Judul : Burung-Burung Manyar
Penulis : Y. B. Mangunwijaya
Penerbit : Djambatan
Tahun terbit : 1999, cetakan kedelapan
ISBN : 979-428-358-4
Saya termasuk orang yang tidak peduli dengan cover buku, jadi saya
tidak akan membahas cover buku ini. Judul, selain cover, juga bukanlah
hal yang membuat saya tertarik pada sebuah buku atau tidak.
Buku ini terbagi atas tiga bagian, bagian pertama menceritakan
peristiwa antara tahun 1934-1944, lalu bagian kedua menceritakan
peristiwa antara tahun 1945-1950, dan bagian ketiga menceritakan
peristiwa antara tahun 1968-1978.
Bagian pertama, seperti kita tahu, tahun 1934-1944 adalah tahun
sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Bagian pertama buku ini menceritakan
masa kecil Teto dan Atik, tokoh Utama buku ini. Teto, atau yang
mempunyai nama asli Setadewa, adalah anak dari seorang ningrat Jawa yang
menjadi seorang Letnan KNIL, yang lahir dari rahim seorang perempuan
Belanda. Sementara Atik, Larasati, anak dari ibu yang masih punya
hubungan dengan lingkungan keraton, dan seorang ayah dari rakyat, bukan
keturunan ningrat Jawa. Pada bagian pertama ini diceritakan bagaimana
Teto dan Atik tumbuh dalam dunia yang berbeda. Teto, yang Papi dan
Maminya yang kental dengan pengaruh dari Belanda, tumbuh dengan
menjalani kehidupan anak kolong, yang sedikit banyak kemudian
mempengaruhi bagaimana Teto memandang hidup. Sementara Atik, tumbuh
menjadi perempuan berpendidikan yang bisa dibilang perempuan modern,
namun tetap tidak melupakan akar budayanya sendiri.
Pada bagian kedua buku ini, menceritakan tentang peristiwa yang
terjadi di rentang tahun 1945-1950. Diceritakan bagaimana peristiwa
selama masa kemerdekaan mengubah kehidupan Teto dan Atik secara drastis,
dan bertolak belakang. Teto, yang menaruh kebencian kepada Jepang, yang
telah merenggut keluarganya, kemudian menjadi tentara KNIL, melawan
republik yang menurut pemahamannya adalah sekutu Hepang. Sementara Atik
yang berpendidikan baik, berdiri di pihak republik.
Di bagian ketiga buku ini, diceritakan Teto dan Atik pada usia matang
mereka. Ah, sebaiknya saya tak bicara terlalu banyak tentang bagian
ketiga ini, tidak adil rasanya kalau saya bicara terlalu banyak, saya
takut bahwa ada kemungkinan saya merenggut keasyikan membaca buku ini.
Buku ini terbit pertama kali pada tahun 1981, dari sana saya kemudian
menjadi maklum dengan begitu banyaknya kata-kata yang masih menggunakan
bahasa Jawa dan Belanda. Tapi tak menjadi soal, sebab ada banyak
catatan kaki seandainya tidak paham dengan beberapa kata bukan dalam
bahasa Indonesia. Dengan ejaan dan tata bahasa yang belum menggunakan
EYD bahasa Indonesia mutakhir, hal itu justru membuat saya menikmati
bahasa yang digunakan penulis, seperti juga saya menikmati
tulisan-tulisan klasik penulis Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar