Kamis, 07 November 2013

kamisan #7 melankholia - saat engkau mengecewakan seseorang


Malam ini bulan tampak begitu pucat. Sinarnya jatuh tanpa gairah memenuhi ruang pandangku. Jalanan sepi, aspal jalan yang hitam menambah muram kesunyian.
Aku sering bilang bahwa aku sudah tidak punya hati lagi, tapi semalam aku merasakan ada yang teriris-iris di dadaku. Memang aku tidak bisa memastikan bahwa yang tengah teriris itu hatiku. Namun aku tak mampu mencari tahu bahwa itu bisa jadi adalah hal lain.
Aku (lagi-lagi) telah mengecewakan seseorang. Sepertinya aku memang berbakat sekali  tentang hal itu. Lalu apa yang bisa aku lakukan untuk mengatasinya?
Aku bahkan tengah dalam perjalanan kembali dari kerja ketika aku tahu bahwa aku telah mengecewakan seseorang. Menggigil oleh kegunaan pendingin udara yang dinyalakan untuk mengusir embun pada kaca mobil, aku duduk termenung di kabin belakang mobil, memenggengam telepon seluler yang baru saja mendapat sinyal dari tower relay dan menyampaikan padaku pesan-pesan secara bertubi-tubi dengan barisan huruf kecil yang terserak dan muncul leher serta kaki yang memanjang karena mengambil tempat begitu banyak dan hanya menyisakan sedikit tempat untukku bernapas. Kaca mobil yang dilapisi plastik film tak memberiku banyak kesempatan untukku mencari pemandangan nyata bagi kedua mataku yang lelah, telah lebih dari 10 jam aku berada di dalam mobil ini. Lelah, kursi mobil yang longgar dan berlapis kulit sungguh tak mampu menggairahkan kantukku. Aku tak  bernafsu untuk melampiaskan niatku beristirahat di atas permukaan kulit mati dan berbau keringat itu. Duduk murung sembari mengalihkan perhatiannku darilayar telepon seluler.
Didik, lelaki beranak satu yang jauh dari istri yang barangkali tengah menyusui bayi kecilnya itu tampak serius memandangi ujung cahaya lampu depan berwarna kuning yang seolah berlari menjauh dari kami. Tak ada nyanyian atau celoteh panjang yang biasa ia lontarkan untuk menjaga kesiagaannya agar mobil tak memberontak dan lari ke bahu jalan aspal yang tak mempunyai marka jalan. Aspalnya baru, entah belum sempat dibuatkan marka jalan atau memang uang untuk mengecat garis putih panjang itu telah digunakan seseorang untuk membuat tertawa orang lain yang cukup penting atau cukup berarti. Dalam malam gelap seperti ini jelas hal itu berbahaya, sungguh melelahkan bagi Didik untuk terus sepenuh perhatian menunggu kesempatan untuk sekadar mengendurkan sedikit kewaspadaannya. Bahkan jalanan pun seperti tak mengizinkan aku menikmati perjalanan pulang ini.
Kami bertiga di dalam mobil ini, tetapi tak ada daya hidup yang meu memenuhi udara dingin di antara kami. Pakdhe Hadi sepertinya terlelap dan enggan mempedulikan kesadaran Didik. Membiarkan Didik sendirian membawa kami lebih dekat pada tempat di mana aku biasa memerangkap diri dalam selimut kemalasan, membiarkan diri dikuasai nyamannya tempat tidur. Aku suka membuat diri terlena dan menganggap sinar matahari sebagai sesuatu yang jahat dan mampu melukai mataku, maka aku mengerut bersama khayalan di bawah atap seng yang membohongiku setiap kali aku merasa harus bangun, keremangan di mana-mana selalu berhasil membujukku mematung dan melesak lebih dalam di permukaan kasur yang mengembung pada pinggir-pinggirnya.
Pada akhirnya jalan hitam serta gelap itu berakhir juga. Habis di bibir teluk yang lebar memangsa waktu dan daya manusia yang ingin melompat ke daratan di seberang sana menjemput kemalasan yang melimpah diwartakan setan. Dengan merayap seperti sloth, mobil kami kemudian masuk ke dalam lambung sebuah kapal feri yang besinya sudah tua. Cat-catnya bengak tergusur oleh lubang udara yang terjadi oleh karat yang semakin tua menggerogoti besi pejal dibaliknya, menyembul seperti gundukan tanah dari makam seseorang yang baru dikuburkan siang tadi. Bau garam yang biasanya nikmat di lidah berubah menjadi amis dan menjijikkan bagi hidung dan paru-paruku. Aku turun dari mobil. Bermaksud untuk mencari angin malam berbau garam dan dingin di tingkat atas, aku berjalan miring menghindari untuk tidak terpapar permukaan mengilap dan lengket cat dinding lambung kapal seolah ada noda ataupun bakteri yang barangkali bisa menulari kerentaan kapal ini padaku. Aku agak takut saat harus melewati anak-anak tangga yang begitu sinis padaku. Rentang tangga itu tidak panjang dengan lebar yang tidak ramah bagi orang berpantat penuh. Setelah bersusah payah membawa badan kepada ruangan berangin kencang, kemudian aku mencari tempat yang menurutku nyaman untuk duduk.
Ruangan setengah tertutup itu lengang, seperti goa di sebuah bukit batu. Baunya sama seperti bau amis di dek bawah. Hanya ada bangku-bangkku kesepian yang permukaannya dingin. Kursi-kursi plastik itu seperti rerumputan di musim kemarau, payah dan compang-camping. Bahkan muka penjual makanan di gerai butut dekat tangga tampak mengantuk, matanya cekung, berwarna gelap bundar, tak terawat. Lelaki penjual mie instan itu tampaknya tidak memiliki persediaan senyum lagi, barangkali senyum-senyum itu sudah ia habiskan untuk orang-orang berseragam yang penuh bau keringat, atau pergi mengikuti angin karena tak tahan dikurung di balik petak kecil yang di batasi oleh gerai butut tadi.
Aku berjalan ke kursi berwarna biru gelap di bagian belakang, jauh dari bau mulut manusia. Aku keluarkan telepon selulerku dari kantong tas yang kotor oleh debu. Garis-garis pendek di sudut atas layar telepon selulerku yang sombong tak memuaskan aku. Dalam gerak orang yang kalah aku memencet nomor kontak di phone book. Setelah nada sambung yang menjengkelkan kemudian penghitung waktu di layar teleponku mulai berjalan. Aku memasang headset, dan mulai mendengarkan dengus napas di seberang sana, tanpa suara. Tanpa memedulikan penjelasan yang mungkin seharusnya ingin ia dengar aku mengucapkan maaf. Aku tak peduli akan serapah apa yang mungki ia mampu tujukan padaku, aku bertekad untuk menyerah, melayani semua tuduhannya tanpa bantahan. Kemudian, seiring dengan angin berbau tanah di seberang yang menyapu bau garam dari hidungku, barangkali ia lelah, lalu mulai tersenyum. Aku mendengar senyum yang manis sekali dari suara feminim di sebarang sana. Lalu, seolah kapal melaju dengan daya hidup yang sempurna, riak besar berkecipak dengan riang di bawah sana. Dan penderitaan di bahuku lenyap begitu saja. Tawa dalam suaranya yang merdu benar benar mengangkat kemurungan dari mataku. Kemudian bintang-bintang muncul dengan sopan di hamparan langit, di sana, di sebelah utara, penuh kepercayaan diri memamerkan bintang terindahnya di langit utara.
Tiba-tiba aku rindu pada kasurku yang hangat, aku ingin lelap, mengunjungi mimpi yang baik hati, menyapa hari esok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar