Bolehkah
bila kubilang aku sebenarnya hampir putus asa kala aku memulai tulisan ini? Ya,
lebih baik aku beritahukan lebih awal sebelum kalian memutuskan hendak membaca
tulisan ini lebih lanjut. Aku sedang tidak tahu akan menulis tentang apa saat
ini. Maka, maklum dari kalian barangkali adalah semacam keberuntungan bagiku. Setidaknya
mengurangi sedikit rasa maluku.
Jam
digital di ruang tunggu bandara Adisucipto memberitahukan waktu sudah pukul
20.44 WIB, warnanya merah tua. Sudah hampir dua jam lewat dari jadwal semula
yang tertera di kertas tiket di tanganku. Muka-muka lelah di sekitarku tak
meninggalkan bekas kebaikan maskapai penerbangan yang telah menyogok penumpang
terlantar dengan sebuah nasi kotak berisi gundukan kecil nasi yang mampat
terbentuk ke dalam cetakan mangkuk dan sepotong ayam goreng tepung yang garing
serta sebungkus saus sambal yang biasanya aku sukai.
Aku
sedang membaca sebuah buku kumpulan cerpen yang baru saja kubeli siang tadi,
sesaat sebelum aku berangkat, tepat seperti biasa aku lakukan ketika pulang
kampung, berbelanja buku demi menjaga stok buku bacaanku selama nanti aku
terasing dari buku-buku yang aku senangi, ketika kemudian perhatianku
teralihkan dari rangkaian kata di kertas berkualitas baik yang menyenangkan
mata kepada sesosok perempuan berkulit bersih tak jauh dari tempat aku duduk. Ada
sekitar tiga ubin keramik putih yang membentangkan jarak di antara kami,
sehingga memberiku kedok untuk bersembunyi dari mencuri pandang ke arah
lehernya yang tidak tertutup kerah pendek bajunya. Kulitnya cerah, menggiurkan
seperti langit biru yang menggoda untuk dipandang.
Hari
ini hari kamis, malam jumat, malam di mana banyak orang menjadi orang yang taat
beribadah demi menunaikan sunah Rasul. Malam jumat adalah hari yang indah dalam
agama islam bagi sepasang suami istri. Malam jumat, dalam kalender jawa dan
islam, sudah boleh disebut hari jumat. Tentu saja, seperti kalian ketahui, hari
jumat adalah hari yang penuh berkah. Aku sedang memandang lapisan langit di
luar sana, langit yang dipisahkan dariku oleh sebaris kaca yang tak tampak
olehku. Khusuk sekali aku memandang hamparan langit itu seolah aku yakin bisa
menemukan Tuhanku di luar sana, meminta bukti bahwa hari jumat adalah hari
penuh keajaiban. Lalu selarik cahaya panjang melintas, tertangkap oleh mataku
yang sedang melamun. Bintang jatuh, di satu pihak disebutkan sebagai pertanda
Tuhan yang sedang melempar setan, dan di pihak lain banyak yang berpendapat
bahwa bintang jatuh adalah saat yang tepat untuk membuat permohonan, sebuah doa
yang konon lebih mungkin terkabul saat dibuat ketika kita melihat bintang
jatuh. Sesungguhnya aku tahu bintang jatuh hanyalah meteor yang melintas dan
bersinggungan dengan lapisan atmosfer bumi, yang dari gesekannya membuat meteor
tersebut tampak bercahaya. Namun, sebagai orang hampir putus asa, tidak
bolehkah aku terlalu berharap pada hari jumat penuh berkah dan kekuatan mitos
bintang jatuh agar terjadi sebuah keajaiban?
Kemudian,
salahkah jika akalku yang sejak awal tadi sudah kujelaskan sedang dalam keadaan
tanpa harapan lalu dengan sendirinya menciptakan sebuah upaya untuk membuat aku
mempercayai masih ada sedikit harapan buatku? Maka tanpa prasangka sedikitpun
aku memutuskan membuat doa, atau sebut saja khayalan akan kebahagian, dan
meyakini bahwa perempuan berambut ikal yang menutupi bidang bahunya tetapi
secara ceroboh memamerkan ceruk melintang yang terbentuk dari lapisan lemak
yang menunjukkan isi sebagian badannya yang terawat itu sebagai perempuan yang
dulu, di masa yang telah lalu, bahkan mungkin pada kehidupan yang lain, adalah
seorang perempuan yang pernah memelukku dan memanggilku dengan panggilan
kekasih yang nyaman di telinga.
Maka
menjadi wajar ketika muncul keinginan untuk mengatakan padanya bahwa dia adalah
kekasihku di masa lalu, di kehidupan yang sebelum ini. Tapi, lalu lalang orang
banyak, dan keramaian yang mengelilingiku memaksaku menabung keinginan untuk
mengucapkan kalimat itu. Satu-satunya kemungkinan terburuk yang menghalangiku
adalah rasa malu yang menumpuk di mukaku jika tanggapan perempuan itu tidaklah
seperti yang aku angankan. Bayang rasa malu itu cukup bagiku untuk tidak
melakukan hal yang seolah konyol itu.
Namun,
berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh sepertinya tidak mengijinkan aku untuk
berdiam diri. Setelah berusaha keras untuk menahan diri dan menyamankan diri
agar aku tidak menyesal saat tak mengucapkan rangkaian kata manis yang tertera
di pikiranku, tiba-tiba sesuatu yang kupaksakan untuk kuyakini itu kini tampak
mengejekku, menimbulkan keraguan padaku dalam cara yang konyol, kalau tidak
boleh aku sebut sebagai kebetulan yang biasa sekali terjadi dalam setiap jenis
kehidupan seseorang. Perempuan yang mengenakan cardigan hitam itu duduk di baris yang sama denganku. Kenyataan bahwa
ia duduk di kursi 24A di samping jendela dan aku duduk di kursi 24C di sebelah
gang dalam kabin pesawat serta tidak adanya orang yang duduk di kursi 24B yang
menghalangi kami, secara sadar membuat aku kembali meninjau keputusanku.
Lalu,
saat perempuan berbibir penuh itu, entah sengaja atau tidak, menoleh ke arahku,
secara spontan sesudah mengumpulkan secuil keberanian yang diperlukan, akupun menyapanya.
“Di masa lalu, kita adalah sepasang kekasih.” Ujarku dengan suara datar yang
tak kupaksa sedemikian rupa agar terdengar seolah aku tak mengharapkan reaksi
apapun, demi terlihat meyakinkan di mata perempuan yang hidungnya menempel
serasi di antara pipi-pipinya yang gemuk.
“Benarkah?”
sahut perempuan bersuara seperti anak kecil itu setelah cukup lama
memandangiku. Aku kemudian merasa kian yakin bahwa berkah malam jumat dan tuah
bintang jatuh sedang bekerja.
“Tentu
saja,” aku tak bersedia memberi ruang pada ragu untuk menyerang pikiran
perempuan yang masih menoleh padaku itu “kau bisa percaya padaku, sepasang
kekasih tak mungkin berbohong.”
Pada
kesempatan ini percakapan mengalir begitu mudah. Sungguh, demi hormatku pada
kalian sebaiknya aku tak terlalu banyak bercerita secara detail tentang apa
yang kami bicarakan. Yang pasti, kami sedikit sekali berbicara tentang diri
kami. Kami lebih banyak berbicara tentang hal-hal yang berkenaan dengan alasan
perjalanan kami ke Balikpapan serta kronologi keberangkatan kami dari rumah ke
bandara hingga tersesat dalam lelah karena kebosanan yang sangat ketika dipaksa
harus menunggu pesawat yang akan kami tumpangi. Begitu larutnya dalam
perbincangan, yang kian meyakinkanku akan doa atau khayalan yang terwujud
karena berkah hari jumat dan tuah bintang jatuh, aku belum sempat menanyakan
nama perempuan berdagu mancung itu, bahkan sampai pesawat mendarat di bandara
Sepinggan dengan goncangan yang mengagetkan.
Sebelum
aku melepas sabuk pengaman dan berdiri dari dudukku, aku kemudian bermaksud
menanyakan sedikit identitas dirinya agar bisa tetap terhubung dengan perempuan
sederhana yang bahkan tak mewarnai bibirnya yang berwarna coklat pucat itu. “Jadi,
sebelum kita berpisah, bolehkah aku tahu siapa namamu?”
Perempuan
itu tersenyum ramah padaku, sudut-sudut matanya berkerut membentuk lipatan
kecil yang mempercantik bola matanya yang hitam dan sendu. “Kau sungguh tak
mengenaliku, ya?” perempuan itu terdengar meyakinkan.
Aku
menarik kepalaku ke belakang, mengamatinya lebih seksama. Aku masih heran saat
ia melanjutkan. “Menyedihkan sekali! Kau bahkan tidak pernah mengingatku sama
sekali.” perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aku Elly, teman SMP-mu
yang sering mengerjakan PR-mu.” Elly mengambil jeda, menarik bibirnya untuk
memamerkan senyum yang tak lagi nyaman dilihat. “Aku pernah menaruh rasa
padamu, dulu,” Elly menekan suaranya pada kata terakhir “kesempatanmu sudah
lewat. Sayang sekali.” Elly berdiri dari duduknya, tanpa permisi melewatiku
yang masih duduk, memberikan aku pantatnya untuk kucium. [ ]
*tulisan
ini terinspirasi dari cerpen ‘Perempuan Dari Masa Lalu’ – A.S Laksana.
*Di
masa lalu, kita adalah sepasang kekasih ~ dikutip dari ‘Perempuan Dari Masa
Lalu’ – A.S Laksana.
Nggak ada komentar lain selain aku iri dengan kepiawaianmu menulis. Ditulisan, aku seperti menemukan dirimu yang lain bukan yang selama ini aku kenal. Oh iya, atau mungkin saja aku memang belum mengenalmu begitu baik. Apapun itu, kekuatan membaca adalah benar adanya. Tulisanmu membuktikannya sendiri.
BalasHapusAku nggak tahu intensitas menulismu selama ini, tapi melihat perkembangan sampai ke Kamisan #9 ini. di awal-awal aku merasa bahwa kam terlalu menjejalkan banyak frasa di kalimatmu (mungkin efek dari bacaanmu yang melimpah) namun tak jarang itu malah terkesan menganggu. Tapi bisa saja itu hanya kegagapan di masa-masa awal untuk bisa rutin menulis karna, seperti yang kukatakan di awal, tulisanmu semakin baik dan malah membuatku sangat iri.
Keep nulis!
ah sebenarnya tulisan ini sekedar pelarian dari jalan buntu aja ar, lebih ke faktor buku murjangkung yang mempengaruhi tulisan ini :D
Hapus