnya yang mengepul. Aku meletakkan gelas
teh di dekat mangkuk bubur, lalu duduk di pagar semen selutut yang ada di depan
perempuan itu. Uap hangat air comberan
di sisi luar teras menyentuh punggungku lewat lubang kaos yang terbuka ketika
aku duduk. Aku tersenyum pada perempuan itu. Meski tidak segera membalas
senyumku, perempuan itu melebarkan ujung bibirnya, mengusik pipi tembamnya
hingga makin menggunung. Aku menengadahkan tanganku, mempersilakan. Tanpa
menunggunya, aku mengambil mangkuk bubur dan mulai menyuapi mulutku. Sekuat
tenaga aku menahan diri untuk tak menatap perempuan itu makan. Penjual bubur
memukulkan sendok pada piring kosong hingga menghasilkan dengking suara seakan
ingin membangunkan nyamuk-nyamuk yang sedang tidur di permukaan air comberan.
Sebersit aroma menguar setiap kali
perempuan itu bergerak, kain-kainnya gemerisik tiap kali ia mengangkat dan
menurunkan sendok. Lebih harum dari aroma uap teh yang menyeruak di hidungku. Sinar
pertama matahari telah lama jatuh di tanah, debu muncul seolah bangkit dari
tidur ketika tersaruk-saruk sandal atau sepatu. Keringat telah tumbuh
mengiringi udara yang memuai. Tetarik oleh suara benturan mangkuk dan meja
ketika perempuan itu meletakkan mangkuk bubur yang kosong, aku menoleh. bola
matanya hitam. Kelam. Dengan selarit warna coklat yang kentara bila di
perhatikan secara teliti. Aku mengenali kombinasi warna hitam dan coklat itu.
tentu saja!
***
Lelaki itu tergopoh-gopoh menurunkan
tas gendongnya. Bau matahari menguar dari baju, terlalu lama dipanggang
matahari. Sekiranya ia memberitahu bahwa ia akan tiba, barangkali aku bisa
menjemputnya. Meskipun tetap hanya jalan kaki dari jalan raya menuju kontrakan,
setidaknya ia tidak perlu terbakar matahari sendirian. Untuk orang yang pernah
makan dari piring yang sama denganku itu, aku tentu saja rela turut merasakan
apa yang sepertinya menyiksa manusia. Kendatipun bisa saja ia tak pernah merasa
tersiksa oleh apa yang aku anggap derita itu.
Sudah dua tahun kami tak bertemu.
Kontrak kerja yang tak lagi diperpanjang oleh pabrik tempatku bekerja
membuatnya kami harus berpisah. Aku akan pulang dan mengurus sawah orang tuaku,
katanya saat itu. hal yang membuat batinku nyeri. Aku ingin jua pulang dan
menemani orang tua di rumah; bedanya orang tuaku tak memiliki sawah untuk
kugarap. Ah, tapi itu hanya bualnya saja. Sebulan kemudian kuterima sebuah
pesan singkat darinya yang mengabarkan hendak lihat-lihat pulau kalimantan.
Bangsat! Doaku mengapung di udara, menyentuh langit-langit kontarakan yang
penuh sarang laba-laba. Sebulan, dua bulan, setahun tak ada secuilpun kabar. Cemas
yang menggayut aku timpa dengan keyakinan bahwa kalimantan adalah hutan
belantara tanpa pohon besi yang memancarkan sinyal untuk ponsel bututnya. Tentu
saja aku naif waktu memikirkan hal itu.
Kini, tiba-tiba, seolah tak tahu aku
baru saja pulang setelah kerja shift malam, ia muncul seperti begal di jalan
sepi. Mataku panas, mimpi belum juga menengok tidurku, tetapi pintu kayuku
bergetar sumbang diketuk tangan hitamnya. Senyumnya lebar luar biasa. Telah
lupa kapan terakhir kali aku melihat senyum seperti itu. senyum terlebar yang
mampu kuingat adalah saat ia mengatakan bahwa ia telah menghabiskan separuh
dari gaji pertamanya di hari kedua setelah menerima gaji.
Kulitnya kini hitam. Satu-satunya
yang menunjukkan betapa cemerlang kulitnya dulu hanyalah belang serupa sosok
kacamata yang membekas di sekitar mata dan garis lurus di pelipis menuju daun
telinga. Aku sengaja tidak menanyakan apa pekerjaannya di kalimantan sana. Demi
mencegah hatiku teriris bila yang diceritakannya adalah sebuah pekerjaan yang
tak mampu aku bayangkan. Seolah perkejaanku sebagai buruh pabrik jauh lebih
berharga dari hidup yang barangkali ia nikmati di sana. Aku ingin memeluknya,
tetapi malas rasanya kalau-kalau ia mengejekku tambah sentimentil.
Betapa mekar hatiku saat sahabatku
itu membual bahwa ia mengambil penerbangan ke jakarta demi menemuiku terlebih
dahulu, padahal aku tahu rasa sayangnya pada orang tuanya berlebih-lebih. Aku
malas untuk mengambilkannya minum. Ia bukan tamu bagiku, keluarga, ini rumahnya
pula. Tetapi, ketika aku tiba-tiba terdorong untuk mengambil gelas untuknya, lelaki
itu menarik tanganku. Mendudukkanku seolah aku ini selirnya.
“Nah...” katanya sambil membuka
tasnya. Ia mengeluarkan bungkusan kain yang wangi. “ini untukmu.” Bungkusan
kain itu terbuka, memamerkan batu seukuran kelereng berwarna hitam. Batu hitam
itu tersaput selarit garis coklat seperti seulas bibir yang tengah tersenyum.
Agak terpukau, aku mengabaikan pikiran bahwa ia pergi jauh ke kalimantan untuk
mengumpulkan batu mulia. Namun, lelaki itu buru-buru menambahkan “aku tak
sengaja menemukan batu ini di sebuah gua di pedalaman kalimantan sana. Kau tahu
sendiri betapa wingit hutan di kalimantan. Bayangkan sebuah kehidupan manusia
yang begitu tua di hutan itu! saat menemukan batu itu, yang ada di kepalaku cuma
kamu. Bangsat betul! Seolah kamu ini mengguna-gunaiku. Muka jelekmu itu selalu
muncul di mimpiku selama seminggu terakhir. Aku takut kamu sekarat karena
kesepian di kota yang jauh dari keluarga ini. Maka aku memutuskan pulang dan
menengokmu.”
Empat tahun aku pernah dipeluknya
setiap tidur. Aku tahu bualnya bukan main. Tapi cerita itu sungguh menarik
untuk dipercaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang kesepian selain
mempercayai bualan bahwa aku dimimpikan seseorang? Meskipun ia hanya seorang
lelaki tengik yang aku anggap saudara.
“Dengar! Seorang kawan, seorang
pribumi, ia bilang aku harus merendam batu ini di dalam kubangan minyak zaitun.
Tunggulah tiga hingga lima hari, batu ini bisa berubah warna. Dan jika ia bisa
berubah warna...” ia menepuk punggungku seolah kata-kata tak cukup untuk
menggambarkan keajaiban batu itu.
Lama ia diam sementara aku menunggu.
“Apa?” tanyaku kemudian setelah tak tahan dirundung penasaran.
“Tak apa-apa.” Senyumnya ketika ia
menghabiskan separuh gajinya dalam satu hari kembali terukir. “Bisa jadi ini
batu mahal. Tapi awas saja kalau sampai kamu jual batu ini. Kugergaji
tanganmu!” lalu ia merebahkan badan tanpa memandangku. Tatapannya merenungi
langit-langit kamar. Ketika matanya telah memicing, aku pergi membeli nasi uduk
kesukaannya waktu dulu.
Kemudian, sehari setelah lelaki itu
pamit pulang ke kampungnya, aku pontang panting mencari minyak zaitun. Sialnya,
aku lupa menanyakan minyak zaitun macam apa yang harus kugunakan untuk merendam
batu itu. setelah kesulitan mencari minyak zaitun, akhirnya aku memutuskan
untuk melupakan tetek bengek yang memperumit diri. Aku memakai minyak zaitun
pertama yang bisa aku dapatkan dan menggenangi batu itu dengan minyak zaitun di
dalam ceruk cangkir transparan yang biasa kugunakan untuk menyeduh kopi.
Sehari, dua hari, tak ada perubahan
apapun. Tanpa secuilpun kegelisahan, aku mengabaikan batu itu. Kadang, dengan
sedikit iseng, aku menyoroti batu dalam genangan minyak zaitun itu menggunakan
senter kecil. Seingatku, tak ada perubahan berarti dari warnanya, masih hitam.
Pada hari ketiga, setelah selesai
memuja tuhan, aku keheranan melihat cairan lengket yang tercetak di lantai
keramik menyerupai tapak kaki manusia. Pintu masih terkunci sempurna ketika aku
periksa, dan tak ada yang aneh dengan daun jendela. Alih-alih melongok keluar,
aku justru lebih tertarik menekuri jejak itu. Jejak itu jelas jejak seorang
manusia. Jejak itu bermula dari cangkir bening tempat aku merendam batu hitam
itu. batu hitam itu raib. Kalut memikirkan cara bagaimana sebaiknya aku mengabarkan
akan lenyapnya batu itu, aku tak sempat
untuk mencurigai soal sepasang jejak kaki yang mengarah keluar itu. [ ]
Jadi perempuan itu gak pernah mandi? Sebagai perempuan Angelina Jolie merasa sedih...
BalasHapusHoorrooorr :O
BalasHapus