Tentu saja Pigor tidak akan menyerah. Kendati
sebuah jalan naik di belakangnya hampir saja membuatnya pingsan. Mulutnya terbuka
seperti mesin penyedot debu. Duduk ia memanjakan paru-parunya yang rakus
menghidu udara. Kedua tangannya tertumpu di atas lutut. Pandangannya jauh ke
depan mengukur tanah lapang di depan. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan,
Pigor menoleh ke belakang.
Pertama kali Pigor bertemu dengan Sustri
adalah saat ia tengah berbaring sambil membaca buku Life and Time of Michael K.
Menjelang petang, 6 jam setelah Pigor keluar dari ruang operasi pengangkatan
platina yang telah lebih dari setahun menopang tulang pahanya yang cuil di
bagian persendian lutut.
“Wah ada seorang kutu buku rupanya.” ujar
Sustri tanpa nada mengejek, disertai oleh seulas senyum ramah.
Pigor menurunkan bukunya sedikit,
membalas senyum Sustri. Perempuan itu memperbaiki letak kacamatanya yang
sesungguhnya tidak melorot sebelum menyuntikkan anti biotik di selang infus
yang tersambung di pergelangan tangan kiri Pigor. “Pernah baca Coetzee?” tanya
Pigor seusai sensasi dingin dan panas di pembuluh darahnya mereda.
“Hmmm... ya, aku menyukai ‘Disgrace’ dan
percaya atau tidak, aku sedang mencari buku yang ada di tanganmu sekarang.”
Sustri merapikan botol kosong dan
obat-obat di dalam plastik bening yang bertebaran di dalam nampan plastik berwarna
hijau di atas kasur Pigor. Lelaki itu memandangi sampul bukunya sebentar lalu “Mau
pinjam?”
“Ah...” sudut-sudut mata Sustri berkerut
ketika ia menarik sudut-sudut bibirnya ke samping tanpa mengalihkan
pandangannya dari alat suntik di tangannya. “menggiurkan sekali ya...” gumam
Sustri seusai memasangkan tutup jarum suntik, lalu mengulurkan dua butir obat
yang terbungkus plastik bening pada Pigor.
“dan kamu tidak takut meminjamkan
buku itu padaku?”
“Apakah aku harus khawatir padamu?”
Setelah diam sejenak, Sustri mengambil
buku itu dari tangan Pigor dan menatap lama pada sampul belakang buku itu. “Bagaimana
dengan luka operasimu? Ada keluhan?” Pigor menggeleng. “Baiklah kalau begitu,
aku harus pergi.” katanya sambil menaruh buku itu di atas nampan obatnya.
“Kamu tahu kan kalau aku belum selesai
membaca buku itu?”
Sebelum benar-benar menghilang ke balik
pintu Sustri menyahut “Setiap senin, jam sepuluh pagi, biasanya aku pergi
membaca buku di perpustakaan daerah.”
Sinar matahari yang jatuh di kakinya tak
sedikitpun menciutkan niatnya. Nyeri di lutut kirinya sudah mereda. Langkahnya lebih
ringan. Tanah datar, dengan di sana sini pohon tinggi kendati tidak terlalu
rapat. Sepi, sekonyong-konyong Pigor disergap pikiran siapa yang akan
menolongnya jika seandainya ia tiba-tiba terkapar? Lelaki itu meraba bekas luka
operasinya yang masih baru sembuh. Namun ia tak surut.
Dua minggu lalu, di sebuah pagi yang
masih muda, ketika luka operasinya sudah ia anggap kering benar, Pigor
memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan daerah.
Jam
tangannya yang menutupi bekas jarum infus menunjukkan pukul 10 lebih 27 menit
kala Pigor membuka pintu masuk perpustakaan. Ruangan itu luas dan dingin.
rak-rak berdiri tegak seperti benteng, lebih mirip seperti bunker. Kursi dan
meja mengkilat di tengah ruangan, banyak. Sustri ada di antaranya,
satu-satunya, khidmat menekuri lembar halaman buku di depannya.
Pigor berkeliling
membacai nama penulis dan judul di punggung buku, mencari sesuatu yang menarik
minatnya. Di rak keempat, Pigor menimang sebuah buku Nadine Gordimer sebelum
membawanya ke meja di depan Sustri. Pelan ia menarik kursi dan duduk dengan
diam. Perempuan itu bahkan tidak menyadari keberadaannya yang sudah mulai
membaca bagian pertama buku itu.
Sustri baru
menyadari bahwa lelaki di depannya Pigor saat perempuan itu mengangkat bukunya
dan menegakkan punggungnya. Ia berhenti membaca buku. Menunggu Pigor
memergokinya yang ingin menyapa. Sustri melafalkan ‘hai’ tanpa suara. Lalu bibirnya
yang tadi berkecumik tersenyum padanya. Setelah Pigor membalas senyumnya,
Sustri kembali kepada bukunya, khusuk membaca. Diam-diam, bercengkrama tanpa
berbicara
Kening Pigor basah. Butiran keringat
menggantung di pori-porinya seperti perut kembung perempuan yang tengah hamil
tua. Pigor berhenti di bawah kaki bukit di depannya, tidak terlalu tinggi
sebenarnya jika dibandingkan dengan tanjakan di belakang tadi, tetapi lebih
curam. Pigor menelekan tangannya di pinggang seakan menantang tanah curam di
depannya. Pigor meraba kembali lututnya sebelum ia mulai mendaki.
“Hei... maaf ya aku terlambat.”
Pigor tersenyum, lalu kembali membaca. Perempuan
itu mengangsurkan kopi kaleng pada Pigor. Dengan hati-hati menarik kursi dan
duduk. Sejenak ia ragu-ragu untuk mulai membaca. Sustri membiarkan bukunya
terbuka begitu saja sebelum kembali mengaduk-aduk tasnya. Perempuan itu
mengeluarkan post it dan sebatang
pena berwarna hijau. Menuliskan sesuatu di atasnya dan menyodorkan pada Pigor. Lalu
membaca tanpa menunggu jawaban dari Pigor. Lelaki itu melakukan hal yang sama. Terus
begitu.
Pigor menjatuhkan tubuhnya ke hamparan
rumput ketika berhasil menaiki tanjakkan di belakangnya. Ia lupa pada tujuan
utamanya naik ke tanah lapang ini. Nafasnya berangsur teratur. Namun yang lebih
penting adalah meredakan nyeri di persendian lututnya. Diam ia tak bergerak,
memberi kesempatan kaki kirinya tidak bekerja. Langit putih, penuh gumpalan
awan, memayunginya dari terik mentari.
Lelaki
itu memaksakan diri duduk, menoleh ke belakang. Punggung perempuan yang
dicarinya teronggok di sebatang cabang pohon. Pohon itu memang cantik. Sustri
tidak membual ketika mengatakan pohon itu unik. Ranting dan daunnya terangkat
ke atas, menunjuk ke timur, seperti tengah ditiup angin barat. Semua hijau,
hanya hijau, juga baju yang Sustri kenakan.
Ragu-ragu,
Pigor mencoba menggerakkan kakinya. Perlahan ia menekuk kakinya. Lalu, dengan
agak memaksakan, ia menarik kakinya ke belakang, hingga betisnya menempel pada
paha. Dibiarkannya begitu untuk beberapa jenak. Setelah merasa cukup, lelaki
itu meluruskan kakinya dan mencoba berdiri. Hati-hati ia melangkahkan kakinya,
ia ingin melihat wajah Sustri, secepatnya.
Begitu
berdiri di belakang Sustri, Pigor mendadak dikuasai perasaan ceria. Lututnya seakan
kebas. Ia bahkan tidak sanggup untuk menyapa Sustri. Perempuan tengah khusuk
membaca Life and Time of Michael K menggunakan kaca pembesar. Gelegak tawa di
dadanya penuh sesak, tetapi sekuat tenaga ia tahan. Satu-satunya hal yang kemudian
ia lakukan adalah menjatuhkan diri di tanah dan menyandarkan punggungnya ke
batang pohon untuk menyadarkan Sustri akan keberadaannya.
“Heh... kamu ngapain di sini?” Sustri meloncat
dari cabang pohon tempat ia duduk, meletakkan sembarangan buku dan kaca
pembesar di dahan pohon itu. Ia langsung memeriksa lutut Pigor yang hanya
mengenakan celana jeans pendek. Kemudian
mengeluarkan tuperware berisi air
putih dan menyodorkan pada Pigor.
“Aku kira kamu marah padaku karena
minggu lalu aku menanyakan buku itu padamu.”
“Ng... kenapa aku harus marah?”
“Jadi bukan karena itu kamu tidak datang
ke perpustakaan hari ini?”
Sustri menggeleng. Wajah yang tadinya
pasi perlahan memerah dipenuhi darah yang naik ke balik kulitnya.
“Kamu kenapa?” Pigor heran, kemudian
melirik buku bersampul kuning di cabang pohon. “aku...” menarik resleting
imajiner di sepanjang bibirnya.
Tapi Sustri malah menutup muka dengan
kedua tangannya.”Astaghfirullah...” Sustri yang tadinya berlutut kini
bersimpuh. Tatapannya jatuh ke tanah, tak sekalipun berani menatap Pigor. Tidak
tahu apa yang harus ia lakukan, perempuan itu justru terkikik. “memalukan
sekali... font buku itu kecil
sekali... bikin puyeng.”
Pigor tersenyum menggoda, kendati
sesungguhnya ia ingin sekali tertawa. lelaki itu menghidu udara panjang untuk
mengatasi gelegak tawa di tenggorokannya. “Kenapa harus malu? Memangnya pernah
aku menertawaimu?” Sustri menggeleng. “tadinya aku sudah takut.”
“Takut kenapa?”
“Takut kalau-kalau kamu enggak datang ke
perpustakaan karena kamu enggak mau ketemu aku lagi.” Pigor menaikkan dagu
Sustri. Mukanya masih merah, segar seperti kulit tomat.
“Maafkan aku. Seharusnya aku
memberitahumu. Tapi...” angin berhembus memainkan rambut Sustri, menutupi
sebagian muka merahnya. Sustri tidak tahu bagaimana ia harus memberi
penjelasan, seolah suaranya hilang dibawa angin. Lalu, duuut...”maaaf...”
suaranya bergetar. Seketika ia menutupi bibir dan hidungnya yang kian merah. Pigor
diam, terutama karena terpukau oleh merahnya kulit Sustri. Baru kali ini Pigor melihat
sendiri, di depan mukanya, bagaimana kulit seseorang bisa merona sedemikian
kentara. Pigor takjub.
“Kemarin, aku iseng nyoba gerakan yoga, wind blowing namanya, dan tadi malam,
entah kenapa aku kentut melulu. Tadi pagi, makin parah, seolah semua gas di
dalam tubuhku berebutan menjadi kentut. Dan aku tidak mau kentut di depanmu,
makanya aku tidak datang ke perpustakaan hari ini.”
“Hah?” lelaki itu sungguh tidak tahu
harus apa. Ia memalingkan mukanya jauh-jauh dari Sustri, mati-matian menahan
tawa. Perutnya sakit, luar biasa.
“Aku tidak tahu kalau efek dari wind blowing bisa seampuh ini.” Lalu...
Duuuuut... panjang, nyaring. Kali ini giliran Sustri yang memalingkan mukanya.
[ ]
maseko wakakakakkakakaka XD lanjutkn pigor!
BalasHapus