Kamis, 23 April 2015

Kamisan03 #7 Sahabat



Sudah seminggu ini aku tak melihat Asa. Pintu kamar kosnya selalu rapat tertutup. Terakhir kali aku masuk ke kamarnya, kira-kira sepuluh hari yang lalu, kusangka ia tengah menggali kuburnya. Kertas HVS putih berhamburan seperti asap menguar di udara. Beberapa gumpal kertas yang ia bulatkan dengan tangan memenuhi keranjang sampah plastik berwarna abu-abu. Beberapa lagi terserak di sekitarnya. Sementara Asa kokoh duduk di depan meja menghadapi laptop yang menyala. Tak tampak sekalipun minatnya untuk sekadar menoleh dan menyapaku.

Perempuan itu memutuskan keluar dari tempat kami bekerja sebulan yang lalu. Ia bilang butuh suasana baru. Kendati aku yakin bahwa sesungguhnya Asa mengundurkan diri karena tidak tahan melihat Sustri bahagia. Pigor, kekasih Asa, tertangkap basah selingkuh dengan Sustri ketika Asa dan Pigor tengah mempersiapkan desain undangan pernikahan mereka. Asa bukanlah perempuan yang sudi berkompromi perkara selingkuh. ia mengabaikan semua rencana pernikahannya dengan Pigor. Hingga kemudian akhirnya Pigor menikah dengan Sustri. Tiga hari setelah Sustri kembali masuk kerja usai cuti bulan madu, Asa tidak lagi masuk kantor. Asa mulai tidak masuk kantor tepat ketika sebuah cerpennya dimuat di koran nasional.

Waktu itu aku baru saja pulang dari kantor ketika Asa muncul di depan pintu kamarku. Ia bilang ia butuh bantuanku. Bau kecut tercium dari badannya ketika aku berjalan di belakangnya. Rambutnya belum disisir. Di kamarnya, ia menunjukkan sebuah gaun putih. Asa ingin aku mengambil foto ketika ia mengenakan gaun itu. Perempuan itu menjadi pendiam selama memakai gaun itu; secara cermat ia memperhatikan lipatan-lipatan kecil yang mengembang itu. Ia melihatku di dalam cermin tempat ia mematut diri dan memaksakan sebuah senyum.

“Aku sedang menulis tentang seorang pengantin perempuan, jadi aku ingin merasakan bagaimana rasanya mengenakan gaun pengantin dan juga bagaimana seorang perempuan tampak dalam gaun pengantin.” Aku sesungguhnya tidak ingin benar mengetahui alasannya, tetapi tampaknya Asa merasa perlu untuk menjelaskan hal itu.

Kemudian aku mengambil beberapa foto seperti yang ia minta. Asa bergaya dalam beberapa pose; sementara tidak dalam satu fotopun dia tertangkap kamera tengah tersenyum. Sesungguhnya, Asa tampak seperti bidadari seperti dalam iklan televisi atau dongeng-dongeng. Ia begitu terserap dalam perannya sebagai mempelai wanita. Setelah itu, tanpa melepas kembali gaunnya, perempuan itu lalu duduk di kursi kerjanya, memandangi laptop, mengetikkan sesuatu, lalu memejamkan mata sejenak untuk kemudian mengetik lagi.

Aku duduk di ranjang Asa sambil memindahkan foto-foto itu ke dalam ponselnya. Kasurnya begitu rapi dan halus, berbeda sekali dengan keadaan kamar itu sendiri di mana segalanya teronggok kasar tanpa perhatian; seolah kasur itu tidak pernah ditiduri. Aku mengabaikan selembar kertas penuh deretan huruf yang terinjak di bawah kakiku. Bukan sama sekali tak tertarik; Asa pasti akan memintaku membacanya jika ia ingin aku membaca tulisannya.

Karena tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku kemudian menghampiri Asa. Meletakkan ponselnya di sebelah laptop. Tulang-tulang bahunya terasa menonjol ketika aku menelekan tanganku di sana. Entah didorong oleh apa, aku memeluknya sekejap, mencium pipinya lalu meninggalkan kamar.

Dua hari setelah itu ia muncul tiba-tiba dari celah pintu kamarnya ketika aku baru saja akan membuka pintu kamarku.

“Aku harus sembunyi untuk sementara waktu. Tulisan terakhirku ternyata membuat beberapa orang marah.” bisiknya pelan tanpa membuka celah pintunya lebih lebar. Aku hanya bisa melihat separuh wajahnya. Ada lingkaran hitam di matanya. Dan Asa masih mengenakan gaun putih tempo hari.

“Apa yang kamu tulis?”

“Bukan hal penting.”

Aku menyipitkan mataku. “Mana mungkin? Kalau tidak penting, kenapa kamu harus sembunyi?”
Perempuan itu mengibaskan tangan di depan mukanya. “Pokoknya, kalau ada yang mencariku, bilang saja aku sudah pindah dari tempat ini! Lagipula, aku memakai nama samaran. Hanya untuk jaga-jaga saja.”

Aku mengangguk. Ia menutup pintunya tanpa sapatah katapun. Bahkan ia tak menjawab ketika aku menanyakan apakah ia sudah makan.

Sejak saat itu aku tak pernah lagi melihat Asa. tak ada tanggapan apapun dari kamarnya kemarin ketika aku menggedor-gedor kamarnya. Lampu kamarnya tak pernah lagi menyala sejak seminggu yang lalu. Tadi pagi, ibunya menelponku dan menanyakan keadaan Asa. Aku tidak tahu harus berkata apa kepada seorang ibu yang merasa kehilangan anaknya.

Aku sedang menatap keluar jendela ketika selesai menelpon pemilik kosan mengenai situasi Asa. Ia memarahiku karena memberitahukan keadaan itu sekarang. Di luar terang oleh sinar rembulan yang tengah purnama. Cahaya bulan jatuh ke tanah menerobos celah-celah pohon. Lalu, sesosok bayangan berpendar di balik batang pohon duku di halaman. Sesosok perempuan bergaun putih itu melayang. Ia menoleh kepadaku. Namun, tak jelas benar raut wajahnya. Ia menengadahkan wajahnya lalu menekuk kaki ke belakang. Perlahan, sosok itu terangkat makin tinggi. Ketika aku kehilangan keterperanjatanku dan membuka pintu kamar, aku berlari ke halaman. Tak ada siapapun di sana. Aku menatap pintu kamar Asa. Kurasa sudah lama sahabaku jadi hantu.* [ ]


*Sahabatku Jadi Hantu adalah judul lagu milik Dialog Dini Hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar