Akhir-akhir ini saya sedang dimanjakan
dengan buku-buku yang bertema kesepian. Dan entah kenapa, bagi saya, hal itu
melesap ke dalam benak dengan begitu mudah. Kesepian, tampak seolah sangat
menggiurkan bagi saya.
Tahukah kalian, bahwa buku terakhir yang
saya baca kemarin, sedikit banyak, tidak jauh juga dari kesepian seorang
manusia. Lenny adalah lelaki di akhir 30-an, tepatnya 39 tahun, seorang imigran
rusia yang hidup di Amerika, dan belum menikah. Hidup di tanah orang, tanpa
cinta, jauh dari kasih sayang kedua orang tuanya; selain itu kenyataan bahwa ia
sadar dirinya sedang menuju tua dan tidak menawan, dengan keuangan yang tidak
melimpah namun tidak pula miskin. Dapatkah kalian bayangkan rasa sepi yang
diderita Lenny? Tidak? Baiklah, mungkin hanya saya yang merasakan hidupnya yang
sepi. Yah, itu tak apa.
Ah, begini, kenapa buku ini diberi judul
Super Sad True Love Story oleh Gary Shteyngart tentu bukan tanpa alasan. Lenny,
pada umurnya yang ke 39 itu pada akhirnya dipertemukan dengan Eunice Park,
imigran lainnya, seorang korea dengan segala tradisi yang ia genggam erat, yang
berusia_tadaaa_24 tahun. Nah, silakan bayangkan sendiri kerumitan cerita di
buku ini. Dan tentu saja, selamat menikmati ending buku ini, untuk mengetahui
makna judul buku ini, Super Sad True Love Story.
Jadi, buku ini dibuka oleh pernyataan
Lenny ‘Hari ini aku membuat keputusan penting: Aku tidak akan pernah mati.’ Tidak akan pernah mati? Yang benar saja
tuan Lenny, ‘wajah aneh-ku’,begitu Eunice memanggilnya. Tapi memang Lenny
berkata benar. Untuk kalian ketahui, Lenny hidup di masa ketika orang-orang
kaya bisa membalikkan proses penuaan, menjadi muda kembali, memperpanjang
hidupnya hingga uangnya habis. Ya, Gary menciptakan sebuah dunia di mana
teknologi mampu melakukan hal itu, untuk Lenny.
Tidak hanya itu, Gary juga menciptakan
sebuah gawai, yang di dalam buku ini disebut aparat. Barangkali, yang dimaksud oleh Gary sebagai aparat adalah semacam smartphone dengan
kecanggihan yang sebaiknya tidak perlu kalian coba bayangkan. Haha... begini, aparat itu mampu menilai kepribadian,
peringkat kartu kredit(yang menjadi tolok ukur kemampuan finansialnya), nilai
kemampuan bersetubuh, profil pribadi, dan tentu semua kemampuan smartphone di
masa ini, seperti bermain globalteens(social media satu-satunya yang dikenal
dalam buku ini). Ah, sebaiknya saya sudahi bualan perihal aparat ini sebelum
kalian berliur.
Juga, yang lebih pelik lagi, Gary
menciptakan sebuah masa di mana Amerika bukan lagi negara penting di perekonomian
dunia. China diceritakan telah menjadi negara paling kaya, dengan kekuatan
ekonomi yang kemudian menggantikan Amerika. Dolar tidak lagi memiliki nilai,
bahkan kalah oleh mata uang Yuan, mata uang korea, negara asal Eunice. Itulah
masa di mana materialisme menjadi tuan. Masa ketika manusia benar-benar manjadi
hamba uang.
Satu contoh kecil, Daryl, junior Lenny
di Post-Human Service, kehilangan respeknya pada Lenny yang merupakan salah
satu perintis yang membesarkan perusahaan mereka, hanya karena Lenny tua,
jelek, dan kedudukannya yang telah dirampas oleh Daryl. Tidakkah Daryl sadar
jika Lenny dan senior Daryl yang lain tidak ada, mungkin saja Daryl tidak bakal
ada di perusahaan itu? Ataukah orang-orang tua itu, yang barangkali
kemampuannya sedikit menurun berarti telah hilang pula jasanya di masa yang
lebih awal? Mungkin masa lalu memang tidak berarti apapun.
Satu lagi, Gary menggambarkan sebuah
adegan ketika Lenny tengah keluar dari apartemennya, di lobi, Lenny menemukan
sesosok mayat yang ditelantarkan di atas kursi roda yang dibungkus dengan
plastik semacam kantong mayat, barangkali. Saat Lenny mengeluhkan hal itu pada
petugas medis yang mengabaikan mayat itu, dua petugas yang tengah duduk di
dalam ambulannya berseloroh ‘Cuma kematian.’ CUMA KEMATIAN. Dapatkah
kalian hidup di dunia ketika tubuh yang baru saja kalian tinggal mati ternyata
bukan hal penting lagi? Tidak berharga! Hanya seonggok mayat.
Ah, akan kuceritakan pada kalian masa
depan buku di masa Lenny hidup. Buku, yang selalu saya agungkan. Bahwa buku
bagi saya sudah selayaknya harta karun. Tidak hanya bagi saya sebenarnya, tapi
bagi Lenny juga. Ya, Gary dengan sinis menyebut Lenny sebagai pembaca terakhir.
Bayangkan, pembaca terakhir! Seolah membaca itu kuno, tidak keren, ketinggalan
zaman, hampir punah. Seorang lelaki muda yang melihat Lenny membaca menyuruh
Lenny menyingkirkan buku itu, karena bau!! Baunya seperti kaus kaki. Bahkan
Eunice terang-terangan bilang bahwa ia tak bisa memahami Lenny yang masih
membaca buku cetak. Eunice membaca hanya untuk mendapatkan informasi, skimming,
bayangkan! Di mana nikmatnya cara membaca seperti itu? Seolah para anak muda
itu(Eunice berumur 24 tahun) tidak mengenal yang namanya buku sastra. Bagi
mereka, buku bukanlah apa-apa dibandingkan dengan aparat mereka. Buku adalah sampah. Tetapi tidak dengan Lenny. Lenny
memiliki dinding bukunya sendiri, rak penuh buku cetak yang ia anggap hartanya,
jiwanya, yang ia selamatkan pertama kali ketika harus pergi ke tempat tinggal
yang baru.
Di bagian lain, ketika jaringan yang
menyokong aparat mereka tiba-tiba
tidak berfungsi, diceritakan 4 orang meninggal, bunuh diri karena tidak bisa
terhubung dengan dunia maya melalui aparat
mereka. 2 di antaranya meninggalkan pesan tertulis yang mengatakan mereka tidak
bisa melihat masa depan tanpa aparat
mereka. Yang seorang menuliskan tentang bagaimana ia ‘berusaha untuk hidup’,
tapi ternyata yang ada hanya ‘dinding, pikiran dan gambar’ yang tak cukup
untuknya. Benarkah kita tidak bisa hidup tanpa gawai kita? Sinting! Mari kita
berdoa agar jangan sampai kita seperti mereka. Kita tidak semembutuhkan-itu
gawai kita, hingga membuat kita merasa akan/harus mati jika tidak memegang
gawai dan tidak bisa terhubung dengan internet.
Tetapi, yang paling mengerikan dari
semua itu, bagi saya adalah ketika Gary menggambarkan suatu masyarakat di mana
orang-orangnya hanya mencari uang, saat kebutuhan hidup akan uang menjadi nomor
satu berada di atas hal-hal lainnya. Betapa mengerikan manusia! Ketika manusia
menjadi individu dan mementingkan diri sendiri, menutup mata akan arti manusia
lainnya. ‘Bodo amat sama orang lain, yang penting aku bahagia, hidupku cukup,
nyaman dan semua yang aku mau bisa kudapat’, tidakkah kalian takut akan kalimat
tadi?
Bahwa kemanusiaan itu manis, kemanusiaan
itu masih dibutuhkan, hadir lewat keluarga Park, yang tak sungkan membantu
orang-orang yang tidak mendapatkan haknya, yang terancam dilenyapkan.
Nah, bagaimana? Buku yang hebat kan?
Apalagi yang kalian cari dari sebuah buku? Umurnya belum genap 40 tahun(ketika
buku ini ditulis), tapi Gary Shteyngart telah berhasil menuliskan sebuah buku
yang bagi saya begitu kuat, menghibur sekaligus mengerikan, serta mampu
mengajak pembaca merenung. Ah iya, sebelum saya lupa, pada bagian-bagian awal,
mungkin kalian akan dibuat mengerutkan kening ketika membaca bagaimana Gary
menggambarkan masa di mana Lenny hidup dengan aparat, nilai mata uang Yuan, posisi Amerika di perekonomian dunia;
semua itu sungguh sebuah dunia yang berbeda dengan masa di mana kita hidup saat
ini. Tak pelak, Gary merupakan salah satu penulis yang karya-karya berikutnya
patut untuk dinantikan.
Saya memberikan 5 bintang untuk buku ini.
Judul : Super Sad True Love Story
Penulis : Gary Shteyngart
Alih bahasa : Dewi
Wulansari
Editor :
Errena Ike Hendriaini
Penerbit :
Alvabet
Tahun terbit : cetakan pertama, November 2011
ISBN : 978-602-9193-11-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar