Selasa, 18 Agustus 2015

Lagi-Lagi Sepi





Akhir-akhir ini saya sedang dimanjakan dengan buku-buku yang bertema kesepian. Dan entah kenapa, bagi saya, hal itu melesap ke dalam benak dengan begitu mudah. Kesepian, tampak seolah sangat menggiurkan bagi saya.

Tahukah kalian, bahwa buku terakhir yang saya baca kemarin, sedikit banyak, tidak jauh juga dari kesepian seorang manusia. Lenny adalah lelaki di akhir 30-an, tepatnya 39 tahun, seorang imigran rusia yang hidup di Amerika, dan belum menikah. Hidup di tanah orang, tanpa cinta, jauh dari kasih sayang kedua orang tuanya; selain itu kenyataan bahwa ia sadar dirinya sedang menuju tua dan tidak menawan, dengan keuangan yang tidak melimpah namun tidak pula miskin. Dapatkah kalian bayangkan rasa sepi yang diderita Lenny? Tidak? Baiklah, mungkin hanya saya yang merasakan hidupnya yang sepi. Yah, itu tak apa.

Ah, begini, kenapa buku ini diberi judul Super Sad True Love Story oleh Gary Shteyngart tentu bukan tanpa alasan. Lenny, pada umurnya yang ke 39 itu pada akhirnya dipertemukan dengan Eunice Park, imigran lainnya, seorang korea dengan segala tradisi yang ia genggam erat, yang berusia_tadaaa_24 tahun. Nah, silakan bayangkan sendiri kerumitan cerita di buku ini. Dan tentu saja, selamat menikmati ending buku ini, untuk mengetahui makna judul buku ini, Super Sad True Love Story.

Jadi, buku ini dibuka oleh pernyataan Lenny ‘Hari ini aku membuat keputusan penting: Aku tidak akan pernah mati.’ Tidak akan pernah mati? Yang benar saja tuan Lenny, ‘wajah aneh-ku’,begitu Eunice memanggilnya. Tapi memang Lenny berkata benar. Untuk kalian ketahui, Lenny hidup di masa ketika orang-orang kaya bisa membalikkan proses penuaan, menjadi muda kembali, memperpanjang hidupnya hingga uangnya habis. Ya, Gary menciptakan sebuah dunia di mana teknologi mampu melakukan hal itu, untuk Lenny.

Tidak hanya itu, Gary juga menciptakan sebuah gawai, yang di dalam buku ini disebut aparat. Barangkali, yang dimaksud oleh Gary sebagai aparat adalah semacam smartphone dengan kecanggihan yang sebaiknya tidak perlu kalian coba bayangkan. Haha... begini, aparat itu mampu menilai kepribadian, peringkat kartu kredit(yang menjadi tolok ukur kemampuan finansialnya), nilai kemampuan bersetubuh, profil pribadi, dan tentu semua kemampuan smartphone di masa ini, seperti bermain globalteens(social media satu-satunya yang dikenal dalam buku ini). Ah, sebaiknya saya sudahi bualan perihal aparat ini sebelum kalian berliur.

Juga, yang lebih pelik lagi, Gary menciptakan sebuah masa di mana Amerika bukan lagi negara penting di perekonomian dunia. China diceritakan telah menjadi negara paling kaya, dengan kekuatan ekonomi yang kemudian menggantikan Amerika. Dolar tidak lagi memiliki nilai, bahkan kalah oleh mata uang Yuan, mata uang korea, negara asal Eunice. Itulah masa di mana materialisme menjadi tuan. Masa ketika manusia benar-benar manjadi hamba uang.

Satu contoh kecil, Daryl, junior Lenny di Post-Human Service, kehilangan respeknya pada Lenny yang merupakan salah satu perintis yang membesarkan perusahaan mereka, hanya karena Lenny tua, jelek, dan kedudukannya yang telah dirampas oleh Daryl. Tidakkah Daryl sadar jika Lenny dan senior Daryl yang lain tidak ada, mungkin saja Daryl tidak bakal ada di perusahaan itu? Ataukah orang-orang tua itu, yang barangkali kemampuannya sedikit menurun berarti telah hilang pula jasanya di masa yang lebih awal? Mungkin masa lalu memang tidak berarti apapun.

Satu lagi, Gary menggambarkan sebuah adegan ketika Lenny tengah keluar dari apartemennya, di lobi, Lenny menemukan sesosok mayat yang ditelantarkan di atas kursi roda yang dibungkus dengan plastik semacam kantong mayat, barangkali. Saat Lenny mengeluhkan hal itu pada petugas medis yang mengabaikan mayat itu, dua petugas yang tengah duduk di dalam ambulannya berseloroh ‘Cuma kematian.’ CUMA KEMATIAN. Dapatkah kalian hidup di dunia ketika tubuh yang baru saja kalian tinggal mati ternyata bukan hal penting lagi? Tidak berharga! Hanya seonggok mayat.

Ah, akan kuceritakan pada kalian masa depan buku di masa Lenny hidup. Buku, yang selalu saya agungkan. Bahwa buku bagi saya sudah selayaknya harta karun. Tidak hanya bagi saya sebenarnya, tapi bagi Lenny juga. Ya, Gary dengan sinis menyebut Lenny sebagai pembaca terakhir. Bayangkan, pembaca terakhir! Seolah membaca itu kuno, tidak keren, ketinggalan zaman, hampir punah. Seorang lelaki muda yang melihat Lenny membaca menyuruh Lenny menyingkirkan buku itu, karena bau!! Baunya seperti kaus kaki. Bahkan Eunice terang-terangan bilang bahwa ia tak bisa memahami Lenny yang masih membaca buku cetak. Eunice membaca hanya untuk mendapatkan informasi, skimming, bayangkan! Di mana nikmatnya cara membaca seperti itu? Seolah para anak muda itu(Eunice berumur 24 tahun) tidak mengenal yang namanya buku sastra. Bagi mereka, buku bukanlah apa-apa dibandingkan dengan aparat mereka. Buku adalah sampah. Tetapi tidak dengan Lenny. Lenny memiliki dinding bukunya sendiri, rak penuh buku cetak yang ia anggap hartanya, jiwanya, yang ia selamatkan pertama kali ketika harus pergi ke tempat tinggal yang baru.

Di bagian lain, ketika jaringan yang menyokong aparat mereka tiba-tiba tidak berfungsi, diceritakan 4 orang meninggal, bunuh diri karena tidak bisa terhubung dengan dunia maya melalui aparat mereka. 2 di antaranya meninggalkan pesan tertulis yang mengatakan mereka tidak bisa melihat masa depan tanpa aparat mereka. Yang seorang menuliskan tentang bagaimana ia ‘berusaha untuk hidup’, tapi ternyata yang ada hanya ‘dinding, pikiran dan gambar’ yang tak cukup untuknya. Benarkah kita tidak bisa hidup tanpa gawai kita? Sinting! Mari kita berdoa agar jangan sampai kita seperti mereka. Kita tidak semembutuhkan-itu gawai kita, hingga membuat kita merasa akan/harus mati jika tidak memegang gawai dan tidak bisa terhubung dengan internet.

Tetapi, yang paling mengerikan dari semua itu, bagi saya adalah ketika Gary menggambarkan suatu masyarakat di mana orang-orangnya hanya mencari uang, saat kebutuhan hidup akan uang menjadi nomor satu berada di atas hal-hal lainnya. Betapa mengerikan manusia! Ketika manusia menjadi individu dan mementingkan diri sendiri, menutup mata akan arti manusia lainnya. ‘Bodo amat sama orang lain, yang penting aku bahagia, hidupku cukup, nyaman dan semua yang aku mau bisa kudapat’, tidakkah kalian takut akan kalimat tadi?

Bahwa kemanusiaan itu manis, kemanusiaan itu masih dibutuhkan, hadir lewat keluarga Park, yang tak sungkan membantu orang-orang yang tidak mendapatkan haknya, yang terancam dilenyapkan.

Nah, bagaimana? Buku yang hebat kan? Apalagi yang kalian cari dari sebuah buku? Umurnya belum genap 40 tahun(ketika buku ini ditulis), tapi Gary Shteyngart telah berhasil menuliskan sebuah buku yang bagi saya begitu kuat, menghibur sekaligus mengerikan, serta mampu mengajak pembaca merenung. Ah iya, sebelum saya lupa, pada bagian-bagian awal, mungkin kalian akan dibuat mengerutkan kening ketika membaca bagaimana Gary menggambarkan masa di mana Lenny hidup dengan aparat, nilai mata uang Yuan, posisi Amerika di perekonomian dunia; semua itu sungguh sebuah dunia yang berbeda dengan masa di mana kita hidup saat ini. Tak pelak, Gary merupakan salah satu penulis yang karya-karya berikutnya patut untuk dinantikan.

Saya memberikan 5 bintang untuk buku ini.

Judul              : Super Sad True Love Story
Penulis           : Gary Shteyngart
Alih bahasa    : Dewi Wulansari
Editor            : Errena Ike Hendriaini
Penerbit         : Alvabet
Tahun terbit    : cetakan pertama, November 2011
ISBN             : 978-602-9193-11-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar