“Jangan tembak saya!”
“Turun!”
Pigor tidak mengenal lelaki yang sedang
memerintahkannya untuk turun. Tapi siapa yang tak gentar jika orang yang
menyuruh, sekalipun tidak kenal, sembari menodongkan pistol?
Pigor seperti orang yang takut
ketinggian saat menuruni perancah itu. Dengan terpaksa ia harus meninggalkan
tembok berwarna abu-abu yang belum selesai ia kerjakan itu. Ya, Pigor tidak perlu takut akan dimarahi majikannya
karena meninggalkan perkerjaan itu. Lelaki naas yang biasanya menggajinya itu
baru saja tewas dibunuh dua orang lelaki tak dikenal. Pigor tidak punya waktu
untuk berduka. Ia terlalu sibuk mencari cara untuk berkelit dari ajal yang
sedang menantinya di bawah sana. Kalau memang cerita Si Kancil berguna,
sebaiknya kisah itu menginspirasinya hari ini. Tak ada waktu yang lebih tepat
lagi selain hari ini.
Dalam usahanya mencari jalan keluar itu,
Pigor teringat akan potongan kertas koran bekas pembungkus nasi rames yang ia
beli tengah hari tadi. Tidak sia-sia rupanya ia meluangkan sedikit waktu untuk
membaca potongan artikel di dalamnya, alih-alih tertidur demi membuang waktu
hingga jam istirahat makan siangnya selesai. Pigor terngiang akan ucapan Fatz
Waller dalam wawancara di koran itu, semoga
ada orang yang menembak saya selagi bahagia!. Pada saat itu, di tengah
situasi genting, Pigor merasa ide itu begitu cemerlang.
“Jangan tembak saya, seumur-umur saya
belum pernah merasakan bahagia!”
Jelas saja ucapan itu jauh lebih bagus
ketimbang kebohongan seperti saya tidak
akan bilang pada siapapun kalau kalian yang membunuh majikan saya. Setidaknya
lelaki yang membawa pistol kemudian menoleh pada koleganya. Lelaki yang
mengenakan kacamata hitam itu menyeringai. “Masuk!”
Celaka! Pigor tahu apa yang akan terjadi
di dalam. Selesai. Kendati Pigor menolak untuk menyerah. Ia masih memanggil kancil
di dalam dirinya. Pasti ada jalan. Selalu ada jalan.
“Kau tentu bahagia kalau kami tidak
membunuhmu. Lalu kau bisa melaporkan kami pada polisi. Setelah kami dihukum
seumur hidup, pasti kau akan bahagia. Bukan begitu, heh??”
“Tidak. Tentu saja kalian tidak boleh
membiarkan seorang saksi kunci pembunuhan yang kalian lakukan. Kalian harus
membunuhnya, demi keselamatan kalian. Aku cuma ingin merasakan sedikit bahagia
sebelum aku mati. Itu saja.”
“Dan bagaimana kami bisa membahagiakanmu
sebelum kami membunuhmu? Memanggilkanmu seorang pelacur?” lelaki itu tertawa
mendengar tawarannya kepada Pigor.
“Tidak perlu repot-repot. Aku akan
bahagia kalau aku tahu anak dan istriku hidup berkecukupan setelah aku mati.”
Kedua lelaki pengancamnya itu tergelak
mendengar jawaban Pigor. “Jadi kau ingin kami memberi makan anak istrimu?”
Pigor membiarkan kedua malaikat mautnya
tergelak sebelum akhirnya meneruskan “Begini, kemarin, melalui jendela yang
sama ketika aku tidak sengaja memergoki kalian membunuh majikanku, ketika aku
sedang mengecatnya dengan warna merah, aku melihat majikanku menyembunyikan
uang di salah satu sisi dinding ruangan.” kedua orang itu kini saling menoleh. “Dengar,
aku tidak bohong! Aku tahu apa yang aku lihat. Kita ambil uang itu, kita bagi
tiga, lalu kalian bisa membunuhku setelah aku menyerahkan uang itu pada anakku.
Bagaimana?”
“Kenapa kami tidak membunuhmu dan
mengambil uang itu untuk kami berdua saja?”
“Ya... silakan saja. Bunuh aku dan
hancurkan semua dinding itu dan aku yakin kalian takkan menemukan uang itu.”
“Dan bagaimana kami tahu kalau itu bukan
hanya akal-akalanmu saja?”
“kalau pada kesempatan pertama aku
menghancurkan satu sisi dinding dan uang itu tak jatuh dari lubang yang aku
buat, dor! Kalian bisa langsung membunuhku. Sama saja, kan, buat kalian?”
***
Ketiga lelaki itu masing-masing sibuk
memasukkan uang ke dalam koper-koper yang mereka temukan di dalam lemari. Uang itu
begitu banyak. Tidak muat untuk tiga koper. Pigor puas dengan satu koper saja. Begitu
puasnya sehingga mereka malas untuk memikirkan hal remeh seperti kenapa majikan
Pigor tidak menyimpan uangnya di bank. Bahkan kedua malaikat maut Pigor itu
sampai lupa rencana licik hendak membunuh Pigor setelah uang itu ditemukan.
“Biarkan aku mengantar uang ini kepada
anakku, lalu kalian boleh membunuhku nanti.”
Mereka berdiri serentak dan segera
keluar dari sana. Pigor berjalan di depan dengan menenteng koper sementara
kedua orang lainnya berjalan di belakangnya seperti pengawal pribadi. Koper-koper
mereka ditinggalkan di samping mayat majikan Pigor.
Selama perjalanan, mereka diam. Tak ada
niat dari Pigor untuk melarikan diri. Sementara kedua orang di belakang Pigor,
setelah sejauh ini, mulai merasa bahwa Pigor dapat dipercaya. Angin lembut semilir
membawa terik mentari pergi.
Pigor menunjuk kepada seorang lelaki
muda dengan pakaian sembarangan yang duduk di tepi lapangan basket sebagai
anaknya. Ketiga sisi lapangan basket itu dikelilingi tembok tinggi. Tak ada
jalan untuk melarikan diri. Dua malaikat maut memberikan waktu kepada Pigor
untuk berduaan dengan anaknya. Mereka mengawasi Pigor seolah elang yang
mengawasi buruannya. Yang memakai kacamata hitam pergi ke sisi yang lain sambil
menyulut sebatang rokok, untuk memastikan Pigor tak mengambil kesempatan
sekecil apapun. Setelah Pigor memeluk anaknya, ia menghampiri lelaki yang
menyembunyikan pistol di balik punggungnya. Lalu kembali ke tempat majikan
Pigor terbunuh.
***
Pigor memungut satu koper di samping
mayat majikannya dan menyerahkan koper itu kepada lelaki muda yang menunggunya
di ambang pintu.
“Ini separuh bayaranmu. Seperti perjanjian
kita.”
“Yeah... senang berbisnis denganmu. Kita
tak perlu berpelukan seperti tadi kan?”
“Tentu tidak. Cukup sekali saja kita
berakting seperti tadi.”
“Ayo!!” lelaki muda itu pergi diikuti
tiga temannya yang menunggu di luar ruangan.
Sekarang yang harus dipikirkan Pigor
adalah tiga mayat sialan yang harus ia tutupi. Tapi, yaah... itu bukan urusan
kita. Urusan kita sudah selesai sampai di sini. Mau apalagi? Dua lelaki itu
telah mati, mereka dibunuh tepat ketika mereka sedang bahagia berpikir akan
menghabiskan tiga koper uang mereka. Betapa beruntungnya! [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar