Kamis, 20 Agustus 2015

Kamisan03 #15 Kentut




Tentu saja Pigor tidak akan menyerah. Kendati sebuah jalan naik di belakangnya hampir saja membuatnya pingsan. Mulutnya terbuka seperti mesin penyedot debu. Duduk ia memanjakan paru-parunya yang rakus menghidu udara. Kedua tangannya tertumpu di atas lutut. Pandangannya jauh ke depan mengukur tanah lapang di depan. Sebelum memutuskan untuk melanjutkan, Pigor menoleh ke belakang.


Pertama kali Pigor bertemu dengan Sustri adalah saat ia tengah berbaring sambil membaca buku Life and Time of Michael K. Menjelang petang, 6 jam setelah Pigor keluar dari ruang operasi pengangkatan platina yang telah lebih dari setahun menopang tulang pahanya yang cuil di bagian persendian lutut.

“Wah ada seorang kutu buku rupanya.” ujar Sustri tanpa nada mengejek, disertai oleh seulas senyum ramah.

Pigor menurunkan bukunya sedikit, membalas senyum Sustri. Perempuan itu memperbaiki letak kacamatanya yang sesungguhnya tidak melorot sebelum menyuntikkan anti biotik di selang infus yang tersambung di pergelangan tangan kiri Pigor. “Pernah baca Coetzee?” tanya Pigor seusai sensasi dingin dan panas di pembuluh darahnya mereda.

“Hmmm... ya, aku menyukai ‘Disgrace’ dan percaya atau tidak, aku sedang mencari buku yang ada di tanganmu sekarang.”

Sustri merapikan botol kosong dan obat-obat di dalam plastik bening yang bertebaran di dalam nampan plastik berwarna hijau di atas kasur Pigor. Lelaki itu memandangi sampul bukunya sebentar lalu “Mau pinjam?”

“Ah...” sudut-sudut mata Sustri berkerut ketika ia menarik sudut-sudut bibirnya ke samping tanpa mengalihkan pandangannya dari alat suntik di tangannya. “menggiurkan sekali ya...” gumam Sustri seusai memasangkan tutup jarum suntik, lalu mengulurkan dua butir obat yang terbungkus plastik bening pada Pigor. 

“dan kamu tidak takut meminjamkan buku itu padaku?”

“Apakah aku harus khawatir padamu?”

Setelah diam sejenak, Sustri mengambil buku itu dari tangan Pigor dan menatap lama pada sampul belakang buku itu. “Bagaimana dengan luka operasimu? Ada keluhan?” Pigor menggeleng. “Baiklah kalau begitu, aku harus pergi.” katanya sambil menaruh buku itu di atas nampan obatnya.

“Kamu tahu kan kalau aku belum selesai membaca buku itu?”

Sebelum benar-benar menghilang ke balik pintu Sustri menyahut “Setiap senin, jam sepuluh pagi, biasanya aku pergi membaca buku di perpustakaan daerah.”


Sinar matahari yang jatuh di kakinya tak sedikitpun menciutkan niatnya. Nyeri di lutut kirinya sudah mereda. Langkahnya lebih ringan. Tanah datar, dengan di sana sini pohon tinggi kendati tidak terlalu rapat. Sepi, sekonyong-konyong Pigor disergap pikiran siapa yang akan menolongnya jika seandainya ia tiba-tiba terkapar? Lelaki itu meraba bekas luka operasinya yang masih baru sembuh. Namun ia tak surut.


Dua minggu lalu, di sebuah pagi yang masih muda, ketika luka operasinya sudah ia anggap kering benar, Pigor memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan daerah.
      
      Jam tangannya yang menutupi bekas jarum infus menunjukkan pukul 10 lebih 27 menit kala Pigor membuka pintu masuk perpustakaan. Ruangan itu luas dan dingin. rak-rak berdiri tegak seperti benteng, lebih mirip seperti bunker. Kursi dan meja mengkilat di tengah ruangan, banyak. Sustri ada di antaranya, satu-satunya, khidmat menekuri lembar halaman buku di depannya.

Pigor berkeliling membacai nama penulis dan judul di punggung buku, mencari sesuatu yang menarik minatnya. Di rak keempat, Pigor menimang sebuah buku Nadine Gordimer sebelum membawanya ke meja di depan Sustri. Pelan ia menarik kursi dan duduk dengan diam. Perempuan itu bahkan tidak menyadari keberadaannya yang sudah mulai membaca bagian pertama buku itu.

Sustri baru menyadari bahwa lelaki di depannya Pigor saat perempuan itu mengangkat bukunya dan menegakkan punggungnya. Ia berhenti membaca buku. Menunggu Pigor memergokinya yang ingin menyapa. Sustri melafalkan ‘hai’ tanpa suara. Lalu bibirnya yang tadi berkecumik tersenyum padanya. Setelah Pigor membalas senyumnya, Sustri kembali kepada bukunya, khusuk membaca. Diam-diam, bercengkrama tanpa berbicara

Kening Pigor basah. Butiran keringat menggantung di pori-porinya seperti perut kembung perempuan yang tengah hamil tua. Pigor berhenti di bawah kaki bukit di depannya, tidak terlalu tinggi sebenarnya jika dibandingkan dengan tanjakan di belakang tadi, tetapi lebih curam. Pigor menelekan tangannya di pinggang seakan menantang tanah curam di depannya. Pigor meraba kembali lututnya sebelum ia mulai mendaki.


“Hei... maaf ya aku terlambat.”

Pigor tersenyum, lalu kembali membaca. Perempuan itu mengangsurkan kopi kaleng pada Pigor. Dengan hati-hati menarik kursi dan duduk. Sejenak ia ragu-ragu untuk mulai membaca. Sustri membiarkan bukunya terbuka begitu saja sebelum kembali mengaduk-aduk tasnya. Perempuan itu mengeluarkan post it dan sebatang pena berwarna hijau. Menuliskan sesuatu di atasnya dan menyodorkan pada Pigor. Lalu membaca tanpa menunggu jawaban dari Pigor. Lelaki itu melakukan hal yang sama. Terus begitu.


Pigor menjatuhkan tubuhnya ke hamparan rumput ketika berhasil menaiki tanjakkan di belakangnya. Ia lupa pada tujuan utamanya naik ke tanah lapang ini. Nafasnya berangsur teratur. Namun yang lebih penting adalah meredakan nyeri di persendian lututnya. Diam ia tak bergerak, memberi kesempatan kaki kirinya tidak bekerja. Langit putih, penuh gumpalan awan, memayunginya dari terik mentari.

           Lelaki itu memaksakan diri duduk, menoleh ke belakang. Punggung perempuan yang dicarinya teronggok di sebatang cabang pohon. Pohon itu memang cantik. Sustri tidak membual ketika mengatakan pohon itu unik. Ranting dan daunnya terangkat ke atas, menunjuk ke timur, seperti tengah ditiup angin barat. Semua hijau, hanya hijau, juga baju yang Sustri kenakan.

             Ragu-ragu, Pigor mencoba menggerakkan kakinya. Perlahan ia menekuk kakinya. Lalu, dengan agak memaksakan, ia menarik kakinya ke belakang, hingga betisnya menempel pada paha. Dibiarkannya begitu untuk beberapa jenak. Setelah merasa cukup, lelaki itu meluruskan kakinya dan mencoba berdiri. Hati-hati ia melangkahkan kakinya, ia ingin melihat wajah Sustri, secepatnya.

            Begitu berdiri di belakang Sustri, Pigor mendadak dikuasai perasaan ceria. Lututnya seakan kebas. Ia bahkan tidak sanggup untuk menyapa Sustri. Perempuan tengah khusuk membaca Life and Time of Michael K menggunakan kaca pembesar. Gelegak tawa di dadanya penuh sesak, tetapi sekuat tenaga ia tahan. Satu-satunya hal yang kemudian ia lakukan adalah menjatuhkan diri di tanah dan menyandarkan punggungnya ke batang pohon untuk menyadarkan Sustri akan keberadaannya.

“Heh... kamu ngapain di sini?” Sustri meloncat dari cabang pohon tempat ia duduk, meletakkan sembarangan buku dan kaca pembesar di dahan pohon itu. Ia langsung memeriksa lutut Pigor yang hanya mengenakan celana jeans pendek. Kemudian mengeluarkan tuperware berisi air putih dan menyodorkan pada Pigor.

“Aku kira kamu marah padaku karena minggu lalu aku menanyakan buku itu padamu.”

“Ng... kenapa aku harus marah?”

“Jadi bukan karena itu kamu tidak datang ke perpustakaan hari ini?”

Sustri menggeleng. Wajah yang tadinya pasi perlahan memerah dipenuhi darah yang naik ke balik kulitnya.

“Kamu kenapa?” Pigor heran, kemudian melirik buku bersampul kuning di cabang pohon. “aku...” menarik resleting imajiner di sepanjang bibirnya.

Tapi Sustri malah menutup muka dengan kedua tangannya.”Astaghfirullah...” Sustri yang tadinya berlutut kini bersimpuh. Tatapannya jatuh ke tanah, tak sekalipun berani menatap Pigor. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan, perempuan itu justru terkikik. “memalukan sekali... font buku itu kecil sekali... bikin puyeng.”

Pigor tersenyum menggoda, kendati sesungguhnya ia ingin sekali tertawa. lelaki itu menghidu udara panjang untuk mengatasi gelegak tawa di tenggorokannya. “Kenapa harus malu? Memangnya pernah aku menertawaimu?” Sustri menggeleng. “tadinya aku sudah takut.”

“Takut kenapa?”

“Takut kalau-kalau kamu enggak datang ke perpustakaan karena kamu enggak mau ketemu aku lagi.” Pigor menaikkan dagu Sustri. Mukanya masih merah, segar seperti kulit tomat.

“Maafkan aku. Seharusnya aku memberitahumu. Tapi...” angin berhembus memainkan rambut Sustri, menutupi sebagian muka merahnya. Sustri tidak tahu bagaimana ia harus memberi penjelasan, seolah suaranya hilang dibawa angin. Lalu, duuut...”maaaf...” suaranya bergetar. Seketika ia menutupi bibir dan hidungnya yang kian merah. Pigor diam, terutama karena terpukau oleh merahnya kulit Sustri. Baru kali ini Pigor melihat sendiri, di depan mukanya, bagaimana kulit seseorang bisa merona sedemikian kentara. Pigor takjub.

“Kemarin, aku iseng nyoba gerakan yoga, wind blowing namanya, dan tadi malam, entah kenapa aku kentut melulu. Tadi pagi, makin parah, seolah semua gas di dalam tubuhku berebutan menjadi kentut. Dan aku tidak mau kentut di depanmu, makanya aku tidak datang ke perpustakaan hari ini.”

“Hah?” lelaki itu sungguh tidak tahu harus apa. Ia memalingkan mukanya jauh-jauh dari Sustri, mati-matian menahan tawa. Perutnya sakit, luar biasa.

“Aku tidak tahu kalau efek dari wind blowing bisa seampuh ini.” Lalu... Duuuuut... panjang, nyaring. Kali ini giliran Sustri yang memalingkan mukanya. [ ]

1 komentar: