Rabu, 25 Maret 2015

Kamisan03 #5 batu mulia



Sejauh kuketahui, perempuan itu tak pernah mandi. Meski telah sebulan perempuan itu menjadi istriku, tak pernah kulihat ia mandi. Ia menolak mentah-mentah ketika aku ajak mandi bersama pada hari kedua setelah kami menikah. Mulanya aku sangka karena ia malu. Namun kini aku tahu bahwa ia memang tak pernah mandi.

Kendati tak pernah mandi, ia tidak bau. Badannya amat wangi. Tak pernah kubosan mencium pipinya yang penuh, selalu segar. Lehernya seperti candu, tak lelah aku menghidu wanginya. Wangi minyak Zaitun. Yang ia perbuat hanyalah mengolesi tubuhnya dengan minyak zaitun sebagai ganti mandi. Sekalinya ia ke kamar mandi hanya untuk membuang sisa dari apa yang ia makan dan minum.

Namanya Indah. Hanya itu yang kuketahui. Tidak yang lain. Tidak umur atau kapan ia lahir. Aku tak berminat mencari tahu siapa orang tuanya. Abai akan kerumitan bahwa pasangan yang baik harus jelas silsilahnya, aku memilih untuk tak mau merepotkan diriku sendiri. Indah seperti kertas kosong yang jatuh dari langit ke atas mejaku ketika aku ingin menulis. Kosong, tanpa sesuatupun aku ketahui. Bahkan nama keluarganya; hanya Indah, itu saja namanya.

Jodoh tidak jatuh dari langit. Omong kosong! Indah adalah bukti sahih dari kekeliruan peribahasa turun temurun itu.

***
Kata orang-orang yang pergi ke masjid ketika azan Subuh berkumandang, perempuan itu sudah duduk di kursi teras kontrakanku saat mereka lewat. Ia meletakkan kedua sikunya pada sandaran tangan dengan jemari berjalin di atas pangkuan. Memandang lurus ke depan menembus udara yang tak kentara. Rambut perempuan itu jatuh di bahu kala orang-orang pergi ke masjid. Lalu, saat mereka pulang dari masjid, rambut itu tersembunyi di balik kain panjang, hanya pipi lebarnya yang tampak mencuat memenuhi mukanya. Baju dan kerudungnya berwarna hitam ketika tanah telah terang. Dalam posisi duduk yang masih tak berubah.

Bahkan ia tak menoleh ketika aku membuka pintu kontrakan. Mula-mula aku sekadar menaruh sapu yang tadinya hendak aku gunakan untuk menyapu lantai. Karena hari ini aku sedang libur, maka aku terbebas dari rutinitas menjemur handuk basah di rentangan tali yang ada di atas kepala perempuan itu. Tak terusik udara yang kian terang, aku duduk di pagar semen setinggi lutut di sebelah pintu yang mebatasi kamar kontrakanku dengan kamar sebelah. Duduk sambil meluruskan kakiku di atas pagar pembatas itu, aku membiarkan pintu terbuka.

Perempuan itu duduk seperti patung lilin. Kulitnya berkilau ditimpa lampu teras yang lupa kumatikan. Saat desau angin datang dari arah perempuan itu, tiba-tiba udara beraroma lain. Bau yang sepertinya aku kenal, tetapi tak mampu betul kukenali. Seperti bau kertas dari buku yang baru saja dibuka segel plastiknya, aroma kayu tetapi aku tak tahu itu kayu apa.

Namun bau itu segera hilang ditimpa bau bubur ayam yang berhenti di seberang jalan. Aku melambaikan tanganku pada mamang penjual bubur itu. Membelah jalan yang masih lengang, ia memarkirkan gerobaknya di depan teras, sejajar dengan arah jalan. Setelah memesan dua mangkuk bubur, aku ke dalam untuk menyeduh teh. Air dalam dispenser telah lama panas. Suara air yang mengucur ke dalam gelas kemudian diikuti suara air memanas di dalam lapisan plastik dispenser. Buih-buih putih lembut terapung di permukaan air teh, bagaikan rona darah di bawah kulit seorang pemalu.

Di meja, dua mangkuk bubur bersisian malu-malu, saling menggoda dengan uapnya yang mengepul. Aku meletakkan gelas teh di dekat mangkuk bubur, lalu duduk di pagar semen selutut yang ada di depan perempuan itu. Uap hangat  air comberan di sisi luar teras menyentuh punggungku lewat lubang kaos yang terbuka ketika aku duduk. Aku tersenyum pada perempuan itu. Meski tidak segera membalas senyumku, perempuan itu melebarkan ujung bibirnya, mengusik pipi tembamnya hingga makin menggunung. Aku menengadahkan tanganku, mempersilakan. Tanpa menunggunya, aku mengambil mangkuk bubur dan mulai menyuapi mulutku. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tak menatap perempuan itu makan. Penjual bubur memukulkan sendok pada piring kosong hingga menghasilkan dengking suara seakan ingin membangunkan nyamuk-nyamuk yang sedang tidur di permukaan air comberan.

Sebersit aroma menguar setiap kali perempuan itu bergerak, kain-kainnya gemerisik tiap kali ia mengangkat dan menurunkan sendok. Lebih harum dari aroma uap teh yang menyeruak di hidungku. Sinar pertama matahari telah lama jatuh di tanah, debu muncul seolah bangkit dari tidur ketika tersaruk-saruk sandal atau sepatu. Keringat telah tumbuh mengiringi udara yang memuai. Tetarik oleh suara benturan mangkuk dan meja ketika perempuan itu meletakkan mangkuk bubur yang kosong, aku menoleh. bola matanya hitam. Kelam. Dengan selarit warna coklat yang kentara bila di perhatikan secara teliti. Aku mengenali kombinasi warna hitam dan coklat itu. tentu saja!

***

Lelaki itu tergopoh-gopoh menurunkan tas gendongnya. Bau matahari menguar dari baju, terlalu lama dipanggang matahari. Sekiranya ia memberitahu bahwa ia akan tiba, barangkali aku bisa menjemputnya. Meskipun tetap hanya jalan kaki dari jalan raya menuju kontrakan, setidaknya ia tidak perlu terbakar matahari sendirian. Untuk orang yang pernah makan dari piring yang sama denganku itu, aku tentu saja rela turut merasakan apa yang sepertinya menyiksa manusia. Kendatipun bisa saja ia tak pernah merasa tersiksa oleh apa yang aku anggap derita itu.

Sudah dua tahun kami tak bertemu. Kontrak kerja yang tak lagi diperpanjang oleh pabrik tempatku bekerja membuatnya kami harus berpisah. Aku akan pulang dan mengurus sawah orang tuaku, katanya saat itu. hal yang membuat batinku nyeri. Aku ingin jua pulang dan menemani orang tua di rumah; bedanya orang tuaku tak memiliki sawah untuk kugarap. Ah, tapi itu hanya bualnya saja. Sebulan kemudian kuterima sebuah pesan singkat darinya yang mengabarkan hendak lihat-lihat pulau kalimantan. Bangsat! Doaku mengapung di udara, menyentuh langit-langit kontarakan yang penuh sarang laba-laba. Sebulan, dua bulan, setahun tak ada secuilpun kabar. Cemas yang menggayut aku timpa dengan keyakinan bahwa kalimantan adalah hutan belantara tanpa pohon besi yang memancarkan sinyal untuk ponsel bututnya. Tentu saja aku naif waktu memikirkan hal itu.

Kini, tiba-tiba, seolah tak tahu aku baru saja pulang setelah kerja shift malam, ia muncul seperti begal di jalan sepi. Mataku panas, mimpi belum juga menengok tidurku, tetapi pintu kayuku bergetar sumbang diketuk tangan hitamnya. Senyumnya lebar luar biasa. Telah lupa kapan terakhir kali aku melihat senyum seperti itu. senyum terlebar yang mampu kuingat adalah saat ia mengatakan bahwa ia telah menghabiskan separuh dari gaji pertamanya di hari kedua setelah menerima gaji.

Kulitnya kini hitam. Satu-satunya yang menunjukkan betapa cemerlang kulitnya dulu hanyalah belang serupa sosok kacamata yang membekas di sekitar mata dan garis lurus di pelipis menuju daun telinga. Aku sengaja tidak menanyakan apa pekerjaannya di kalimantan sana. Demi mencegah hatiku teriris bila yang diceritakannya adalah sebuah pekerjaan yang tak mampu aku bayangkan. Seolah perkejaanku sebagai buruh pabrik jauh lebih berharga dari hidup yang barangkali ia nikmati di sana. Aku ingin memeluknya, tetapi malas rasanya kalau-kalau ia mengejekku tambah sentimentil.

Betapa mekar hatiku saat sahabatku itu membual bahwa ia mengambil penerbangan ke jakarta demi menemuiku terlebih dahulu, padahal aku tahu rasa sayangnya pada orang tuanya berlebih-lebih. Aku malas untuk mengambilkannya minum. Ia bukan tamu bagiku, keluarga, ini rumahnya pula. Tetapi, ketika aku tiba-tiba terdorong untuk mengambil gelas untuknya, lelaki itu menarik tanganku. Mendudukkanku seolah aku ini selirnya.

“Nah...” katanya sambil membuka tasnya. Ia mengeluarkan bungkusan kain yang wangi. “ini untukmu.” Bungkusan kain itu terbuka, memamerkan batu seukuran kelereng berwarna hitam. Batu hitam itu tersaput selarit garis coklat seperti seulas bibir yang tengah tersenyum. Agak terpukau, aku mengabaikan pikiran bahwa ia pergi jauh ke kalimantan untuk mengumpulkan batu mulia. Namun, lelaki itu buru-buru menambahkan “aku tak sengaja menemukan batu ini di sebuah gua di pedalaman kalimantan sana. Kau tahu sendiri betapa wingit hutan di kalimantan. Bayangkan sebuah kehidupan manusia yang begitu tua di hutan itu! saat menemukan batu itu, yang ada di kepalaku cuma kamu. Bangsat betul! Seolah kamu ini mengguna-gunaiku. Muka jelekmu itu selalu muncul di mimpiku selama seminggu terakhir. Aku takut kamu sekarat karena kesepian di kota yang jauh dari keluarga ini. Maka aku memutuskan pulang dan menengokmu.”

Empat tahun aku pernah dipeluknya setiap tidur. Aku tahu bualnya bukan main. Tapi cerita itu sungguh menarik untuk dipercaya. Apa yang bisa dilakukan oleh orang yang kesepian selain mempercayai bualan bahwa aku dimimpikan seseorang? Meskipun ia hanya seorang lelaki tengik yang aku anggap saudara.

“Dengar! Seorang kawan, seorang pribumi, ia bilang aku harus merendam batu ini di dalam kubangan minyak zaitun. Tunggulah tiga hingga lima hari, batu ini bisa berubah warna. Dan jika ia bisa berubah warna...” ia menepuk punggungku seolah kata-kata tak cukup untuk menggambarkan keajaiban batu itu.

Lama ia diam sementara aku menunggu. “Apa?” tanyaku kemudian setelah tak tahan dirundung penasaran.

“Tak apa-apa.” Senyumnya ketika ia menghabiskan separuh gajinya dalam satu hari kembali terukir. “Bisa jadi ini batu mahal. Tapi awas saja kalau sampai kamu jual batu ini. Kugergaji tanganmu!” lalu ia merebahkan badan tanpa memandangku. Tatapannya merenungi langit-langit kamar. Ketika matanya telah memicing, aku pergi membeli nasi uduk kesukaannya waktu dulu.

Kemudian, sehari setelah lelaki itu pamit pulang ke kampungnya, aku pontang panting mencari minyak zaitun. Sialnya, aku lupa menanyakan minyak zaitun macam apa yang harus kugunakan untuk merendam batu itu. setelah kesulitan mencari minyak zaitun, akhirnya aku memutuskan untuk melupakan tetek bengek yang memperumit diri. Aku memakai minyak zaitun pertama yang bisa aku dapatkan dan menggenangi batu itu dengan minyak zaitun di dalam ceruk cangkir transparan yang biasa kugunakan untuk menyeduh kopi.

Sehari, dua hari, tak ada perubahan apapun. Tanpa secuilpun kegelisahan, aku mengabaikan batu itu. Kadang, dengan sedikit iseng, aku menyoroti batu dalam genangan minyak zaitun itu menggunakan senter kecil. Seingatku, tak ada perubahan berarti dari warnanya, masih hitam.

Pada hari ketiga, setelah selesai memuja tuhan, aku keheranan melihat cairan lengket yang tercetak di lantai keramik menyerupai tapak kaki manusia. Pintu masih terkunci sempurna ketika aku periksa, dan tak ada yang aneh dengan daun jendela. Alih-alih melongok keluar, aku justru lebih tertarik menekuri jejak itu. Jejak itu jelas jejak seorang manusia. Jejak itu bermula dari cangkir bening tempat aku merendam batu hitam itu. batu hitam itu raib. Kalut memikirkan cara bagaimana sebaiknya aku mengabarkan akan lenyapnya batu itu, aku tak  sempat untuk mencurigai soal sepasang jejak kaki yang mengarah keluar itu. [ ]

2 komentar: