Kamis, 14 November 2013

kamisan #8 masa kecil - perkenalan pertama


Hari yang tadinya panas tiba-tiba hujan. Aku berlari keluar lapangan, meninggalkan teman-teman sepermaianku yang tetap melanjutkan bermain bola di belakang sana. Aku berteduh di bawah emperan rumah mbah Karto, mengerutkan diri sejauh mungkin dari percikan air hujan. Dengan melipatkan tangan di depan dada, aku terpana menatap kegembiraan teman-temanku merayakan hujan sambil bermain bola di atas lapangan tanah yang kemudian berlumpur. Masih ada sembilan orang yang berteriak-teriak meminta bola di sana. Selain aku, ada dua orang lain yang terbirit-birit menghindari hujan. Anto dan ali, mereka itu masuk ke rumah masing-masing. Kembali pada ibu-ibu mereka.

Hujan makin menjadi. Sementara keringat di dahiku belum sempat tumbuh, Cuma mengilapkan kulit coklatku saja. Kemudian iri dengan cepat memuati diri, berat seperti awan hitam yang mengandung air tapi belum menjadi hujan. Debu sisa tanah di lututku tampak cengeng, seperti merengek minta dikembalikan ke lapangan sana. Tapi bengek yang lembek mengekangku dari keinginan. Aku terbenak pada kemarahan dan kesusahan yang akan ibu tanggung bila aku memaksakan diri.

Bola plastik yang bocor meluncur kepayahan dihadang rintik hujan, jatuh di luar lantai semen, tak jauh dariku. Teman-temanku berteriak membujukku mengembalikan bola itu ke tengah lapangan. Kutatap bola itu dengan ragu. Bentuknya yang bulat dengan mudah menyaru selayaknya wajah yang meledekku. Aku kalap. Kutendang bola itu ke tengah lapangan, dan kukejar, masuk ke arena berlumpur; lupa akan bayangan Ibu.

Air hujan menggenang di bagian yang cekung, menciptakan keceriaan yang tumpah ruah saat bola mampir ke sana. Air coklat di tendang. Adi mengusap-usap wajahnya, mengerjapkan matanya cepat sebelum tertawa dan membalas siapa saja yang berkubang di sana. Aku melonjak dan menghentakkan kedua kaki demi membuat riak air besar yang akan mengenai semua temanku, lalu aku lari membawa bola sebelum siapapun sempat membalasku. Lalu tiba-tiba petir muncul, tangannya yang kurus dan bercahaya menyeruak dari kolong langit, seolah hendak meraih apapun atau siapapun yang sanggup ia raih. Suaranya yang memekakkan telinga mengagetkan aku, dan teman-temanku. Kami serentak tiarap, tanpa suara, dengan kedua tangan menutupi daun telinga. Kemudian semua bubar, lari menghambur ke rumah masing-masing.

Aku bangun, sendirian, tiba-tiba rasa takut mencengkeram tengkukku. Dingin mulai menyerang dadaku. Sekonyong-konyong aku teringat ibu. Aku berlari menuju rumah, lekas, tak peduli pada hujan. Di belokan terakhir aku terjatuh, pikiranku penuh duga dan alasan yang sengaja kusiapkan bila diperlukan. Lututku berdarah, bercampur tanah, tapi tak kuhiraukan. Aku terus berlari.

Pintu rumah masih tertutup. Ibu belum pulang. Aku pergi ke sumur cepat-cepat. Kurendam baju-baju kotorku. Menimba air dari sumur, kusiram lantai dari noda bercak tanah. Selesai mandi, kukerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah agar ibu senang; mencuci piring, menyapu, memasak nasi, mengisi gentong dengan air sumur, memasak air panas, serta mencuci baju kotorku tadi siang. Selesai semua itu, ibu masih belum pulang.

Aku hampir lega, saat mendadak nafasku mulai berat. Tentu saja aku tidak bisa berbohong kalau sesak nafasku kambuh. Ibu pasti tahu aku habis bermain hujan. Aku ke dapur, menyeduh teh. lalu menenggaknya panas-panas. Perlahan hangat mulai menyusupi dadaku, sedikit meringankan tarikan nafasku.

Pintu depan terbuka, Ibu muncul sambil membawa plastik besar ditangannya. Wajah Ibu yang lelah memandangiku seksama. Bulir air hujan menetes dari ujung rambutnya yang basah. Bajunya turut basah sebagian, pasti Ibu berlari juga untuk menghindari air hujan. Tanpa berkata apapun Ibu pergi ke belakang setelah meletakkan plastik hitam bawaannya di atas meja, tak jauh di depanku. Hendak sekali memeriksanya, tapi urung.

Ibu muncul dengan handuk yang dililitkan di atas kepalanya dan segelas teh hangat. Aku berusaha keras menahan nafasku sebiasa mungkin saat Ibu mengambil duduk di sebelahku. Ibu memegang dahiku sesudah meletakkan gelas teh di depanku. Kemudian, masih tanpa kata-kata ibu mengeluarkan kumpulan majalah Bobo dan Donald Bebek serta Asterix dan obelix. Majalah-majalah itu compang-camping, majalah bekas milik anak majikan Ibu, tetapi tetap saja tampak menggiurkan buatku.

“nih baca, biar gak bosan diam di rumah.” Yang aku dengar adalah ‘nih baca, dan jangan main hujan lagi.’

Aku tersenyum. Ibu tahu aku habis bermain hujan-hujanan, tapi aku tidak khawatir. Untuk kali ini. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar