Kamis, 21 November 2013

Kamisan #9 Meteor - Berkah Hari Jumat Dan Tuah Bintang Jatuh



Bolehkah bila kubilang aku sebenarnya hampir putus asa kala aku memulai tulisan ini? Ya, lebih baik aku beritahukan lebih awal sebelum kalian memutuskan hendak membaca tulisan ini lebih lanjut. Aku sedang tidak tahu akan menulis tentang apa saat ini. Maka, maklum dari kalian barangkali adalah semacam keberuntungan bagiku. Setidaknya mengurangi sedikit rasa maluku.

Jam digital di ruang tunggu bandara Adisucipto memberitahukan waktu sudah pukul 20.44 WIB, warnanya merah tua. Sudah hampir dua jam lewat dari jadwal semula yang tertera di kertas tiket di tanganku. Muka-muka lelah di sekitarku tak meninggalkan bekas kebaikan maskapai penerbangan yang telah menyogok penumpang terlantar dengan sebuah nasi kotak berisi gundukan kecil nasi yang mampat terbentuk ke dalam cetakan mangkuk dan sepotong ayam goreng tepung yang garing serta sebungkus saus sambal yang biasanya aku sukai.

Aku sedang membaca sebuah buku kumpulan cerpen yang baru saja kubeli siang tadi, sesaat sebelum aku berangkat, tepat seperti biasa aku lakukan ketika pulang kampung, berbelanja buku demi menjaga stok buku bacaanku selama nanti aku terasing dari buku-buku yang aku senangi, ketika kemudian perhatianku teralihkan dari rangkaian kata di kertas berkualitas baik yang menyenangkan mata kepada sesosok perempuan berkulit bersih tak jauh dari tempat aku duduk. Ada sekitar tiga ubin keramik putih yang membentangkan jarak di antara kami, sehingga memberiku kedok untuk bersembunyi dari mencuri pandang ke arah lehernya yang tidak tertutup kerah pendek bajunya. Kulitnya cerah, menggiurkan seperti langit biru yang menggoda untuk dipandang.

Hari ini hari kamis, malam jumat, malam di mana banyak orang menjadi orang yang taat beribadah demi menunaikan sunah Rasul. Malam jumat adalah hari yang indah dalam agama islam bagi sepasang suami istri. Malam jumat, dalam kalender jawa dan islam, sudah boleh disebut hari jumat. Tentu saja, seperti kalian ketahui, hari jumat adalah hari yang penuh berkah. Aku sedang memandang lapisan langit di luar sana, langit yang dipisahkan dariku oleh sebaris kaca yang tak tampak olehku. Khusuk sekali aku memandang hamparan langit itu seolah aku yakin bisa menemukan Tuhanku di luar sana, meminta bukti bahwa hari jumat adalah hari penuh keajaiban. Lalu selarik cahaya panjang melintas, tertangkap oleh mataku yang sedang melamun. Bintang jatuh, di satu pihak disebutkan sebagai pertanda Tuhan yang sedang melempar setan, dan di pihak lain banyak yang berpendapat bahwa bintang jatuh adalah saat yang tepat untuk membuat permohonan, sebuah doa yang konon lebih mungkin terkabul saat dibuat ketika kita melihat bintang jatuh. Sesungguhnya aku tahu bintang jatuh hanyalah meteor yang melintas dan bersinggungan dengan lapisan atmosfer bumi, yang dari gesekannya membuat meteor tersebut tampak bercahaya. Namun, sebagai orang hampir putus asa, tidak bolehkah aku terlalu berharap pada hari jumat penuh berkah dan kekuatan mitos bintang jatuh agar terjadi sebuah keajaiban?

Kemudian, salahkah jika akalku yang sejak awal tadi sudah kujelaskan sedang dalam keadaan tanpa harapan lalu dengan sendirinya menciptakan sebuah upaya untuk membuat aku mempercayai masih ada sedikit harapan buatku? Maka tanpa prasangka sedikitpun aku memutuskan membuat doa, atau sebut saja khayalan akan kebahagian, dan meyakini bahwa perempuan berambut ikal yang menutupi bidang bahunya tetapi secara ceroboh memamerkan ceruk melintang yang terbentuk dari lapisan lemak yang menunjukkan isi sebagian badannya yang terawat itu sebagai perempuan yang dulu, di masa yang telah lalu, bahkan mungkin pada kehidupan yang lain, adalah seorang perempuan yang pernah memelukku dan memanggilku dengan panggilan kekasih yang nyaman di telinga.

Maka menjadi wajar ketika muncul keinginan untuk mengatakan padanya bahwa dia adalah kekasihku di masa lalu, di kehidupan yang sebelum ini. Tapi, lalu lalang orang banyak, dan keramaian yang mengelilingiku memaksaku menabung keinginan untuk mengucapkan kalimat itu. Satu-satunya kemungkinan terburuk yang menghalangiku adalah rasa malu yang menumpuk di mukaku jika tanggapan perempuan itu tidaklah seperti yang aku angankan. Bayang rasa malu itu cukup bagiku untuk tidak melakukan hal yang seolah konyol itu.

Namun, berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh sepertinya tidak mengijinkan aku untuk berdiam diri. Setelah berusaha keras untuk menahan diri dan menyamankan diri agar aku tidak menyesal saat tak mengucapkan rangkaian kata manis yang tertera di pikiranku, tiba-tiba sesuatu yang kupaksakan untuk kuyakini itu kini tampak mengejekku, menimbulkan keraguan padaku dalam cara yang konyol, kalau tidak boleh aku sebut sebagai kebetulan yang biasa sekali terjadi dalam setiap jenis kehidupan seseorang. Perempuan yang mengenakan cardigan hitam itu duduk di baris yang sama denganku. Kenyataan bahwa ia duduk di kursi 24A di samping jendela dan aku duduk di kursi 24C di sebelah gang dalam kabin pesawat serta tidak adanya orang yang duduk di kursi 24B yang menghalangi kami, secara sadar membuat aku kembali meninjau keputusanku.

Lalu, saat perempuan berbibir penuh itu, entah sengaja atau tidak, menoleh ke arahku, secara spontan sesudah mengumpulkan secuil keberanian yang diperlukan, akupun menyapanya. “Di masa lalu, kita adalah sepasang kekasih.” Ujarku dengan suara datar yang tak kupaksa sedemikian rupa agar terdengar seolah aku tak mengharapkan reaksi apapun, demi terlihat meyakinkan di mata perempuan yang hidungnya menempel serasi di antara pipi-pipinya yang gemuk.

“Benarkah?” sahut perempuan bersuara seperti anak kecil itu setelah cukup lama memandangiku. Aku kemudian merasa kian yakin bahwa berkah malam jumat dan tuah bintang jatuh sedang bekerja.

“Tentu saja,” aku tak bersedia memberi ruang pada ragu untuk menyerang pikiran perempuan yang masih menoleh padaku itu “kau bisa percaya padaku, sepasang kekasih tak mungkin berbohong.”

Pada kesempatan ini percakapan mengalir begitu mudah. Sungguh, demi hormatku pada kalian sebaiknya aku tak terlalu banyak bercerita secara detail tentang apa yang kami bicarakan. Yang pasti, kami sedikit sekali berbicara tentang diri kami. Kami lebih banyak berbicara tentang hal-hal yang berkenaan dengan alasan perjalanan kami ke Balikpapan serta kronologi keberangkatan kami dari rumah ke bandara hingga tersesat dalam lelah karena kebosanan yang sangat ketika dipaksa harus menunggu pesawat yang akan kami tumpangi. Begitu larutnya dalam perbincangan, yang kian meyakinkanku akan doa atau khayalan yang terwujud karena berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh, aku belum sempat menanyakan nama perempuan berdagu mancung itu, bahkan sampai pesawat mendarat di bandara Sepinggan dengan goncangan yang mengagetkan.

Sebelum aku melepas sabuk pengaman dan berdiri dari dudukku, aku kemudian bermaksud menanyakan sedikit identitas dirinya agar bisa tetap terhubung dengan perempuan sederhana yang bahkan tak mewarnai bibirnya yang berwarna coklat pucat itu. “Jadi, sebelum kita berpisah, bolehkah aku tahu siapa namamu?”

Perempuan itu tersenyum ramah padaku, sudut-sudut matanya berkerut membentuk lipatan kecil yang mempercantik bola matanya yang hitam dan sendu. “Kau sungguh tak mengenaliku, ya?” perempuan itu terdengar meyakinkan.

Aku menarik kepalaku ke belakang, mengamatinya lebih seksama. Aku masih heran saat ia melanjutkan. “Menyedihkan sekali! Kau bahkan tidak pernah mengingatku sama sekali.” perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku Elly, teman SMP-mu yang sering mengerjakan PR-mu.” Elly mengambil jeda, menarik bibirnya untuk memamerkan senyum yang tak lagi nyaman dilihat. “Aku pernah menaruh rasa padamu, dulu,” Elly menekan suaranya pada kata terakhir “kesempatanmu sudah lewat. Sayang sekali.” Elly berdiri dari duduknya, tanpa permisi melewatiku yang masih duduk, memberikan aku pantatnya untuk kucium. [ ]



*tulisan ini terinspirasi dari cerpen ‘Perempuan Dari Masa Lalu’ – A.S Laksana.
*Di masa lalu, kita adalah sepasang kekasih ~ dikutip dari ‘Perempuan Dari Masa Lalu’ – A.S Laksana.

2 komentar:

  1. Nggak ada komentar lain selain aku iri dengan kepiawaianmu menulis. Ditulisan, aku seperti menemukan dirimu yang lain bukan yang selama ini aku kenal. Oh iya, atau mungkin saja aku memang belum mengenalmu begitu baik. Apapun itu, kekuatan membaca adalah benar adanya. Tulisanmu membuktikannya sendiri.

    Aku nggak tahu intensitas menulismu selama ini, tapi melihat perkembangan sampai ke Kamisan #9 ini. di awal-awal aku merasa bahwa kam terlalu menjejalkan banyak frasa di kalimatmu (mungkin efek dari bacaanmu yang melimpah) namun tak jarang itu malah terkesan menganggu. Tapi bisa saja itu hanya kegagapan di masa-masa awal untuk bisa rutin menulis karna, seperti yang kukatakan di awal, tulisanmu semakin baik dan malah membuatku sangat iri.

    Keep nulis!

    BalasHapus
    Balasan
    1. ah sebenarnya tulisan ini sekedar pelarian dari jalan buntu aja ar, lebih ke faktor buku murjangkung yang mempengaruhi tulisan ini :D

      Hapus