Sudah seminggu ini aku tak melihat
Asa. Pintu kamar kosnya selalu rapat tertutup. Terakhir kali aku masuk ke
kamarnya, kira-kira sepuluh hari yang lalu, kusangka ia tengah menggali kuburnya.
Kertas HVS putih berhamburan seperti asap menguar di udara. Beberapa gumpal
kertas yang ia bulatkan dengan tangan memenuhi keranjang sampah plastik
berwarna abu-abu. Beberapa lagi terserak di sekitarnya. Sementara Asa kokoh
duduk di depan meja menghadapi laptop yang menyala. Tak tampak sekalipun
minatnya untuk sekadar menoleh dan menyapaku.
Perempuan itu memutuskan keluar dari
tempat kami bekerja sebulan yang lalu. Ia bilang butuh suasana baru. Kendati aku
yakin bahwa sesungguhnya Asa mengundurkan diri karena tidak tahan melihat
Sustri bahagia. Pigor, kekasih Asa, tertangkap basah selingkuh dengan Sustri
ketika Asa dan Pigor tengah mempersiapkan desain undangan pernikahan mereka. Asa
bukanlah perempuan yang sudi berkompromi perkara selingkuh. ia mengabaikan
semua rencana pernikahannya dengan Pigor. Hingga kemudian akhirnya Pigor
menikah dengan Sustri. Tiga hari setelah Sustri kembali masuk kerja usai cuti
bulan madu, Asa tidak lagi masuk kantor. Asa mulai tidak masuk kantor tepat
ketika sebuah cerpennya dimuat di koran nasional.
Waktu itu aku baru saja pulang dari
kantor ketika Asa muncul di depan pintu kamarku. Ia bilang ia butuh bantuanku. Bau
kecut tercium dari badannya ketika aku berjalan di belakangnya. Rambutnya belum
disisir. Di kamarnya, ia menunjukkan sebuah gaun putih. Asa ingin aku mengambil
foto ketika ia mengenakan gaun itu. Perempuan itu menjadi pendiam selama
memakai gaun itu; secara cermat ia memperhatikan lipatan-lipatan kecil yang
mengembang itu. Ia melihatku di dalam cermin tempat ia mematut diri dan
memaksakan sebuah senyum.
“Aku sedang menulis tentang seorang
pengantin perempuan, jadi aku ingin merasakan bagaimana rasanya mengenakan gaun
pengantin dan juga bagaimana seorang perempuan tampak dalam gaun pengantin.” Aku
sesungguhnya tidak ingin benar mengetahui alasannya, tetapi tampaknya Asa
merasa perlu untuk menjelaskan hal itu.
Kemudian aku mengambil beberapa foto
seperti yang ia minta. Asa bergaya dalam beberapa pose; sementara tidak dalam
satu fotopun dia tertangkap kamera tengah tersenyum. Sesungguhnya, Asa tampak
seperti bidadari seperti dalam iklan televisi atau dongeng-dongeng. Ia begitu
terserap dalam perannya sebagai mempelai wanita. Setelah itu, tanpa melepas
kembali gaunnya, perempuan itu lalu duduk di kursi kerjanya, memandangi laptop,
mengetikkan sesuatu, lalu memejamkan mata sejenak untuk kemudian mengetik lagi.
Aku duduk di ranjang Asa sambil
memindahkan foto-foto itu ke dalam ponselnya. Kasurnya begitu rapi dan halus,
berbeda sekali dengan keadaan kamar itu sendiri di mana segalanya teronggok
kasar tanpa perhatian; seolah kasur itu tidak pernah ditiduri. Aku mengabaikan
selembar kertas penuh deretan huruf yang terinjak di bawah kakiku. Bukan sama
sekali tak tertarik; Asa pasti akan memintaku membacanya jika ia ingin aku
membaca tulisannya.
Karena tidak tahu apa yang harus aku
lakukan, aku kemudian menghampiri Asa. Meletakkan ponselnya di sebelah laptop. Tulang-tulang
bahunya terasa menonjol ketika aku menelekan tanganku di sana. Entah didorong
oleh apa, aku memeluknya sekejap, mencium pipinya lalu meninggalkan kamar.
Dua hari setelah itu ia muncul tiba-tiba
dari celah pintu kamarnya ketika aku baru saja akan membuka pintu kamarku.
“Aku harus sembunyi untuk sementara
waktu. Tulisan terakhirku ternyata membuat beberapa orang marah.” bisiknya pelan
tanpa membuka celah pintunya lebih lebar. Aku hanya bisa melihat separuh
wajahnya. Ada lingkaran hitam di matanya. Dan Asa masih mengenakan gaun putih
tempo hari.
“Apa yang kamu tulis?”
“Bukan hal penting.”
Aku menyipitkan mataku. “Mana
mungkin? Kalau tidak penting, kenapa kamu harus sembunyi?”
Perempuan itu mengibaskan tangan di
depan mukanya. “Pokoknya, kalau ada yang mencariku, bilang saja aku sudah
pindah dari tempat ini! Lagipula, aku memakai nama samaran. Hanya untuk
jaga-jaga saja.”
Aku mengangguk. Ia menutup pintunya
tanpa sapatah katapun. Bahkan ia tak menjawab ketika aku menanyakan apakah ia
sudah makan.
Sejak saat itu aku tak pernah lagi
melihat Asa. tak ada tanggapan apapun dari kamarnya kemarin ketika aku
menggedor-gedor kamarnya. Lampu kamarnya tak pernah lagi menyala sejak seminggu
yang lalu. Tadi pagi, ibunya menelponku dan menanyakan keadaan Asa. Aku tidak
tahu harus berkata apa kepada seorang ibu yang merasa kehilangan anaknya.
Aku sedang menatap keluar jendela
ketika selesai menelpon pemilik kosan mengenai situasi Asa. Ia memarahiku
karena memberitahukan keadaan itu sekarang. Di luar terang oleh sinar rembulan
yang tengah purnama. Cahaya bulan jatuh ke tanah menerobos celah-celah pohon. Lalu,
sesosok bayangan berpendar di balik batang pohon duku di halaman. Sesosok perempuan
bergaun putih itu melayang. Ia menoleh kepadaku. Namun, tak jelas benar raut
wajahnya. Ia menengadahkan wajahnya lalu menekuk kaki ke belakang. Perlahan, sosok
itu terangkat makin tinggi. Ketika aku kehilangan keterperanjatanku dan membuka
pintu kamar, aku berlari ke halaman. Tak ada siapapun di sana. Aku menatap
pintu kamar Asa. Kurasa sudah lama sahabaku jadi hantu.* [ ]
*Sahabatku Jadi Hantu adalah judul
lagu milik Dialog Dini Hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar