Deru mesin-mesin pabrik telah lama
berhenti ketika Sustri memutuskan menyudahi pekerjaannya sore itu. Kalau
sekadar menuruti kemauan bos, bukan tak mungkin ia harus pulang tengah malam. Lagipula
ada yang harus ia kerjakan sore ini. Sustri ada janji temu dengan seorang lelaki
yang ia kenal lewat twitter.
Sebelum pergi, Sustri pergi ke kamar
mandi. Di depan cermin Sustri memeriksa bentuk kerudungnya yang hari itu
berwarna biru. Setelah agak lama memerhatikan wajahnya di cermin, perempuan itu
mencopot kacamata silindernya. Sedikit-sedikit memicingkan mata mengetes
pandangannya. Kemudian, seolah ada sisa makanan di sudut bibirnya, Sustri
mengusap kedua ujung bibirnya dengan tangan kanan. Melihat bahwa keletihan
membekas jelas di wajahnya, perempuan itu kemudian membasuh wajahnya dengan air
keran, empat kali. Sambil bertelekan pada pinggiran wastafel, Sustri menimbang-nimbang akan ia apakan wajahnya. Setelah
mengusap bintik-bintik air di pipi kirinya, ia kemudian memutuskan untuk
membiarkan wajahnya polos tanpa polesan make-up.
Sustri kemudian melangkah pergi. Tapi baru satu langkah ia kemudian menengok ke
arah cermin, memastikan letak jilbabnya untuk terakhir kalinya. Tersenyum pada
dirinya sendiri di dalam cermin.
Dengan cermat ia memasukkan
barang-barangnya ke dalam tas. Charger ponsel
yang masih tertancap di colokan, flashdisk
berisi file film ‘Meet Joe Black’ yang akan ia serahkan pada lelaki itu
nanti. Terakhir, Sustri menggeser letak mouse
ke tengah bantalan mouse bergambar
Harry Potter yang sedang menghunus tongkat sihirnya, lalu berlalu meninggalkan
ruangan yang telah kosong itu.
Perempuan itu reflek meletakkan
tangannya di depan mata untuk melindunginya dari sinar matahari ketika ia
membuka pintu. Hawa panas sisa siang hari telah mereda dibawa pergi angin sore.
Pohon jambe di dekat pintu gerbang pabrik bergoyang pelan ujung-ujung daunnya. Sustri
membuang nafas panjang, seolah itu adalah awal hari yang baru untuknya. Sambil
mengucapkan Bismillah, ia melangkah
pelan, menekan luapan perasaan bahwa ia akan bertemu dengan seorang lelaki yang
seingatnya cukup terlihat tampan di ava
Whatsapp.
“Neng, nanti masak sayur kangkung dan
tempe goreng aja ya, ini kuncinya. Eh, sambelnya jangan lupa.” Teriak seorang
satpam dari bilik pos jaganya di gerbang masuk kawasan industri. Seorang rekannya
yang duduk di luar pos tertawa lebar menimpali godaan satpam itu.
Sustri masih menunduk menatapi jalan
aspal tempat kakinya memijak. Ia berusaha untuk tidak mendengar apapun yang
mampir ke telinga di balik kerudungnya. Perempuan itu memperbaiki letak
kacamatanya seolah kacamata itu telah melorot. Dari bingkai kacamatanya, Sustri
dapat melihat kumpulan tukang ojek yang menunggu di pinggir jalan keluar
komplek kawasan industri. Seketika Sustri cemberut. Namun begitu, ia terus
berjalan, semakin khusuk menekuri jalan aspal yang mulai berlubang. Sustri
harus mulai memilih jalan halus yang akan ia lewati. Perempuan itu berhati-hati
berjalan menyamping agar tak menyenggol motor-motor berdebu yang diparkir
memakan jalan.
“Mah, masak apa tadi di rumah?”
“Neng, jalan aja nih? Ojek-ojek atuh,
gratis buat Neng, mah.” Celetuk seorang tukang ojek yang duduk di atas sadel
motornya.
Sekali lagi Sustri berusaha menulikan
telinga. Memandang tajam ke ujung sepatu. Mulutnya monyong seakan marah pada
debu yang mengotori ujung sepatunya. Dahulu, Sustri pernah sengaja naik ojek
agar tidak digoda lagi. Tapi apa lacur? Percuma, rutinitas itu tak pernah
berhenti. Sejak itu ia tak pernah mencoba peduli akan goda-goda mereka. Lebih sering
perempuan itu mengenakan earphone di
balik kerudungnya, meski lebih sering sia-sia karena suara musik kadang terlalu
lembut sehingga dengan mudah dirusak celoteh kurang ajar mereka.
Namun semua itu reda ditelan belokan
jalan. Dengan sedikit katarsis helaan nafas seperti biasa, Sustri melanjutkan
perjalanannya. Teringat pada lelaki yang barangkali telah menunggunya di warung
mie ayam di dekat kos, Perempuan itu kemudian memeriksa tas, flashdisk tidak lupa ia bawa. Ada di
dalam tas. Melihat botol minyak zaitun di sana, Sustri mengeluarkannya. Meneteskan
sedikit di pergelangan tangannya, menutup botol lalu memasukkannya ke dalam
tas. Sambil masih berjalan, ia menggosokkan kedua pergelangan tangannya,
menghidunya sekejap, lalu menempelkan pergelangan tangannya ke kerudung dan
bajunya. Sore masih merayap, hangat, angin sore menabur debu ke udara.
Bulat matahari menuju senja malu-malu
bersembunyi di balik bangunan-bangunan pabrik; rumah-rumah tua yang miring;
ruko-ruko mentereng yang warnanya seperti pelangi. Sustri kadang meloncat
seleret cahaya mentari yang jatuh ke trotoar, seolah sedang meloncati tanggul
dari cahaya. Perempuan itu tak berniat berlomba balap dengan angkot-angkot
atau kendaraan pribadi yang tak peduli dengan rambu-rambu lalu lintas atau
lampu merah. Sopir-sopir angkot yang memanggil-manggilnya untuk naik. Tidak,
sustri tengah menikmati jalan kaki.
Warung mie ayam yang ia tuju itu
masih agak jauh, tetapi sudah tampak dalam jangkauan matanya. Tempat itu berada
di kanan jalan. Dan masih ada sekitar seratus meter lagi jalannya. Namun, ada
pedagang-pedagang kaki lima yang memisahkannya dari warung itu.
pedagang-pedagang itu memenuhi trotoar dengan barang jualannya. Mau tak mau
Sustri harus turun dari trotoar. Perempuan itu masih berjalan sambil mengamati
jalan aspal tempat ia berpijak. Kemudian, dari arah depan, sebuah motor yang
melawan arus oleng karena roda depannya masuk ke satu lubang yang agak dalam. Stang
motor itu menarik tangan kanan Sustri yang erat menggenggam tali tas
selempangnya. Beruntung ia tidak sampai jatuh. Tapi motor itu kemudian jatuh
menabrak sisi luar trotoar. Pengemudi motor itu menggeram seperti seekor anjing
yang berahi. Sustri sambil mengusap lengannya yang tersangkut stang motor
berlari seperti seorang buronan dengan menahan sakit.
Setelah agak jauh, baru Sustri
berjalan seperti biasa. Lagi-lagi menghela nafas tak bosan-bosan. Mengatur detak
jantungnya karena warung mie ayam itu telah ada di seberangnya, juga untuk
meredakan ketegangan karena peristiwa di belakang tadi. Langit sore masih
terang. Matahari belum juga tenggelam. Ia masih berdiri menunggu lalu lalang
kendaraan agak sepi.
“Neng, sudah nikah?”
Sustri menoleh ke arah datangnya
suara. Seorang pemuda yang menggenggam tumpukan lembaran uang tengah tersenyum
ke arahnya. “Udah.”
“Suaminya mana?”
“Ada di rumah.”
“Waaaah kalau Aa punya istri kayak
Neng, pasti nggak akan ditinggal ke mana-mana sendirian.”
Sustri tak menghiraukannya. Ia melangkah
turun ke jalan. Berjalan cepat demi jalan lengang yang sebentar.
Perempuan itu berhenti di depan pintu
masuk, lalu memeriksa isi warung dari lubang pintu masuk. Ia melihat lelaki
itu, tapi entah kenapa enggan untuk menghampiri lelaki itu. lelaki itu terlihat
lebih tampan di dunia nyata. Sustri mengambil ponselnya dari tas. Membuka-buka
tab chat di ponselnya, lalu mengirimkan pesan pada lelaki itu.
‘aku
udah sampai. Kamu di mana?’
Dari sudut matanya, Sustri tak lepas
memperhatikan lelaki itu. Deg plash. Hampir saja perempuan itu pingsan kala
melihat lelaki itu mengambil tersenyum saat membuka pesan masuk diponselnya. Sustri
diam tak bergerak seperti patung lilin, ia lupa akan kejengkelan-kejengkelan
yang memenuhi hatinya sepanjang perjalan tadi. Lalu tak lama kemudian lelaki
itu menghampirinya.
***
“Kamu masih ingat flashdisk ini, Dek?”
Istriku tersenyum melihatku
menunjukkan Flashdisk miliknya itu.
ia kemudian duduk di pangkuanku setelah meletakkan segelas teh hangat untukku
di meja. “Tentu saja. Bagaimana mungkin aku lupa akan hal yang kemudian
mempertemukan kita?”
“Kenapa kamu bisa suka padaku?”
“Apa aku harus punya alasan untuk
suka padamu?” perempuan berpipi gemuk itu melingkarkan tangannya ke leherku.
“Katakan padaku, apa saja. Aku ingin
tahu.”
Ia mengamati kerah bajuku. ”Mmmmm
entahlah.”
“Ayo katakan padaku.”
“Baiklah... begini, kamu ingat pas
aku dateng terus aku chat kamu?” aku mengangguk. “Demi apa, pas melihat kamu
senyum, hatiku langsung lumer.”
Istriku itu langsung memerah pipinya.
“Sesederhana itu?”
Ia mengangguk dan mengecup pipiku
lembut. Setelah mencoba mengingat peristiwa itu tiba-tiba aku menjadi malu. Aku
tidak tega untuk mengatakan hal ini pada istriku: bahwa pada saat itu,
sesungguhnya aku tersenyum karena membaca pesan dari Asa, teman sekantor yang
mengiyakan ajakanku nonton bioskop keesokan harinya. Tapi aku tidak memberitahukan
hal itu, aku membalas ciumannya dan menggendongnya ke kamar. [ ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar