Kamis, 23 Juli 2015

Kamisan03 #13 Berderak!



Kegelapan hanyalah tetek bengek. Ia tak menghalangi sedikitpun langkah Pigor. Melonjak mengikuti irama paru-parunya mendenguskan udara. Liat menyusuri jalan yang tercipta oleh rumput dan semak yang lantak terinjak pada masa yang baru-baru saja. Beberapa minggu ini telah cukup untuk membuat Pigor mengenali segala lekuk permukaan tanah yang ia lewati kini. Bau-bau segar daun muda yang bertunas, bunga-bunga yang baru saja merekah, serta getah yang meleleh setelah sebatang ranting atau daun patah karena geraknya.
Di depan, dalam gelap malam, tampak tanah lapang, cahaya bulan menerangi gundukan tanah di batas tumbuhnya pepohonan. Genggaman tangannya makin erat pada telapak tangan lembut yang hangat mengusir lelah dan dingin udara. Lekat seakan tak hendak ia lepaskan. Terus saja ia seret tangan itu, demi tanah lapang di depan mereka.

“Lihat, kita sudah sampai.”

Perempuan itu tidak sempat terengah-engah, jangankan mengumpat. Matanya terkesima oleh jalur rel kereta yang seolah muncul seperti candi Prambanan yang dibangun dalam semalam oleh Bandung Bondowoso, konon. Asa memindahkan berat tubuhnya pada tangan yang telah ia bebaskan dari genggaman Pigor dan menelekannya di lutut dengan punggung melengkung. Mukanya terdongak memandangi kabin berwarna putih yang tak pernah ia lihat. Bentuknya aneh, peot di sana-sini, tak sedikitpun mengesankan kekukuhan.

Pigor telungkup di tanah. Begitu tangan itu lepas, dayanya menciut. Tandas disesap malam. Ransel di punggungnya bagaikan paku bumi yang menancapkannya pada tanah basah. Malam sepi, pohon-pohon beku dan angin mati. Rumput tipis dan tanah telanjang pasrah ditimpa cahaya bulan yang cemerlang.

 Lelaki itu menyeret ranselnya ke atas jalur rel kereta. Lalu, tanpa mantra, ia membuka resleting ranselnya dan mengeluarkan lokomotif kereta api dari sana, tepat di depan benda putih yang reot. Pigor menarik ranselnya kepayahan, sementara lokomotif itu mulus saja keluar dari mulut ransel Pigor yang seperti hendak sobek. Asa menggelengkan kepalanya melihat lelaki itu jumawa memandangnya dengan senyum mengembang.

“Sinting! Dari mana kamu dapatkan benda itu?”

Pigor menggaruk kepalanya. “Aku beli ransel ini dari serigala.com. diskon 70%. Murah ya?” kebanggaan mengukir senyumnya kian nyalang. Berjalan ia mengitari lokomotif di depannya. “Tadinya aku nyari teflon sama setrikaan. Yah... kamu tahu, aku sedang membutuhkan setrika dan teflon, sebenarnya, tapi aku tahu apa yang aku inginkan. Aku butuh ransel untuk membawa lokomotif ini.”

Asa menegakkan punggungnya. Tidak ada niat untuk menanggapi omong kosong Pigor. Perempuan itu mengamati ke sekililing untuk tak mendapati satupun tanda kehidupan. Ia sungguh tidak mengetahui di mana ia berada. Kemudian tanah bergetar seiring dengan bunyi kasar dari lokomotif yang berfungsi dengan baik. Pigor meloncat turun dari atas lokomotif setelah mengaitkan lokomotif dengan kabin putih di belakngnya. Tanpa aba-aba, Pigor menarik tangan Asa menuju ke kabin.

“Apa kau yakin ini kuat?” tanya Asa sambil menjejakkan sebelah kakinya ke permukaan kabin kereta. Lantai itu dipenuhi baris-baris huruf yang lurus dan kecil, seperti halaman buku.

“Percayalah, sayang, tiada yang lebih kuat dari cinta Oscar Wao kepada Y’born; tentu saja selain cintaku kepadamu.”

Kemudian Pigor mulai membual tentang bagaimana ia membuat kabin kereta itu dari halaman buku ‘The Brief Wondrous Life of Oscar Wao’. Dan memang itulah yang terbukti. Kabin itu tak bergoyang sedikitpun ketika lokomotif itu mulai berjalan. Kabin itu tanpa jendela. Belaka berisi dua kursi yang saling berhadapan di antara meja kertas yang berdiri di atas satu kaki tipis yang menyati dengan lantai kabin. Terang meskipun tanpa lampu. Serta kedap suara meskipun kabin itu tak berpintu.

“Ke mana kau akan membawaku?”

“Wah wah itu kejutan...” seringai Pigor tak sedikitpun memuaskan Asa.

“Cih!! Siapa yang butuh kejutan? Lebih baik kau turunkan aku di depan rumahku sekarang juga atau aku takkan mau bicara lagi denganmu!”

“Tidak!! Aku tidak akan menghentikan kereta ini sebelum kamu mengatakan bersedia menikah denganku.”

Asa menaikkan sebelah sudut bibirnya, lalu tergelak. “Jawabanku tetap sama. Aku akan menjadi istrimu saat kau bisa menghamiliku.” ujar Asa dingin sambil melubangi kabin itu dengan telunjuknya, membuat sebuah lubang jendela mini, di sana ia membuang pandangannya.

Pigor memukul meja kertas di depannya. Cuil, serpihannya jatuh tak bersuara membentur lantai kabin. “Aku bisa memberikan seluruh dunia kepadamu, tetapi kamu justru selalu meminta hal yang takkan bisa kupenuhi.” Diam. Berkas cahaya dari luar masuk melalui jendela kabin saat mereka melewati kota pertama setelah keluar ari hutan. “Kamu sendiri tahu, berkali-kali kuceritakan padamu bahwa Saruman pada suatu malam terkutuk telah mengambil bijiku untuk membangun pasukan di Isengard.”

“Aku tidak mau tahu! Kalau kau ingin menikahiku maka kau harus bisa menghamiliku.” sanggah perempuan itu pelan. Pigor bisu. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu kabin. “Dan dari mana kau mendapatkan benda sialan ini?” teriak Asa sekali lagi.

Pigor terbahak, keras sekali. “Baiklah. Maka kamu akan menjadi tawananku di kereta ini seperti Fermina Daza mejadi tawanan Florentino Ariza di kapalnya.”

Tapi Asa tak gentar sedikitpun. Jiwanya malahan bergairah. Tak sabar. Benar-benar ia ingin mengetahui, mana yang akan mampu bertahan lebih lama; orang yang mengabaikan cinta seseorang atau orang yang cintanya diabaikan? Asa tersenyum nyalang.

“Ah... aku mencuri lokomotif itu dari stasiun Senen.”

***

Stasiun Senen, 7 Juli 2015. 19.05 WIB.

Nhaz masih memandangi dirinya sendiri di kaca jendela kereta api yang belum juga berangkat. Ia sudah mempersiapkan dirinya secantik mungkin untuk menjemput kematiannya. Setelah dua percobaan bunuh dirinya gagal, kini ia yakin, sungguh yakin bila upaya ketiganya ini akan berhasil. Asumsinya tidak akan lagi meleset. Ia akan mati membeku kedinginan di dalam kereta berpendingin udara, terutama hatinya sudah lama membeku karena berkali-kali diabaikan oleh lelaki pujaan hatinya.
 
Bibirnya merah, matanya berwarna coklat berkat soft lens. Kukunya ia pulas dengan warna perak berkilap. Tulang pipinya menonjol segar bagaikan kulit buah tomat yang diliputi embun di pagi hari. Tentu saja ia begitu puas melihat dirinya kini, alih-alih teringat dua kejadian terdahulu. Perempuan itu bersyukur tidak jadi mati ketika ia meloncat dari jendela apartemennya di lantai 15 dan jatuh ke dalam kolam renang sedalam 2 meter. Di percobaan kedua, lebih menyedihkan lagi, ia menggantung dirinya di dahan pohon beringin, di pinggir jalan, jam 2 siang! Nhaz tersenyum saat kembali teringat rencana bunuh dirinya kali ini yang ia yakin akan berhasil, tak terbantahkan, mati membeku karena kedinginan. Siapa yang masih bisa hidup karena tubuhnya membeku? Tidak ada!

Tetapi senyum itu mulai pudar saat jam tangan pemberian lelaki pujaannya menunjukkan pukul 19.15 WIB dan belum ada tanda-tanda kereta itu akan berangkat. Lalu suara perempuan itu menghancurkan hatinya kembali, luluh lantak.

“Diberitahukan kepada penumpang kereta Senja Utama yang sedianya akan berangkat pukul 19.00 WIB jurusan Stasiun Senen, Jakarta, Tujuan Stasiun Tugu, Yogyakarta, belum bisa diberangkatkan karena gerbong lokomotif telah dicuri!”

Nhaz menggigit bibirnya karena sekali lagi keinginannya diinterupsi oleh Takdir. [ ]

Kamis, 02 Juli 2015

Kamisan03 #12 Aku di Mana?



Hal pertama yang Asa sadari ketika terbangun sore itu adalah secarik kertas di tangan kanannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya atau kalimat itu terputus. Ada yang merobek kertas itu. Atau terenggut entah oleh siapa.
Tiada satu ingatan pun tinggal di benaknya. Belum sempat ia berusaha meraih memori masa lalunya, Asa mendadak merasakan kepalanya berdenyut. Tangan kirinya tak menemukan setetes darah atau benjolan apapun yang bisa menjadi sumber denyut yang mengusiknya itu. Sekonyong-konyong telinga kirinya menangkap dengungan keras yang bukan berasal dari keramaian para pengguna jalan.

Asa mengangkat pipinya dari trotoar yang hangat. Dengan bertelekan menggunakan tangan kiri pada trotoar jalan, ia berusaha memberi tubuhnya untuk sekali lagi mengingat. Betapa sukar mengenang apa yang tak ingin dilupakan. Terlebih saat hal itu tidak diketahui. Perempuan itu sungguh tidak tahu apa yang ia cari di ingatannya. Ia merasa seperti Teresa ketika tiba di the Glade dalam film The Maze Runner. Asa tak menemukan sedikitpun jejak dirinya di masa lalu, tak ada ingatan akan masa kecil yang bahagia, atau ingatan akan patah hati. Kemudian, setelah memindahkan berat tubuhnya pada tangan kanan, perempuan itu menaikkan dagunya, memandangi awan-awan yang tersaput warna jingga, memejamkan mata lalu menghidu rakus-rakus udara kotor penuh asap knalpot.

Di akhir helaan nafasnya, Asa dibangunkan oleh lengking klakson kendaraan yang berderet menanti giliran untuk beranjak. Perempuan itu berdiri pada kedua kakinya sendiri. Meneliti secara serampangan akan apa yang ia punyai. Sepasang sepatu kain yang solnya coklat oleh noda tanah liat yang entah di mana ia dapatkan. Kaos longgar yang terlalu besar untuk postur badannya, lengan pendek yang di lengan kanannya kotor oleh debu. Rambut sepunggung yang entah kapan tumbuh sepanjang itu, terikat ekor kuda. Yang agak mengesimakan adalah celana jeans biru yang bersih, bukan saja karena ia tak ingat pernah menyukai mengenakan celana jeans, tapi juga tak yakin ia pernah memiliki sehelai saja celana panjang.

Empat kantong celananya tak menyimpan harta apapun, bahkan dompetpun tak ada, apalagi tanda pengenal. Satu-satunya modal adalah secarik kertas yang tak ia tahu fungsinya. Asa menatap kertas itu tanpa gairah. Ada garis belang di pergelangan tangannya, barangkali bekas jam tangan atau gelang. Siapa yang tahu? Siapa yang perlu jam atau gelang pada waktu begini. Perempuan itu menyeka keningnya yang lengket menggunakan punggung tangan. Satu dua serpih kerikil tanggal dari pipinya yang tadi menempel ke trotoar jalan.

Sambil menaungi matanya, Asa mengedarkan pandangan ke sekeliling. Deretan mobil tak bergerak, lampu-lampunya menyala merah dan kuning. Udara berwarna kuning pucat, baunya bikin mual. Perempuan itu mencoba mencari asal muasal bau itu, namun menyerah setelah ingatannya tak membantu suatu apa. Ia hampir putus asa mencari sesuatu yang barangkali bisa ia lakukan saat itu. Sebentar lagi senja turun.
“Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya,” Asa menggumam seolah itu adalah mantra sihir yang bisa membelah bumi dan menunjukkan jalan yang tak secuilpun ia kenali. “Atau...” rambut halus di tengkuknya meremang.
Apa yang harus aku lakukan? Asa kembali menekuri kertas di tangannya.

Tiba-tiba ia menoleh ke seberang jalan. Alamak! Seakan satu kilo jarak di matanya. Matanya menyipit. Angin laju menggoyangkan ujung rambutnya. Asa mengangkat tangannya, perlahan, diliputi keraguan, melepaskan pegangannya pada kertas di tangannya. Berjalanlah kemana orang mati menunjuk. Cepat!! Sebelum matahari tenggelam kau harus sudah menemukannya, atau...

Asa menatap ke depan dan ke belakang. Nun jauh di sana, tertangkap olehnya patung pancoran. Patung = orang mati, pikirnya. Berjalan ia mendekati patung itu. Mula-mula pelan, namun sejurus kemudian ia berlari. Tak ada satu butir keringatpun tumbuh di keningnya atau tangannya atau ketiaknya.

Apa yang akan terjadi seandainya aku tidak sampai di sana sebelum matahari tenggelam? Senja membunuh. Apakah aku akan mati bila senja menghilang?makhluk macam apa yang mati karena munculnya bulan? apakah aku ini sejenis vampir siang hari? Yang terbakar bila terkena sinar bulan?
Nafas Asa tidak memburu sedikitpun. Jantungnya tidak memompa darah membabi buta. Seolah jarak yang ia tempuh bukanlah kerja keras. Perempuan itu membuka telapak tangannya untuk mengagumi tubuhnya. Tak terasa suatu keganjilan. Tapi ia takut. Lalu ia sadar bahwa garis tangannya berbeda. Hanya ada dua garis di sana, salah satunya melintang lurus dari kelingking hingga di bawah jari telunjuk. Namun Asa dengan segera memutuskan untuk mengabaikannya, tak ada waktu. Ia lebih peduli pada patung pancoran yang kini menjulang di hadapannya.

Lalu apa?

Kepalanya kembali berdenyut. Suara dengung kini menghebat di telinga kirinya. Tuli, hampir.

Asa menghadap pada arah tangan patung di atasnya menunjuk. Ke sana? Apa yang sedang menunggunya?

Sinar oranye matahari tak lagi menyentuh tanah. Hampir-hampir hilang dari pucuk-pucuk gedung tinggi di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang ia meloncat turun ke jalan, menyebrang. Sebuah mobil dengan plat 2 angka meluncur deras di tikungan. Tak sedikitpun Asa melihatnya, kepalanya menoleh ke depan, jalan tanpa ujung yang akan ia tempuh. Tiba-tiba dingin menyelimuti tubuhnya. Ia meloncat sekali lagi, hap! Dan mobil itu melaju tak acuh di belakangnya. Tak ada umpatan. Tiada gubrisan. Mereka berjalan bersisian untuk sejenak. Lalu mobil itu melenggang mendahului Asa.

Pada suatu jarak, mobil ungu itu berhenti. Tertahan gerombolan besi keras yang menderu mesin-mesinnya. Di atas sana, langit telah berwarna tembaga. Perempuan itu memalingkan pandangan kepada trotoar yang rusak di beberapa bagian, seakan ia membenci senja, seolah senja menyakiti matanya. Asa mengusap tangannya yang telanjang, dingin. perempuan itu memperhatikan kulitnya seperti takut jikalau kulitnya mengeluas, terbakar oleh bulan, memusnahkan dirinya, hilang. Barangkali tak akan ada yang menangisi bila ia menghilang.

Asa tidak mendengar seruan lelaki itu pada kesempatan pertama dan kedua. Ia terlalu khusuk memperhatikan trotoar. Kemudian lelaki itu turun dari mobilnya, dan mengejar Asa. Menghalangi jalan Asa, menggoncang bahunya. Memanggilnya ‘Asa! Asa!’ Perempuan itu membisu memandang bibir biru lelaki di depannya. Hangat, segala dingin kini menghilang. Lelaki itu memeluk Asa penuh gairah. Seakan tak hendak ia lepaskan. Senja menjadi Hangat. Perempuan itu butuh pelukan! [ ]


*Senja Membunuh : judul Lagu Monkey To Millionaire