Kamis, 06 Agustus 2015

Kamisan03 #14 Si Kancil


“Jangan tembak saya!”

“Turun!”

Pigor tidak mengenal lelaki yang sedang memerintahkannya untuk turun. Tapi siapa yang tak gentar jika orang yang menyuruh, sekalipun tidak kenal, sembari menodongkan pistol?

Pigor seperti orang yang takut ketinggian saat menuruni perancah itu. Dengan terpaksa ia harus meninggalkan tembok berwarna abu-abu yang belum selesai ia kerjakan itu. Ya, Pigor  tidak perlu takut akan dimarahi majikannya karena meninggalkan perkerjaan itu. Lelaki naas yang biasanya menggajinya itu baru saja tewas dibunuh dua orang lelaki tak dikenal. Pigor tidak punya waktu untuk berduka. Ia terlalu sibuk mencari cara untuk berkelit dari ajal yang sedang menantinya di bawah sana. Kalau memang cerita Si Kancil berguna, sebaiknya kisah itu menginspirasinya hari ini. Tak ada waktu yang lebih tepat lagi selain hari ini.

Dalam usahanya mencari jalan keluar itu, Pigor teringat akan potongan kertas koran bekas pembungkus nasi rames yang ia beli tengah hari tadi. Tidak sia-sia rupanya ia meluangkan sedikit waktu untuk membaca potongan artikel di dalamnya, alih-alih tertidur demi membuang waktu hingga jam istirahat makan siangnya selesai. Pigor terngiang akan ucapan Fatz Waller dalam wawancara di koran itu, semoga ada orang yang menembak saya selagi bahagia!. Pada saat itu, di tengah situasi genting, Pigor merasa ide itu begitu cemerlang.

“Jangan tembak saya, seumur-umur saya belum pernah merasakan bahagia!”

Jelas saja ucapan itu jauh lebih bagus ketimbang kebohongan seperti saya tidak akan bilang pada siapapun kalau kalian yang membunuh majikan saya. Setidaknya lelaki yang membawa pistol kemudian menoleh pada koleganya. Lelaki yang mengenakan kacamata hitam itu menyeringai. “Masuk!”

Celaka! Pigor tahu apa yang akan terjadi di dalam. Selesai. Kendati Pigor menolak untuk menyerah. Ia masih memanggil kancil di dalam dirinya. Pasti ada jalan. Selalu ada jalan.

“Kau tentu bahagia kalau kami tidak membunuhmu. Lalu kau bisa melaporkan kami pada polisi. Setelah kami dihukum seumur hidup, pasti kau akan bahagia. Bukan begitu, heh??”

“Tidak. Tentu saja kalian tidak boleh membiarkan seorang saksi kunci pembunuhan yang kalian lakukan. Kalian harus membunuhnya, demi keselamatan kalian. Aku cuma ingin merasakan sedikit bahagia sebelum aku mati. Itu saja.”

“Dan bagaimana kami bisa membahagiakanmu sebelum kami membunuhmu? Memanggilkanmu seorang pelacur?” lelaki itu tertawa mendengar tawarannya kepada Pigor.

“Tidak perlu repot-repot. Aku akan bahagia kalau aku tahu anak dan istriku hidup berkecukupan setelah aku mati.”

Kedua lelaki pengancamnya itu tergelak mendengar jawaban Pigor. “Jadi kau ingin kami memberi makan anak istrimu?”

Pigor membiarkan kedua malaikat mautnya tergelak sebelum akhirnya meneruskan “Begini, kemarin, melalui jendela yang sama ketika aku tidak sengaja memergoki kalian membunuh majikanku, ketika aku sedang mengecatnya dengan warna merah, aku melihat majikanku menyembunyikan uang di salah satu sisi dinding ruangan.” kedua orang itu kini saling menoleh. “Dengar, aku tidak bohong! Aku tahu apa yang aku lihat. Kita ambil uang itu, kita bagi tiga, lalu kalian bisa membunuhku setelah aku menyerahkan uang itu pada anakku. Bagaimana?”

“Kenapa kami tidak membunuhmu dan mengambil uang itu untuk kami berdua saja?”

“Ya... silakan saja. Bunuh aku dan hancurkan semua dinding itu dan aku yakin kalian takkan menemukan uang itu.”

“Dan bagaimana kami tahu kalau itu bukan hanya akal-akalanmu saja?”

“kalau pada kesempatan pertama aku menghancurkan satu sisi dinding dan uang itu tak jatuh dari lubang yang aku buat, dor! Kalian bisa langsung membunuhku. Sama saja, kan, buat kalian?”

***
Ketiga lelaki itu masing-masing sibuk memasukkan uang ke dalam koper-koper yang mereka temukan di dalam lemari. Uang itu begitu banyak. Tidak muat untuk tiga koper. Pigor puas dengan satu koper saja. Begitu puasnya sehingga mereka malas untuk memikirkan hal remeh seperti kenapa majikan Pigor tidak menyimpan uangnya di bank. Bahkan kedua malaikat maut Pigor itu sampai lupa rencana licik hendak membunuh Pigor setelah uang itu ditemukan.

“Biarkan aku mengantar uang ini kepada anakku, lalu kalian boleh membunuhku nanti.”

Mereka berdiri serentak dan segera keluar dari sana. Pigor berjalan di depan dengan menenteng koper sementara kedua orang lainnya berjalan di belakangnya seperti pengawal pribadi. Koper-koper mereka ditinggalkan di samping mayat majikan Pigor.

Selama perjalanan, mereka diam. Tak ada niat dari Pigor untuk melarikan diri. Sementara kedua orang di belakang Pigor, setelah sejauh ini, mulai merasa bahwa Pigor dapat dipercaya. Angin lembut semilir membawa terik mentari pergi.

Pigor menunjuk kepada seorang lelaki muda dengan pakaian sembarangan yang duduk di tepi lapangan basket sebagai anaknya. Ketiga sisi lapangan basket itu dikelilingi tembok tinggi. Tak ada jalan untuk melarikan diri. Dua malaikat maut memberikan waktu kepada Pigor untuk berduaan dengan anaknya. Mereka mengawasi Pigor seolah elang yang mengawasi buruannya. Yang memakai kacamata hitam pergi ke sisi yang lain sambil menyulut sebatang rokok, untuk memastikan Pigor tak mengambil kesempatan sekecil apapun. Setelah Pigor memeluk anaknya, ia menghampiri lelaki yang menyembunyikan pistol di balik punggungnya. Lalu kembali ke tempat majikan Pigor terbunuh.

***

Pigor memungut satu koper di samping mayat majikannya dan menyerahkan koper itu kepada lelaki muda yang menunggunya di ambang pintu.

“Ini separuh bayaranmu. Seperti perjanjian kita.”

“Yeah... senang berbisnis denganmu. Kita tak perlu berpelukan seperti tadi kan?”

“Tentu tidak. Cukup sekali saja kita berakting seperti tadi.”

“Ayo!!” lelaki muda itu pergi diikuti tiga temannya yang menunggu di luar ruangan.

Sekarang yang harus dipikirkan Pigor adalah tiga mayat sialan yang harus ia tutupi. Tapi, yaah... itu bukan urusan kita. Urusan kita sudah selesai sampai di sini. Mau apalagi? Dua lelaki itu telah mati, mereka dibunuh tepat ketika mereka sedang bahagia berpikir akan menghabiskan tiga koper uang mereka. Betapa beruntungnya! [ ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar