Kamis, 19 Desember 2013

kamisan #12 Lemari - Pintu Masuk


Doni terbangun dari tidurnya karena suara deritan pintu yang terbuka. Dalam kegelapan kamar pada tengah malam, Doni memerlukan satu dua menit untuk membiasakan matanya dengan pekatnya malam. Bukan pintu kamar yang terbuka, Samar-samar, Doni mendapati pintu lemarinya telah terbuka. Dengan memicingkan mata, Doni sungguh-sungguh berusaha mencermati lubang hitam yang tersibak. Namun semua gelap. Doni tak mendapati apapun selain lengan kemejanya yang tertimpa keremangan.

Srek. Tersirap, bukannya memalingkan pandangan, Doni justru makin serius memusatkan perhatiannya pada lubang hitam yang menganga itu. Hati Doni berdesir saat kemudian saat sebuah suara lelaki keluar dari dalam lemari pakaiannya.

“Tunggu dulu, kenapa kita melulu harus masuk dari dalam lemari?” tanya sebuah suara yang terdengar berat.

“Apa maksudmu? Memang seperti ini sudah jalannya, terima saja!” sahut suara yang lain.

“Tidak bisa! Sudah akan terlambat kalau harus masuk lewat lemari di kamar ini. Tahukah kau berapa lama untuk sampai ke dapur? Aku harus menghentikan perempuan itu sebelum ia mulai memasukan ulekan bawangnya ke wajan panas. Aku tak tahan kalau harus mencium bau harum itu lagi. Aku akan lewat dinding dapur langsung!” tukas suara berat itu dengan lebih garang.

Doni tak bergerak dari kasurnya. Entah apa yang dicarinya. Tangan Doni lambat merabai permukaan kasur dingin di sebelahnya. Mira, istrinya, tak ada di sana.

Tercekat, Doni diam, tak berusaha membuat sedikitpun suara. Setelah menajamkan pendengaran dan yakin kalau suara-suara tadi benar-benar tak ada lagi, Doni pun dengan naif menganggap suara-suara itu hanyalah apa yang ia bawa dari alam mimpi. Doni merapatkan selimutnya, tanpa ada kemauan untuk sekedar menutup pintu lemari yang telah terbuka.

***

“Kenapa kita harus masuk dari dalam lemari?” protes suara berat itu sengit di dalam sebuah forum dalam bentuk melingkar di sebuah ruangan gelap tanpa sebuahpun sumber cahaya.

“Apa maksudmu? Itu sudah tradisi dari ratusan tahun yang lalu, kenapa kau ribut-ribut?” tukas seorang perempuan setengah baya yang hanya mengenakan daster selutut yang tak jelas warnanya karena gelap sehingga menyamarkan bercak darah di daerah perutnya.

“Tahukah kalian berapa jauh jarak dari lemari di sana ke dapur rumah itu?”

“lalu?” buru perempuan itu menyela.

“Aku harus mencegah perempuan di rumah itu sebelum ia memasukkan ulekan bawangnya ke dalam wajan panas. Kalau aku harus pergi ke dapur melewati lemari pakaian itu tentu saja aku pasti akan terlambat.”

“Memangnya kenapa kau harus melakukan itu?”

“Ya, kenapa kau harus melakukan itu?” sambung yang lain meminta penjelasan.

“karena... “ suara berat itu tiba-tiba meluruh. Ada jeda di sana, ada kesedihan yang menghambatnya.”waktu itu, bau harum bawang itulah yang terakhir aku ingat malam itu, ketika istriku membuatkanku nasi goreng sialan itu.” Ada kemarahan yang getir dalam nada suara beratnya.

Yang lain-lain ada yang menutup mulutnya yang terbuka, ada yang mengelus dada. Seluruh simpati kini menjadi persembahan untuknya.

“Anak muda,” seorang lelaki keriput yang tak berdaging menepuk pundaknya. “lihat orang itu.” Kulitnya menggelambir jelek saat ia menunjuk pada seorang perempuan berambut panjang yang bola matanya hampir putih seutuhnya, tak ada warna hitam di matanya, putihnya mencolok sekali di dalam keremangan.”kau mau menjadi seperti orang itu? Yang rusak pengelihatanya karena dulu ia selalu suka masuk lewat layar televisi yang menyala. Kau tahu, matanya tetap rusak meski ia menutupi matanya dengan rambut di dahinya saat ia masuk. Kau mau matamu rusak sepertinya kalau kamu nekat langsung masuk lewat dinding dapur? Dekat kompor pula, apinya sungguh tak baik, berbahaya.”

Sesaat ia ragu akan kengototannya. “Jadi karena hal itu?”

“Ya, setidaknya baru itu gejala awal yang nampak, tak tahu kalau ia tetap saja melanjutkan kegemarannya itu! Jadi, pikirkan itu baik-baik, sebelum kau melaksanakan niatmu. Ada yang sudah lama hidup di alam ini jauh lebih lama darimu, mereka tahu hal-hal yang mungkin tak kau ketahui.” Ditepuknya sekali lagi pundak lelaki muda itu.

Lelaki muda itu pun pergi meninggalkan forum. Tanpa kata.

***

Doni terkesiap oleh hempasan tubuh istrinya, di kasur, di sebelahnya. Nafasnya memburu hebat seperti atlet lari jarak pendek yang baru saja menyentuh garis finish. Kepayahan Doni mengamati raut muka istrinya itu, dan keremangan malam makin menyembunyikan wajah istrinya yang ketakutan. Tapi tidak suara terikan istrinya tadi, Doni tahu ia harus peduli pada istrinya dan mengabaikan sebentar mimpi indahnya.

“Ada apa sayang?”

“Ada... Hantu mas.. “ suara istrinya tergagap.

“Maksudmu?” Doni seolah tak yakin dengan apa yang didengarnya barusan.

“Iya Mas, ada hantu yang mengenakan kacamata hitam muncul dari dinding dapur saat aku hendak membuat nasi goreng.” [ ]





*tulisan ini untuk pipit yang kemarin menanyakan ‘kenapa hantu selalu muncul dari dalam lemari pakaian?’ saat nonton film Insidous 2 beberapa waktu lalu :)

Kamis, 05 Desember 2013

kamisan #11 Lem kertas - Hari Lebaran


Wawan menuangkan air panas ke dalam ember bekas cat yang berisi tepung pati kanji. Sedikit demi sedikit air panas itu dituangkan sambil diaduk pelan hingga adonan menjadi semacam bubur tetapi sedikit lebih encer.

“Bikin apa Wan?” tanya Ibu wawan yang baru saja selesai melayani seorang pembeli di warungnya, duduk di lincak di area bengkel tambal ban yang dikelola suaminya.

“Lem kertas.” jawab Wawan ringan dengan bibir tersungging.

“Buat apa?” sahut Ayah Wawan yang sejak tadi mengamati Wawan.

“Tuh... “ Wawan menunjuk selebaran pengumuman Salat Ied di halaman Kantor pos.

“Oh... jadi lebaran tanggal berapa?” tanya Ayah Wawan sambil berjalan ke mesin kompresor saat Ustadz Hari datang hendak mengisi angin ban motornya yang kurang angin.

“Tanggal 9 nanti.”

“Loh, tidak menunggu sidang isbat dulu to Mas Wawan?” Ustadz Hari menimpali.

“Awal puasa kemarin sudah bareng kan Mas?” tanya Wawan pada Ustadz Hari. Tanpa menunggu jawaban, Wawan melanjutkan. “Lalu kenapa tidak Hari Raya-nya bareng juga? Di rapat PHBI kemarin, disepakati Hari Raya tanggal 9 Mas.”

Ustadz Hari tak menanggapi, ia menyalakan motornya dan pergi meninggalkan mereka. Tepat sebelum Anto, Andri, Wiwit dan Tanto datang.

“Ada apa?” tanya Anto yang menyadari kehadiran Ustadz Hari barusan.

“Sudah, tak usah dipikirkan. Memang begitu sejak dulu, tak pernah sejalan dengan PHBI kan orang itu.” sergah Ibu Wawan.”Paling banter seperti tahun kemarin, supaya dia yang mengurusi salat Ied di Kantor Pos, dia hanya menginginkan uang infaq-nya saja.”

“Yah, nggak usah dipedulikan orang yang seperti itu, sebaiknya kita kerjakan saja tugas kita.” tukas Anto yang lalu mengambil pamflet yang harus mereka sebarkan.

Wawan mengambil dan menenteng ember berisi lem yang tadi dia buat. “Aku hanya ingin kampung kita rukun, tidak lagi terpecah-pecah karena perbedaan Hari Raya. Itu saja!” Wawan menyusul teman-temannya yang sudah berangkat. [ ]




Catatan kaki:
Lincak : kursi panjang dari bambu
PHBI    : Panitia Hari Besar Islam, yang mengurusi perayaan-perayaan hari besar Islam, meliputi penyelenggaraan Salat Ied.

Kamis, 28 November 2013

kamisan #10 semut - Semut Naif



“Gawat, tampaknya sebentar lagi akan hujan.” ujarku saat melihat gugusan awan yang sibuk berduyun-duyun datang dari utara. Di luar, pada tali jemuran yang melengkung, tergantung seragam sekolah Dewi, anak kecil yang suka menyisihkan rotinya untukku, meskipun itu lebih karena Dewi tak pernah menyukai roti bekal makan siangnya itu.

Melihat itu, aku segera menjatuhkan butiran roti di bahuku dan mengejar semut Cak. “Cak, kita harus menghentikan sebentar pengumpulan makanan kita.” Tukasku sambil menghadang jalan Cak.

“Apa maksudmu, Bon?” sahut Cak dengan nada suara yang tinggi. “koloni kita bakal kelaparan kalau kita tidak bekerja mengumpulkan makanan.”

“Bukan begitu, Cak. Tapi lihat awan dari utara itu, dan angin yang lembab ini,  sebentar lagi pasti turun hujan.”

“Justru itu kita seharusnya mempercepat kerja kita agar bisa lebih cepat selesai memindahkan roti yang dibuang Dewi ke sarang kita.” potong Cak cepat dengan suara yang lebih tegas.

“Tapi, Cak, lihat itu,” aku menunjuk seragam Dewi yang masih tergantung di tali jemuran. “kalau seragam itu kehujanan dan Dewi besok tidak masuk sekolah karena seragamnya basah maka kita tidak akan mendapatkan roti bekal makan siang yang dibuang Dewi.”

“Ya, Bon benar Cak.” timpal Jun yang berdiri di belakangku. Barisan semut yang sedari tadi berhenti bergerak karena jalur mereka aku potong kini bertambah gelisah.

Cak mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, tapi bagaimana kita memberitahu Bu Wulan?”

“Tidakkah kau pernah dengar cerita bahwa manusia mempunyai kepercayaan bahwa jika semut berkerumun tanpa adanya gula atau makanan itu adalah sebuah pertanda akan turun hujan?” ujar Dob tiba-tiba. Sebagai semut yang paling berumur tentu saja ucapan Dob dipercaya oleh semut-semut yang lain.

‘Apa kau yakin dengan yang kau ketahui itu, Dob?” tanya Cak untuk meyakinkan diri.

“Tentu saja.” jawab Dob tanpa keraguan.

“Baiklah kalau begitu. Ayo semua ikuti aku. Kita harus memastikan Bu Wulan melihat kita berkerumun, tapi kita juga harus menjaga jarak dari jangkaun Bu Wulan agar kita punya kesempatan untuk menyelamatkan diri sekiranya ada hal yang tidak kita inginkan terjadi.”

Cak berjalan paling depan. Cak memutuskan untuk masuk dari pintu samping, dikuti oleh semua kawananku. Setelah melewati celah bagian bawah pintu samping, Cak memberi isyarat dengan kaki depannya. Bu Wulan sedang duduk di ruang tengah, sedang menonton televisi.

“Bon, pancinglah agar Bu Wulan melihat kemari. Kami akan berkerumun di sini. Hati-hati.” pesan Cak sebelum aku meninggalkan koloniku.

Dengan cemas yang mengiringi, aku pun berjalan cepat mengikuti alur semen hitam yang tercipta di antara ubin keramik. Saat hendak mencapai pinggiran karpet tempat Bu Wulan duduk, tiba-tiba aku merasakan keramik yang aku pijak berdebum. Sebuah kaki raksasa jatuh di sampingku, hampir saja menindas tubuhku. Sambil meletakkan kedua kaki depanku ke atas kepala dalam usaha melindungi diri yang sia-sia, aku melihat Pak Agus berjalan melintasiku. Pak agus menghampiri koloniku, dari jauh aku diam melihat Pak Agus menyemprotkan semacam cairan putih yang kemudian membinasakan seluruh koloniku. [ ]

Kamis, 21 November 2013

Kamisan #9 Meteor - Berkah Hari Jumat Dan Tuah Bintang Jatuh



Bolehkah bila kubilang aku sebenarnya hampir putus asa kala aku memulai tulisan ini? Ya, lebih baik aku beritahukan lebih awal sebelum kalian memutuskan hendak membaca tulisan ini lebih lanjut. Aku sedang tidak tahu akan menulis tentang apa saat ini. Maka, maklum dari kalian barangkali adalah semacam keberuntungan bagiku. Setidaknya mengurangi sedikit rasa maluku.

Jam digital di ruang tunggu bandara Adisucipto memberitahukan waktu sudah pukul 20.44 WIB, warnanya merah tua. Sudah hampir dua jam lewat dari jadwal semula yang tertera di kertas tiket di tanganku. Muka-muka lelah di sekitarku tak meninggalkan bekas kebaikan maskapai penerbangan yang telah menyogok penumpang terlantar dengan sebuah nasi kotak berisi gundukan kecil nasi yang mampat terbentuk ke dalam cetakan mangkuk dan sepotong ayam goreng tepung yang garing serta sebungkus saus sambal yang biasanya aku sukai.

Aku sedang membaca sebuah buku kumpulan cerpen yang baru saja kubeli siang tadi, sesaat sebelum aku berangkat, tepat seperti biasa aku lakukan ketika pulang kampung, berbelanja buku demi menjaga stok buku bacaanku selama nanti aku terasing dari buku-buku yang aku senangi, ketika kemudian perhatianku teralihkan dari rangkaian kata di kertas berkualitas baik yang menyenangkan mata kepada sesosok perempuan berkulit bersih tak jauh dari tempat aku duduk. Ada sekitar tiga ubin keramik putih yang membentangkan jarak di antara kami, sehingga memberiku kedok untuk bersembunyi dari mencuri pandang ke arah lehernya yang tidak tertutup kerah pendek bajunya. Kulitnya cerah, menggiurkan seperti langit biru yang menggoda untuk dipandang.

Hari ini hari kamis, malam jumat, malam di mana banyak orang menjadi orang yang taat beribadah demi menunaikan sunah Rasul. Malam jumat adalah hari yang indah dalam agama islam bagi sepasang suami istri. Malam jumat, dalam kalender jawa dan islam, sudah boleh disebut hari jumat. Tentu saja, seperti kalian ketahui, hari jumat adalah hari yang penuh berkah. Aku sedang memandang lapisan langit di luar sana, langit yang dipisahkan dariku oleh sebaris kaca yang tak tampak olehku. Khusuk sekali aku memandang hamparan langit itu seolah aku yakin bisa menemukan Tuhanku di luar sana, meminta bukti bahwa hari jumat adalah hari penuh keajaiban. Lalu selarik cahaya panjang melintas, tertangkap oleh mataku yang sedang melamun. Bintang jatuh, di satu pihak disebutkan sebagai pertanda Tuhan yang sedang melempar setan, dan di pihak lain banyak yang berpendapat bahwa bintang jatuh adalah saat yang tepat untuk membuat permohonan, sebuah doa yang konon lebih mungkin terkabul saat dibuat ketika kita melihat bintang jatuh. Sesungguhnya aku tahu bintang jatuh hanyalah meteor yang melintas dan bersinggungan dengan lapisan atmosfer bumi, yang dari gesekannya membuat meteor tersebut tampak bercahaya. Namun, sebagai orang hampir putus asa, tidak bolehkah aku terlalu berharap pada hari jumat penuh berkah dan kekuatan mitos bintang jatuh agar terjadi sebuah keajaiban?

Kemudian, salahkah jika akalku yang sejak awal tadi sudah kujelaskan sedang dalam keadaan tanpa harapan lalu dengan sendirinya menciptakan sebuah upaya untuk membuat aku mempercayai masih ada sedikit harapan buatku? Maka tanpa prasangka sedikitpun aku memutuskan membuat doa, atau sebut saja khayalan akan kebahagian, dan meyakini bahwa perempuan berambut ikal yang menutupi bidang bahunya tetapi secara ceroboh memamerkan ceruk melintang yang terbentuk dari lapisan lemak yang menunjukkan isi sebagian badannya yang terawat itu sebagai perempuan yang dulu, di masa yang telah lalu, bahkan mungkin pada kehidupan yang lain, adalah seorang perempuan yang pernah memelukku dan memanggilku dengan panggilan kekasih yang nyaman di telinga.

Maka menjadi wajar ketika muncul keinginan untuk mengatakan padanya bahwa dia adalah kekasihku di masa lalu, di kehidupan yang sebelum ini. Tapi, lalu lalang orang banyak, dan keramaian yang mengelilingiku memaksaku menabung keinginan untuk mengucapkan kalimat itu. Satu-satunya kemungkinan terburuk yang menghalangiku adalah rasa malu yang menumpuk di mukaku jika tanggapan perempuan itu tidaklah seperti yang aku angankan. Bayang rasa malu itu cukup bagiku untuk tidak melakukan hal yang seolah konyol itu.

Namun, berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh sepertinya tidak mengijinkan aku untuk berdiam diri. Setelah berusaha keras untuk menahan diri dan menyamankan diri agar aku tidak menyesal saat tak mengucapkan rangkaian kata manis yang tertera di pikiranku, tiba-tiba sesuatu yang kupaksakan untuk kuyakini itu kini tampak mengejekku, menimbulkan keraguan padaku dalam cara yang konyol, kalau tidak boleh aku sebut sebagai kebetulan yang biasa sekali terjadi dalam setiap jenis kehidupan seseorang. Perempuan yang mengenakan cardigan hitam itu duduk di baris yang sama denganku. Kenyataan bahwa ia duduk di kursi 24A di samping jendela dan aku duduk di kursi 24C di sebelah gang dalam kabin pesawat serta tidak adanya orang yang duduk di kursi 24B yang menghalangi kami, secara sadar membuat aku kembali meninjau keputusanku.

Lalu, saat perempuan berbibir penuh itu, entah sengaja atau tidak, menoleh ke arahku, secara spontan sesudah mengumpulkan secuil keberanian yang diperlukan, akupun menyapanya. “Di masa lalu, kita adalah sepasang kekasih.” Ujarku dengan suara datar yang tak kupaksa sedemikian rupa agar terdengar seolah aku tak mengharapkan reaksi apapun, demi terlihat meyakinkan di mata perempuan yang hidungnya menempel serasi di antara pipi-pipinya yang gemuk.

“Benarkah?” sahut perempuan bersuara seperti anak kecil itu setelah cukup lama memandangiku. Aku kemudian merasa kian yakin bahwa berkah malam jumat dan tuah bintang jatuh sedang bekerja.

“Tentu saja,” aku tak bersedia memberi ruang pada ragu untuk menyerang pikiran perempuan yang masih menoleh padaku itu “kau bisa percaya padaku, sepasang kekasih tak mungkin berbohong.”

Pada kesempatan ini percakapan mengalir begitu mudah. Sungguh, demi hormatku pada kalian sebaiknya aku tak terlalu banyak bercerita secara detail tentang apa yang kami bicarakan. Yang pasti, kami sedikit sekali berbicara tentang diri kami. Kami lebih banyak berbicara tentang hal-hal yang berkenaan dengan alasan perjalanan kami ke Balikpapan serta kronologi keberangkatan kami dari rumah ke bandara hingga tersesat dalam lelah karena kebosanan yang sangat ketika dipaksa harus menunggu pesawat yang akan kami tumpangi. Begitu larutnya dalam perbincangan, yang kian meyakinkanku akan doa atau khayalan yang terwujud karena berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh, aku belum sempat menanyakan nama perempuan berdagu mancung itu, bahkan sampai pesawat mendarat di bandara Sepinggan dengan goncangan yang mengagetkan.

Sebelum aku melepas sabuk pengaman dan berdiri dari dudukku, aku kemudian bermaksud menanyakan sedikit identitas dirinya agar bisa tetap terhubung dengan perempuan sederhana yang bahkan tak mewarnai bibirnya yang berwarna coklat pucat itu. “Jadi, sebelum kita berpisah, bolehkah aku tahu siapa namamu?”

Perempuan itu tersenyum ramah padaku, sudut-sudut matanya berkerut membentuk lipatan kecil yang mempercantik bola matanya yang hitam dan sendu. “Kau sungguh tak mengenaliku, ya?” perempuan itu terdengar meyakinkan.

Aku menarik kepalaku ke belakang, mengamatinya lebih seksama. Aku masih heran saat ia melanjutkan. “Menyedihkan sekali! Kau bahkan tidak pernah mengingatku sama sekali.” perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku Elly, teman SMP-mu yang sering mengerjakan PR-mu.” Elly mengambil jeda, menarik bibirnya untuk memamerkan senyum yang tak lagi nyaman dilihat. “Aku pernah menaruh rasa padamu, dulu,” Elly menekan suaranya pada kata terakhir “kesempatanmu sudah lewat. Sayang sekali.” Elly berdiri dari duduknya, tanpa permisi melewatiku yang masih duduk, memberikan aku pantatnya untuk kucium. [ ]



*tulisan ini terinspirasi dari cerpen ‘Perempuan Dari Masa Lalu’ – A.S Laksana.
*Di masa lalu, kita adalah sepasang kekasih ~ dikutip dari ‘Perempuan Dari Masa Lalu’ – A.S Laksana.