“Gawat,
tampaknya sebentar lagi akan hujan.” ujarku saat melihat gugusan awan yang
sibuk berduyun-duyun datang dari utara. Di luar, pada tali jemuran yang
melengkung, tergantung seragam sekolah Dewi, anak kecil yang suka menyisihkan
rotinya untukku, meskipun itu lebih karena Dewi tak pernah menyukai roti bekal makan
siangnya itu.
Melihat
itu, aku segera menjatuhkan butiran roti di bahuku dan mengejar semut Cak. “Cak,
kita harus menghentikan sebentar pengumpulan makanan kita.” Tukasku sambil
menghadang jalan Cak.
“Apa
maksudmu, Bon?” sahut Cak dengan nada suara yang tinggi. “koloni kita bakal
kelaparan kalau kita tidak bekerja mengumpulkan makanan.”
“Bukan
begitu, Cak. Tapi lihat awan dari utara itu, dan angin yang lembab ini, sebentar lagi pasti turun hujan.”
“Justru
itu kita seharusnya mempercepat kerja kita agar bisa lebih cepat selesai
memindahkan roti yang dibuang Dewi ke sarang kita.” potong Cak cepat dengan
suara yang lebih tegas.
“Tapi,
Cak, lihat itu,” aku menunjuk seragam Dewi yang masih tergantung di tali
jemuran. “kalau seragam itu kehujanan dan Dewi besok tidak masuk sekolah karena
seragamnya basah maka kita tidak akan mendapatkan roti bekal makan siang yang
dibuang Dewi.”
“Ya,
Bon benar Cak.” timpal Jun yang berdiri di belakangku. Barisan semut yang
sedari tadi berhenti bergerak karena jalur mereka aku potong kini bertambah
gelisah.
Cak
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, tapi bagaimana kita memberitahu Bu Wulan?”
“Tidakkah
kau pernah dengar cerita bahwa manusia mempunyai kepercayaan bahwa jika semut
berkerumun tanpa adanya gula atau makanan itu adalah sebuah pertanda akan turun
hujan?” ujar Dob tiba-tiba. Sebagai semut yang paling berumur tentu saja ucapan
Dob dipercaya oleh semut-semut yang lain.
‘Apa
kau yakin dengan yang kau ketahui itu, Dob?” tanya Cak untuk meyakinkan diri.
“Tentu
saja.” jawab Dob tanpa keraguan.
“Baiklah kalau begitu. Ayo semua ikuti aku. Kita harus memastikan Bu Wulan melihat kita berkerumun,
tapi kita juga harus menjaga jarak dari jangkaun Bu Wulan agar kita punya
kesempatan untuk menyelamatkan diri sekiranya ada hal yang tidak kita inginkan
terjadi.”
Cak
berjalan paling depan. Cak memutuskan untuk masuk dari pintu samping, dikuti
oleh semua kawananku. Setelah melewati celah bagian bawah pintu samping, Cak
memberi isyarat dengan kaki depannya. Bu Wulan sedang duduk di ruang tengah,
sedang menonton televisi.
“Bon,
pancinglah agar Bu Wulan melihat kemari. Kami akan berkerumun di sini. Hati-hati.”
pesan Cak sebelum aku meninggalkan koloniku.
Dengan
cemas yang mengiringi, aku pun berjalan cepat mengikuti alur semen hitam yang
tercipta di antara ubin keramik. Saat hendak mencapai pinggiran karpet tempat
Bu Wulan duduk, tiba-tiba aku merasakan keramik yang aku pijak berdebum. Sebuah
kaki raksasa jatuh di sampingku, hampir saja menindas tubuhku. Sambil meletakkan
kedua kaki depanku ke atas kepala dalam usaha melindungi diri yang sia-sia, aku
melihat Pak Agus berjalan melintasiku. Pak agus menghampiri koloniku, dari jauh
aku diam melihat Pak Agus menyemprotkan semacam cairan putih yang kemudian
membinasakan seluruh koloniku. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar