Kamis, 20 Agustus 2015

Kamisan03 #15 Kentut




Tentu saja Pigor tidak akan menyerah. Kendati sebuah jalan naik di belakangnya hampir saja membuatnya pingsan. Mulutnya terbuka seperti mesin penyedot debu. Duduk ia memanjakan paru-parunya yang rakus menghidu udara. Kedua tangannya tertumpu di atas lutut. Pandangannya jauh ke depan mengukur tanah lapang di depan. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan, Pigor menoleh ke belakang.


Pertama kali Pigor bertemu dengan Sustri adalah saat ia tengah berbaring sambil membaca buku Life and Time of Michael K. Menjelang petang, 6 jam setelah Pigor keluar dari ruang operasi pengangkatan platina yang telah lebih dari setahun menopang tulang pahanya yang cuil di bagian persendian lutut.

“Wah ada seorang kutu buku rupanya.” ujar Sustri tanpa nada mengejek, disertai oleh seulas senyum ramah.

Pigor menurunkan bukunya sedikit, membalas senyum Sustri. Perempuan itu memperbaiki letak kacamatanya yang sesungguhnya tidak melorot sebelum menyuntikkan anti biotik di selang infus yang tersambung di pergelangan tangan kiri Pigor. “Pernah baca Coetzee?” tanya Pigor seusai sensasi dingin dan panas di pembuluh darahnya mereda.

“Hmmm... ya, aku menyukai ‘Disgrace’ dan percaya atau tidak, aku sedang mencari buku yang ada di tanganmu sekarang.”

Sustri merapikan botol kosong dan obat-obat di dalam plastik bening yang bertebaran di dalam nampan plastik berwarna hijau di atas kasur Pigor. Lelaki itu memandangi sampul bukunya sebentar lalu “Mau pinjam?”

“Ah...” sudut-sudut mata Sustri berkerut ketika ia menarik sudut-sudut bibirnya ke samping tanpa mengalihkan pandangannya dari alat suntik di tangannya. “menggiurkan sekali ya...” gumam Sustri seusai memasangkan tutup jarum suntik, lalu mengulurkan dua butir obat yang terbungkus plastik bening pada Pigor. 

“dan kamu tidak takut meminjamkan buku itu padaku?”

“Apakah aku harus khawatir padamu?”

Setelah diam sejenak, Sustri mengambil buku itu dari tangan Pigor dan menatap lama pada sampul belakang buku itu. “Bagaimana dengan luka operasimu? Ada keluhan?” Pigor menggeleng. “Baiklah kalau begitu, aku harus pergi.” katanya sambil menaruh buku itu di atas nampan obatnya.

“Kamu tahu kan kalau aku belum selesai membaca buku itu?”

Sebelum benar-benar menghilang ke balik pintu Sustri menyahut “Setiap senin, jam sepuluh pagi, biasanya aku pergi membaca buku di perpustakaan daerah.”


Sinar matahari yang jatuh di kakinya tak sedikitpun menciutkan niatnya. Nyeri di lutut kirinya sudah mereda. Langkahnya lebih ringan. Tanah datar, dengan di sana sini pohon tinggi kendati tidak terlalu rapat. Sepi, sekonyong-konyong Pigor disergap pikiran siapa yang akan menolongnya jika seandainya ia tiba-tiba terkapar? Lelaki itu meraba bekas luka operasinya yang masih baru sembuh. Namun ia tak surut.


Dua minggu lalu, di sebuah pagi yang masih muda, ketika luka operasinya sudah ia anggap kering benar, Pigor memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan daerah.
      
      Jam tangannya yang menutupi bekas jarum infus menunjukkan pukul 10 lebih 27 menit kala Pigor membuka pintu masuk perpustakaan. Ruangan itu luas dan dingin. rak-rak berdiri tegak seperti benteng, lebih mirip seperti bunker. Kursi dan meja mengkilat di tengah ruangan, banyak. Sustri ada di antaranya, satu-satunya, khidmat menekuri lembar halaman buku di depannya.

Pigor berkeliling membacai nama penulis dan judul di punggung buku, mencari sesuatu yang menarik minatnya. Di rak keempat, Pigor menimang sebuah buku Nadine Gordimer sebelum membawanya ke meja di depan Sustri. Pelan ia menarik kursi dan duduk dengan diam. Perempuan itu bahkan tidak menyadari keberadaannya yang sudah mulai membaca bagian pertama buku itu.

Sustri baru menyadari bahwa lelaki di depannya Pigor saat perempuan itu mengangkat bukunya dan menegakkan punggungnya. Ia berhenti membaca buku. Menunggu Pigor memergokinya yang ingin menyapa. Sustri melafalkan ‘hai’ tanpa suara. Lalu bibirnya yang tadi berkecumik tersenyum padanya. Setelah Pigor membalas senyumnya, Sustri kembali kepada bukunya, khusuk membaca. Diam-diam, bercengkrama tanpa berbicara

Kening Pigor basah. Butiran keringat menggantung di pori-porinya seperti perut kembung perempuan yang tengah hamil tua. Pigor berhenti di bawah kaki bukit di depannya, tidak terlalu tinggi sebenarnya jika dibandingkan dengan tanjakan di belakang tadi, tetapi lebih curam. Pigor menelekan tangannya di pinggang seakan menantang tanah curam di depannya. Pigor meraba kembali lututnya sebelum ia mulai mendaki.


“Hei... maaf ya aku terlambat.”

Pigor tersenyum, lalu kembali membaca. Perempuan itu mengangsurkan kopi kaleng pada Pigor. Dengan hati-hati menarik kursi dan duduk. Sejenak ia ragu-ragu untuk mulai membaca. Sustri membiarkan bukunya terbuka begitu saja sebelum kembali mengaduk-aduk tasnya. Perempuan itu mengeluarkan post it dan sebatang pena berwarna hijau. Menuliskan sesuatu di atasnya dan menyodorkan pada Pigor. Lalu membaca tanpa menunggu jawaban dari Pigor. Lelaki itu melakukan hal yang sama. Terus begitu.


Pigor menjatuhkan tubuhnya ke hamparan rumput ketika berhasil menaiki tanjakkan di belakangnya. Ia lupa pada tujuan utamanya naik ke tanah lapang ini. Nafasnya berangsur teratur. Namun yang lebih penting adalah meredakan nyeri di persendian lututnya. Diam ia tak bergerak, memberi kesempatan kaki kirinya tidak bekerja. Langit putih, penuh gumpalan awan, memayunginya dari terik mentari.

           Lelaki itu memaksakan diri duduk, menoleh ke belakang. Punggung perempuan yang dicarinya teronggok di sebatang cabang pohon. Pohon itu memang cantik. Sustri tidak membual ketika mengatakan pohon itu unik. Ranting dan daunnya terangkat ke atas, menunjuk ke timur, seperti tengah ditiup angin barat. Semua hijau, hanya hijau, juga baju yang Sustri kenakan.

             Ragu-ragu, Pigor mencoba menggerakkan kakinya. Perlahan ia menekuk kakinya. Lalu, dengan agak memaksakan, ia menarik kakinya ke belakang, hingga betisnya menempel pada paha. Dibiarkannya begitu untuk beberapa jenak. Setelah merasa cukup, lelaki itu meluruskan kakinya dan mencoba berdiri. Hati-hati ia melangkahkan kakinya, ia ingin melihat wajah Sustri, secepatnya.

            Begitu berdiri di belakang Sustri, Pigor mendadak dikuasai perasaan ceria. Lututnya seakan kebas. Ia bahkan tidak sanggup untuk menyapa Sustri. Perempuan tengah khusuk membaca Life and Time of Michael K menggunakan kaca pembesar. Gelegak tawa di dadanya penuh sesak, tetapi sekuat tenaga ia tahan. Satu-satunya hal yang kemudian ia lakukan adalah menjatuhkan diri di tanah dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon untuk menyadarkan Sustri akan keberadaannya.

“Heh... kamu ngapain di sini?” Sustri meloncat dari cabang pohon tempat ia duduk, meletakkan sembarangan buku dan kaca pembesar di dahan pohon itu. Ia langsung memeriksa lutut Pigor yang hanya mengenakan celana jeans pendek. Kemudian mengeluarkan tuperware berisi air putih dan menyodorkan pada Pigor.

“Aku kira kamu marah padaku karena minggu lalu aku menanyakan buku itu padamu.”

“Ng... kenapa aku harus marah?”

“Jadi bukan karena itu kamu tidak datang ke perpustakaan hari ini?”

Sustri menggeleng. Wajah yang tadinya pasi perlahan memerah dipenuhi darah yang naik ke balik kulitnya.

“Kamu kenapa?” Pigor heran, kemudian melirik buku bersampul kuning di cabang pohon. “aku...” menarik resleting imajiner di sepanjang bibirnya.

Tapi Sustri malah menutup muka dengan kedua tangannya.”Astaghfirullah...” Sustri yang tadinya berlutut kini bersimpuh. Tatapannya jatuh ke tanah, tak sekalipun berani menatap Pigor. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, perempuan itu justru terkikik. “memalukan sekali... font buku itu kecil sekali... bikin puyeng.”

Pigor tersenyum menggoda, kendati sesungguhnya ia ingin sekali tertawa. lelaki itu menghidu udara panjang untuk mengatasi gelegak tawa di tenggorokannya. “Kenapa harus malu? Memangnya pernah aku menertawaimu?” Sustri menggeleng. “tadinya aku sudah takut.”

“Takut kenapa?”

“Takut kalau-kalau kamu enggak datang ke perpustakaan karena kamu enggak mau ketemu aku lagi.” Pigor menaikkan dagu Sustri. Mukanya masih merah, segar seperti kulit tomat.

“Maafkan aku. Seharusnya aku memberitahumu. Tapi...” angin berhembus memainkan rambut Sustri, menutupi sebagian muka merahnya. Sustri tidak tahu bagaimana ia harus memberi penjelasan, seolah suaranya hilang dibawa angin. Lalu, duuut...”maaaf...” suaranya bergetar. Seketika ia menutupi bibir dan hidungnya yang kian merah. Pigor diam, terutama karena terpukau oleh merahnya kulit Sustri. Baru kali ini Pigor melihat sendiri, di depan mukanya, bagaimana kulit seseorang bisa merona sedemikian kentara. Pigor takjub.

“Kemarin, aku iseng nyoba gerakan yoga, wind blowing namanya, dan tadi malam, entah kenapa aku kentut melulu. Tadi pagi, makin parah, seolah semua gas di dalam tubuhku berebutan menjadi kentut. Dan aku tidak mau kentut di depanmu, makanya aku tidak datang ke perpustakaan hari ini.”

“Hah?” lelaki itu sungguh tidak tahu harus apa. Ia memalingkan mukanya jauh-jauh dari Sustri, mati-matian menahan tawa. Perutnya sakit, luar biasa.

“Aku tidak tahu kalau efek dari wind blowing bisa seampuh ini.” Lalu... Duuuuut... panjang, nyaring. Kali ini giliran Sustri yang memalingkan mukanya. [ ]

Selasa, 18 Agustus 2015

Lagi-Lagi Sepi





Akhir-akhir ini saya sedang dimanjakan dengan buku-buku yang bertema kesepian. Dan entah kenapa, bagi saya, hal itu melesap ke dalam benak dengan begitu mudah. Kesepian, tampak seolah sangat menggiurkan bagi saya.

Tahukah kalian, bahwa buku terakhir yang saya baca kemarin, sedikit banyak, tidak jauh juga dari kesepian seorang manusia. Lenny adalah lelaki di akhir 30-an, tepatnya 39 tahun, seorang imigran rusia yang hidup di Amerika, dan belum menikah. Hidup di tanah orang, tanpa cinta, jauh dari kasih sayang kedua orang tuanya; selain itu kenyataan bahwa ia sadar dirinya sedang menuju tua dan tidak menawan, dengan keuangan yang tidak melimpah namun tidak pula miskin. Dapatkah kalian bayangkan rasa sepi yang diderita Lenny? Tidak? Baiklah, mungkin hanya saya yang merasakan hidupnya yang sepi. Yah, itu tak apa.

Ah, begini, kenapa buku ini diberi judul Super Sad True Love Story oleh Gary Shteyngart tentu bukan tanpa alasan. Lenny, pada umurnya yang ke 39 itu pada akhirnya dipertemukan dengan Eunice Park, imigran lainnya, seorang korea dengan segala tradisi yang ia genggam erat, yang berusia_tadaaa_24 tahun. Nah, silakan bayangkan sendiri kerumitan cerita di buku ini. Dan tentu saja, selamat menikmati ending buku ini, untuk mengetahui makna judul buku ini, Super Sad True Love Story.

Jadi, buku ini dibuka oleh pernyataan Lenny ‘Hari ini aku membuat keputusan penting: Aku tidak akan pernah mati.’ Tidak akan pernah mati? Yang benar saja tuan Lenny, ‘wajah aneh-ku’,begitu Eunice memanggilnya. Tapi memang Lenny berkata benar. Untuk kalian ketahui, Lenny hidup di masa ketika orang-orang kaya bisa membalikkan proses penuaan, menjadi muda kembali, memperpanjang hidupnya hingga uangnya habis. Ya, Gary menciptakan sebuah dunia di mana teknologi mampu melakukan hal itu, untuk Lenny.

Tidak hanya itu, Gary juga menciptakan sebuah gawai, yang di dalam buku ini disebut aparat. Barangkali, yang dimaksud oleh Gary sebagai aparat adalah semacam smartphone dengan kecanggihan yang sebaiknya tidak perlu kalian coba bayangkan. Haha... begini, aparat itu mampu menilai kepribadian, peringkat kartu kredit(yang menjadi tolok ukur kemampuan finansialnya), nilai kemampuan bersetubuh, profil pribadi, dan tentu semua kemampuan smartphone di masa ini, seperti bermain globalteens(social media satu-satunya yang dikenal dalam buku ini). Ah, sebaiknya saya sudahi bualan perihal aparat ini sebelum kalian berliur.

Juga, yang lebih pelik lagi, Gary menciptakan sebuah masa di mana Amerika bukan lagi negara penting di perekonomian dunia. China diceritakan telah menjadi negara paling kaya, dengan kekuatan ekonomi yang kemudian menggantikan Amerika. Dolar tidak lagi memiliki nilai, bahkan kalah oleh mata uang Yuan, mata uang korea, negara asal Eunice. Itulah masa di mana materialisme menjadi tuan. Masa ketika manusia benar-benar manjadi hamba uang.

Satu contoh kecil, Daryl, junior Lenny di Post-Human Service, kehilangan respeknya pada Lenny yang merupakan salah satu perintis yang membesarkan perusahaan mereka, hanya karena Lenny tua, jelek, dan kedudukannya yang telah dirampas oleh Daryl. Tidakkah Daryl sadar jika Lenny dan senior Daryl yang lain tidak ada, mungkin saja Daryl tidak bakal ada di perusahaan itu? Ataukah orang-orang tua itu, yang barangkali kemampuannya sedikit menurun berarti telah hilang pula jasanya di masa yang lebih awal? Mungkin masa lalu memang tidak berarti apapun.

Satu lagi, Gary menggambarkan sebuah adegan ketika Lenny tengah keluar dari apartemennya, di lobi, Lenny menemukan sesosok mayat yang ditelantarkan di atas kursi roda yang dibungkus dengan plastik semacam kantong mayat, barangkali. Saat Lenny mengeluhkan hal itu pada petugas medis yang mengabaikan mayat itu, dua petugas yang tengah duduk di dalam ambulannya berseloroh ‘Cuma kematian.’ CUMA KEMATIAN. Dapatkah kalian hidup di dunia ketika tubuh yang baru saja kalian tinggal mati ternyata bukan hal penting lagi? Tidak berharga! Hanya seonggok mayat.

Ah, akan kuceritakan pada kalian masa depan buku di masa Lenny hidup. Buku, yang selalu saya agungkan. Bahwa buku bagi saya sudah selayaknya harta karun. Tidak hanya bagi saya sebenarnya, tapi bagi Lenny juga. Ya, Gary dengan sinis menyebut Lenny sebagai pembaca terakhir. Bayangkan, pembaca terakhir! Seolah membaca itu kuno, tidak keren, ketinggalan zaman, hampir punah. Seorang lelaki muda yang melihat Lenny membaca menyuruh Lenny menyingkirkan buku itu, karena bau!! Baunya seperti kaus kaki. Bahkan Eunice terang-terangan bilang bahwa ia tak bisa memahami Lenny yang masih membaca buku cetak. Eunice membaca hanya untuk mendapatkan informasi, skimming, bayangkan! Di mana nikmatnya cara membaca seperti itu? Seolah para anak muda itu(Eunice berumur 24 tahun) tidak mengenal yang namanya buku sastra. Bagi mereka, buku bukanlah apa-apa dibandingkan dengan aparat mereka. Buku adalah sampah. Tetapi tidak dengan Lenny. Lenny memiliki dinding bukunya sendiri, rak penuh buku cetak yang ia anggap hartanya, jiwanya, yang ia selamatkan pertama kali ketika harus pergi ke tempat tinggal yang baru.

Di bagian lain, ketika jaringan yang menyokong aparat mereka tiba-tiba tidak berfungsi, diceritakan 4 orang meninggal, bunuh diri karena tidak bisa terhubung dengan dunia maya melalui aparat mereka. 2 di antaranya meninggalkan pesan tertulis yang mengatakan mereka tidak bisa melihat masa depan tanpa aparat mereka. Yang seorang menuliskan tentang bagaimana ia ‘berusaha untuk hidup’, tapi ternyata yang ada hanya ‘dinding, pikiran dan gambar’ yang tak cukup untuknya. Benarkah kita tidak bisa hidup tanpa gawai kita? Sinting! Mari kita berdoa agar jangan sampai kita seperti mereka. Kita tidak semembutuhkan-itu gawai kita, hingga membuat kita merasa akan/harus mati jika tidak memegang gawai dan tidak bisa terhubung dengan internet.

Tetapi, yang paling mengerikan dari semua itu, bagi saya adalah ketika Gary menggambarkan suatu masyarakat di mana orang-orangnya hanya mencari uang, saat kebutuhan hidup akan uang menjadi nomor satu berada di atas hal-hal lainnya. Betapa mengerikan manusia! Ketika manusia menjadi individu dan mementingkan diri sendiri, menutup mata akan arti manusia lainnya. ‘Bodo amat sama orang lain, yang penting aku bahagia, hidupku cukup, nyaman dan semua yang aku mau bisa kudapat’, tidakkah kalian takut akan kalimat tadi?

Bahwa kemanusiaan itu manis, kemanusiaan itu masih dibutuhkan, hadir lewat keluarga Park, yang tak sungkan membantu orang-orang yang tidak mendapatkan haknya, yang terancam dilenyapkan.

Nah, bagaimana? Buku yang hebat kan? Apalagi yang kalian cari dari sebuah buku? Umurnya belum genap 40 tahun(ketika buku ini ditulis), tapi Gary Shteyngart telah berhasil menuliskan sebuah buku yang bagi saya begitu kuat, menghibur sekaligus mengerikan, serta mampu mengajak pembaca merenung. Ah iya, sebelum saya lupa, pada bagian-bagian awal, mungkin kalian akan dibuat mengerutkan kening ketika membaca bagaimana Gary menggambarkan masa di mana Lenny hidup dengan aparat, nilai mata uang Yuan, posisi Amerika di perekonomian dunia; semua itu sungguh sebuah dunia yang berbeda dengan masa di mana kita hidup saat ini. Tak pelak, Gary merupakan salah satu penulis yang karya-karya berikutnya patut untuk dinantikan.

Saya memberikan 5 bintang untuk buku ini.

Judul              : Super Sad True Love Story
Penulis           : Gary Shteyngart
Alih bahasa    : Dewi Wulansari
Editor            : Errena Ike Hendriaini
Penerbit         : Alvabet
Tahun terbit    : cetakan pertama, November 2011
ISBN             : 978-602-9193-11-4

Minggu, 09 Agustus 2015

Saya Takut Pada Dunia yang Kehilangan Rasa Humornya*




Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Eric Weiner, ketika ia menceritakan kunjungannya ke Thailand, Eric mengatakan bahwa di sana, di Thailand, ada banyak jenis senyum. Karena penasaran, saya kemudian menanyakan hal tersebut kepada salah seorang kawan penggemar Arsenal yang berasal dari Thailand, tidak menunggu lama, kawan saya itu langsung menjawab iya. Sayangnya, saat itu kawan saya tidak merinci jenis senyum apa saja yang dikenal di Thailand. Pun saya, ketika itu tidak muncul hasrat untuk menanyakan hal itu lebih jauh. Yah, sudahlah. Lagipula saya pikir hal itu akan berlarut-larut bila harus ditanyakan melalui akun socmed. Sementara untuk berpindah korespodensi ke surel pun saya tidak terlalu berminat.

Lalu, pada waktu yang lain, saya sedang bersama seorang teman. Teman ini, adalah orang yang suka tertawa. Dia suka melontarkan gurauan, olok-olok, atau lawakan yang menurutnya lucu. Dengan itu dia akan tertawa bahagia; kelihatannya sih. Namun tak urung, mau atau tidak, sayapun tertawa juga, mengingat ketika itu, boleh dibilang kami adalah kawan lama, yang jarang bertemu pula, sehingga tak elok rasanya jika saya menghancurkan kehangatan pertemuan itu dengan tidak menertawai leluconnya. Pada mulanya saya sendiri bertanya-tanya pada diri sendiri untuk apa saya tertawa? padahal, jelas saja leluconnya tidak menarik sekalipun untuk dihargai dengan sebuah tawa yang indah.

Pada satu titik, percaya atau tidak, keadaan itu sungguh menyiksa. Kalian tahu kan, rasanya menjadi seorang munafik? Kenyataannya pada saat itu saya tengah merayakan kemunafikan. Saya dengan sukarela menjadi manusia munafik, tertawa untuk hal yang saya pikir tidak lucu, tidak layak untuk dianggap lucu, bahkan terkadang sebenarnya terkesan kurang ajar bagi saya.

Begitulah, keadaan itu berlangsung sekira tiga hari kalau boleh saya lebih-lebihkan. Barangkali, kalau saya tidak segera mengembangkan kemampuan untuk beradaptasi dengan keadaan menyiksa itu, dan hal itu berlansung sedikit lebih lama lagi, saya pasti akan merasa sedang sekarat. Kalian tidak akan percaya betapa menyiksanya ketika harus tertawa pada hal yang lucu pun belum.

Syahdan, tepat di hari terakhir, saya seperti orang yang tengah dikasihani tuhan. Tiba-tiba saya mendapat semacam hidayah. Daripada saya tersiksa menertawai lelucon-lelucon yang tak lucu itu, kenapa saya tidak menertawai teman saya yang berusaha melontarkan lelucon-lelucon tidak lucu itu? Maka di sanalah saya, tergelak menertawai orang yang mencoba berkelakar. Semoga teman saya itu tidak mengetahui bahwa saya  sedang menertawakan dirinya, alih-alih menertawai lelucon-leluconnya. Tetapi, setelah siksaan itu lewat, ketika saya sedang berlagak untuk berpikir, sampai saat inipun saya masih tidak paham terhadap gelak tawa itu.

Lalu, seminggu yang lalu, saya menyadari jenis gelak tawa saya yang meluap-luap itu. Saya baru saja membaca buku Kitab Lupa dan Gelak Tawa karangan Milan Kundera. Kundera, dalam buku itu dengan gamblang menunjukkan pada saya jenis tawa macam apa yang saya pertontonkan waktu itu. Itu adalah jenis gelak tawa yang kehilangan makna.

Kundera dalam buku ini membagi gelak tawa menjadi dua macam. Yang pertama adalah gelak tawa serius; yaitu gelak tawa milik para malaikat, gelak tawa penuh arti, gelak tawa bahagia. Sepasang sejoli yang tertawa-tawa ketika berlarian di sepanjang jalan sambil bergandengan tangan, itu adalah jenis gelak tawa malaikat. Dan jenis gelak tawa yang lain, adalah gelak tawa seperti yang telah saya bualkan panjang lebar tadi. Sebuah tawa yang kehilangan makna. Ketika kalian tertawa karena suatu hal, lanjutkanlah gelak tawa itu, berulang-ulang. Lagi dan lagi, sampai kalian tertawa dan tidak mengetahui lagi kalian tertawa oleh sebab apa. Itulah gelak tawa setan, gelak tawa yang mengejek segala hal, seolah-olah segala hal tidaklah memiliki makna.

Milan Kundera menyebut buku ini, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, pada sebuah kesempatan, merupakan novel; meskipun tidak mau memaksakan pendapatnya kepada siapapun. Dan jika engkau, entah bagaimana, tergiur untuk membaca buku ini, tolong, tidak perlu kaget atau merasa jengah ketika mendapati bahwa buku ini agak berbeda. Berbeda seperti apa? Mmmm sesungguhnya tidak berbeda-beda amat sih. Buku ini masih terbagi dalam 7 bab__ya, Kundera sangat menyukai angka 7, sehingga banyak bukunya terbagi dalam 7 bab, bahkan buku terbarunya Festival of Insignificant. Kundera masih menulis dengan gaya yang sama, ia suka sekali menguliti setiap tokoh-tokohnya hingga ke lapis paling tipis, bahkan tindakan paling remeh pun terkadang tidak lepas dari telaahnya.

Yang menjadikan buku ini berbeda adalah perihal bentuk buku ini. Itulah kenapa Kundera sendiri enggan untuk memaksakan pendapatnya bahwa buku ini adalah sebuah novel. Satu-satunya yang mengikat keseluruhan buku ini adalah tema: Lupa dan Gelak Tawa. Maka janganlah heran bila ada yang menyebut buku ini adalah buku variasi.

Seperti buku apa, sih, buku variasi? Nah ada baiknya kalian baca buku ini sendiri. Saya tidak bisa banyak menceritakan buku ini selain bahwa pada setiap bab buku ini, Kundera mengunakan tokoh-tokoh yang berlainan, yang tidak saling memiliki hubungan sama sekali. Buku ini nampak juga sebagai sebuah buku hampir non-fiksi. Atau apapun kalian ingin menyebutnya. Yang jelas buatku adalah kepiawaian Kundera dalam bertutur begitu memukau.

Siapa sih yang bisa membuat sebuah adegan topi yang jatuh tertiup angin di tengah upacara pemakaman menjadi begitu lucu, begitu menggelikan? Kundera dengan cara yang brilian membuat hal itu menjadi sebuah penderitaan bagi orang-orang yang tersiksa menahan tawa di tengah prosesi pemakaman. Tidak hanya itu, lewat perkara topi pula Kundera menggambarkan dengan indah sebuah monumen kenangan yang sungguh lucu akan kelakuan para penguasa yang sewenang-wenang hendak membuat lupa sebuah bangsa akan kehadiran/kehidupan seseorang. Milan Kundera mengatakan bahwa “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.”

Membaca buku ini merupakan sebuah pengalaman yang menggiurkan. Tidak ada ruginya membaca tulisan Kundera. Tentu saja, coba bayangkan, sebagai orang yang gampang bosan pada sebuah buku dari seorang penulis yang sama, saya telah melahap 4 buku tulisan Milan Kundera. Dan entah kenapa saya makin lapar, saya mendambakan ada buku terjemahan Life is Elsewhere dan Festival of Insignificant.

Terakhir, saya memberi 5 bintang untuk buku ini.

Judul              : Kitab Lupa dan Gelak Tawa
Penulis           : Milan Kundera
Penerbit         : Narasi
Alih bahasa    : Marfaizon Pangai
Tahun terbit    : cetakan 1, 2015
ISBN             : 979-168-429-4


*dikutip dari wawancara Milan Kundera dengan Phillip Roth di bagian akhir buku ini.