Hari
yang tadinya panas tiba-tiba hujan. Aku berlari keluar lapangan, meninggalkan
teman-teman sepermaianku yang tetap melanjutkan bermain bola di belakang sana.
Aku berteduh di bawah emperan rumah mbah Karto, mengerutkan diri sejauh mungkin
dari percikan air hujan. Dengan melipatkan tangan di depan dada, aku terpana
menatap kegembiraan teman-temanku merayakan hujan sambil bermain bola di atas
lapangan tanah yang kemudian berlumpur. Masih ada sembilan orang yang
berteriak-teriak meminta bola di sana. Selain aku, ada dua orang lain yang
terbirit-birit menghindari hujan. Anto dan ali, mereka itu masuk ke rumah
masing-masing. Kembali pada ibu-ibu mereka.
Hujan
makin menjadi. Sementara keringat di dahiku belum sempat tumbuh, Cuma
mengilapkan kulit coklatku saja. Kemudian iri dengan cepat memuati diri, berat
seperti awan hitam yang mengandung air tapi belum menjadi hujan. Debu sisa
tanah di lututku tampak cengeng, seperti merengek minta dikembalikan ke
lapangan sana. Tapi bengek yang lembek mengekangku dari keinginan. Aku terbenak
pada kemarahan dan kesusahan yang akan ibu tanggung bila aku memaksakan diri.
Bola
plastik yang bocor meluncur kepayahan dihadang rintik hujan, jatuh di luar
lantai semen, tak jauh dariku. Teman-temanku berteriak membujukku mengembalikan
bola itu ke tengah lapangan. Kutatap bola itu dengan ragu. Bentuknya yang bulat
dengan mudah menyaru selayaknya wajah yang meledekku. Aku kalap. Kutendang bola
itu ke tengah lapangan, dan kukejar, masuk ke arena berlumpur; lupa akan
bayangan Ibu.
Air
hujan menggenang di bagian yang cekung, menciptakan keceriaan yang tumpah ruah
saat bola mampir ke sana. Air coklat di tendang. Adi mengusap-usap wajahnya,
mengerjapkan matanya cepat sebelum tertawa dan membalas siapa saja yang
berkubang di sana. Aku melonjak dan menghentakkan kedua kaki demi membuat riak
air besar yang akan mengenai semua temanku, lalu aku lari membawa bola sebelum
siapapun sempat membalasku. Lalu tiba-tiba petir muncul, tangannya yang kurus
dan bercahaya menyeruak dari kolong langit, seolah hendak meraih apapun atau
siapapun yang sanggup ia raih. Suaranya yang memekakkan telinga mengagetkan
aku, dan teman-temanku. Kami serentak tiarap, tanpa suara, dengan kedua tangan
menutupi daun telinga. Kemudian semua bubar, lari menghambur ke rumah
masing-masing.
Aku
bangun, sendirian, tiba-tiba rasa takut mencengkeram tengkukku. Dingin mulai
menyerang dadaku. Sekonyong-konyong aku teringat ibu. Aku berlari menuju rumah,
lekas, tak peduli pada hujan. Di belokan terakhir aku terjatuh, pikiranku penuh
duga dan alasan yang sengaja kusiapkan bila diperlukan. Lututku berdarah, bercampur
tanah, tapi tak kuhiraukan. Aku terus berlari.
Pintu
rumah masih tertutup. Ibu belum pulang. Aku pergi ke sumur cepat-cepat. Kurendam
baju-baju kotorku. Menimba air dari sumur, kusiram lantai dari noda bercak
tanah. Selesai mandi, kukerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah agar ibu senang;
mencuci piring, menyapu, memasak nasi, mengisi gentong dengan air sumur,
memasak air panas, serta mencuci baju kotorku tadi siang. Selesai semua itu,
ibu masih belum pulang.
Aku
hampir lega, saat mendadak nafasku mulai berat. Tentu saja aku tidak bisa
berbohong kalau sesak nafasku kambuh. Ibu pasti tahu aku habis bermain hujan. Aku
ke dapur, menyeduh teh. lalu menenggaknya panas-panas. Perlahan hangat mulai
menyusupi dadaku, sedikit meringankan tarikan nafasku.
Pintu
depan terbuka, Ibu muncul sambil membawa plastik besar ditangannya. Wajah Ibu
yang lelah memandangiku seksama. Bulir air hujan menetes dari ujung rambutnya
yang basah. Bajunya turut basah sebagian, pasti Ibu berlari juga untuk
menghindari air hujan. Tanpa berkata apapun Ibu pergi ke belakang setelah
meletakkan plastik hitam bawaannya di atas meja, tak jauh di depanku. Hendak sekali
memeriksanya, tapi urung.
Ibu
muncul dengan handuk yang dililitkan di atas kepalanya dan segelas teh hangat. Aku
berusaha keras menahan nafasku sebiasa mungkin saat Ibu mengambil duduk di
sebelahku. Ibu memegang dahiku sesudah meletakkan gelas teh di depanku. Kemudian,
masih tanpa kata-kata ibu mengeluarkan kumpulan majalah Bobo dan Donald Bebek
serta Asterix dan obelix. Majalah-majalah itu compang-camping, majalah bekas milik anak majikan Ibu, tetapi tetap saja tampak menggiurkan buatku.
“nih
baca, biar gak bosan diam di rumah.” Yang aku dengar adalah ‘nih baca, dan
jangan main hujan lagi.’
Aku
tersenyum. Ibu tahu aku habis bermain hujan-hujanan, tapi aku tidak khawatir. Untuk
kali ini. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar