Kamis, 28 November 2013

kamisan #10 semut - Semut Naif



“Gawat, tampaknya sebentar lagi akan hujan.” ujarku saat melihat gugusan awan yang sibuk berduyun-duyun datang dari utara. Di luar, pada tali jemuran yang melengkung, tergantung seragam sekolah Dewi, anak kecil yang suka menyisihkan rotinya untukku, meskipun itu lebih karena Dewi tak pernah menyukai roti bekal makan siangnya itu.

Melihat itu, aku segera menjatuhkan butiran roti di bahuku dan mengejar semut Cak. “Cak, kita harus menghentikan sebentar pengumpulan makanan kita.” Tukasku sambil menghadang jalan Cak.

“Apa maksudmu, Bon?” sahut Cak dengan nada suara yang tinggi. “koloni kita bakal kelaparan kalau kita tidak bekerja mengumpulkan makanan.”

“Bukan begitu, Cak. Tapi lihat awan dari utara itu, dan angin yang lembab ini,  sebentar lagi pasti turun hujan.”

“Justru itu kita seharusnya mempercepat kerja kita agar bisa lebih cepat selesai memindahkan roti yang dibuang Dewi ke sarang kita.” potong Cak cepat dengan suara yang lebih tegas.

“Tapi, Cak, lihat itu,” aku menunjuk seragam Dewi yang masih tergantung di tali jemuran. “kalau seragam itu kehujanan dan Dewi besok tidak masuk sekolah karena seragamnya basah maka kita tidak akan mendapatkan roti bekal makan siang yang dibuang Dewi.”

“Ya, Bon benar Cak.” timpal Jun yang berdiri di belakangku. Barisan semut yang sedari tadi berhenti bergerak karena jalur mereka aku potong kini bertambah gelisah.

Cak mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, tapi bagaimana kita memberitahu Bu Wulan?”

“Tidakkah kau pernah dengar cerita bahwa manusia mempunyai kepercayaan bahwa jika semut berkerumun tanpa adanya gula atau makanan itu adalah sebuah pertanda akan turun hujan?” ujar Dob tiba-tiba. Sebagai semut yang paling berumur tentu saja ucapan Dob dipercaya oleh semut-semut yang lain.

‘Apa kau yakin dengan yang kau ketahui itu, Dob?” tanya Cak untuk meyakinkan diri.

“Tentu saja.” jawab Dob tanpa keraguan.

“Baiklah kalau begitu. Ayo semua ikuti aku. Kita harus memastikan Bu Wulan melihat kita berkerumun, tapi kita juga harus menjaga jarak dari jangkaun Bu Wulan agar kita punya kesempatan untuk menyelamatkan diri sekiranya ada hal yang tidak kita inginkan terjadi.”

Cak berjalan paling depan. Cak memutuskan untuk masuk dari pintu samping, dikuti oleh semua kawananku. Setelah melewati celah bagian bawah pintu samping, Cak memberi isyarat dengan kaki depannya. Bu Wulan sedang duduk di ruang tengah, sedang menonton televisi.

“Bon, pancinglah agar Bu Wulan melihat kemari. Kami akan berkerumun di sini. Hati-hati.” pesan Cak sebelum aku meninggalkan koloniku.

Dengan cemas yang mengiringi, aku pun berjalan cepat mengikuti alur semen hitam yang tercipta di antara ubin keramik. Saat hendak mencapai pinggiran karpet tempat Bu Wulan duduk, tiba-tiba aku merasakan keramik yang aku pijak berdebum. Sebuah kaki raksasa jatuh di sampingku, hampir saja menindas tubuhku. Sambil meletakkan kedua kaki depanku ke atas kepala dalam usaha melindungi diri yang sia-sia, aku melihat Pak Agus berjalan melintasiku. Pak agus menghampiri koloniku, dari jauh aku diam melihat Pak Agus menyemprotkan semacam cairan putih yang kemudian membinasakan seluruh koloniku. [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar