Sustri tidak bisa beristirahat karena
yang ia hadapi bukan sekadar rasa lelah. Bis malam yang ia tumpangi masih
melaju pelan di jalan yang gelap. Sesekali lampu kuning menyorot tajam dari
depan. Bila itu terjadi, Sustri akan cepat berlindung di belakang sandaran
punggung kursi di depannya. Sudah sejak dari berangkat ia tak mampu memejamkan
mata untuk sekadar tidur-tidur ayam. Di luar, kegelapan berlalu, ditinggal
tanpa ampun. Sustri mengusap lengannya sambil membayangkan udara beku menjelang
fajar.
Perempuan itu membelitkan kedua
tangannya di depan dada. Memeluk dirinya sendiri lebih erat. Kulitnya mengeras
oleh udara dingin. Tak ada gunanya menyesali naik bis patas-ac sekarang ini. Cuma
bis patas-ac ini saja sekarang yang melayani rute Jogja-Karawang. Memang kini
ia tak perlu repot memilih bis apa yang akan ia tumpangi. Namun juga tak
gembira. Meski semuanya masuk akal. Ya, dilayani dengan satu armada pun tak
semua kursi terisi. Hanya ada 12 orang lain selain dirinya di bis itu. Lelaki dengan
parfum wangi yang tadinya duduk di sebelah kini telah menghilang di salah satu
kursi tak berpenghuni di belakang sana. Baguslah! Sepi itu indah. Percayalah! Membisu
itu anugrah.1
Lampu di langit-langit menyala ketika
bis melewati jembatan Cikampek. Sustri menaikkan tudung jaketnya. Pandangannya terlempar
ke sepanjang jalan raya yang terasa akrab di benaknya. Tiga tukang ojek telah
sedia di pertigaan jalan menuju kawasan industri di mana salah satunya adalah
tempat Sustri mendapat gaji bulanan di masa lalu.
Itu lima tahun yang lalu. Telah lama
rupanya, Sustri terserap oleh kesadarannya. Perempuan itu membungkukkan
tubuhnya. Merosot sedemikian rupa sampai tangannya terjulur ke dalam goodie bag yang ia taruh di bawah kursi.
Ia mengeluarkan selembar kertas putih ukuran A4 yang ia terima kira-kira
seminggu lalu. Sustri mengamati lagi gambar itu dengan teliti. Seorang lelaki
berpakaian daun sedang berbisik di depan sekuntum bunga merah dan perempuan
yang duduk di atas sulur pohon yang sama tampak khidmat mencoba menangkap apa
yang dibisikkan lelaki itu. “Apa yang hendak kau sampaikan?” bisiknya lemah
sambil mengusap pipi lekaki di dalam gambar itu.
Sustri meletakkan kertas itu di
pangkuannya. Gambar itu tiba tiga hari setelah ia bercerai dengan suaminya. Entah
dari mana Pigor mengetahui kabar perceraiannya. Tahukah Pigor? Ah lelaki itu
masih saja tak dapat ditebak. Sejak kapan Pigor bisa menggambar sebagus gambar
di pangkuannya itu? Sustri hanya tahu bahwa Pigor suka membaca.
Dahulu, setiap hari gajian Pigor selalu
menyeret Sustri ke toko buku pertama yang ada di Karawang, yang ia tahu. Setelah
memilih satu eksemplar buku yang mereka anggap menarik, mereka akan pergi ke
Karang Pawitan. Duduk membaca di sebelah lapangan basket yang garis-garis
pembatasnya telah memudar, hilang di beberapa bagian. Saat banyak orang
mengambil jeda hidup mereka dari kerja tanpa lelah bersama mesin-mesin pabrik
yang tidak mempedulikan kemampuan manusia, dengan bermain basket, atau
berjalan-jalan memutari lapangan luas di sebelah lapangan basket, atau
duduk-duduk memandangi orang-orang itu sambil menikmati jajanan serta makan
malam, maka mereka akan duduk di sana berdiam-diam dengan menekuri buku
masing-masing sambil menghadapi semangkuk wedang
ronde.
Mereka akan di sana sampai larut malam. Seringkali
sampai buku-buku itu selesai mereka baca. Mendekati tengah malam, mereka akan
beranjak ke Karawang Teather, atau naik ke arena permainan billiard. Pernah suatu
malam, ketika mereka pulang dalam malam hujan, Pigor nekat menawar jaket
seorang penumpang dalam angkot yang mereka tumpangi hanya karena Sustri tak
mengenakan jaket malam itu. Jaket hitam bergambar lambang band Red Hot Chilli
Peppers dengan tudung kepala. Jaket itulah yang Sustri kenakan saat ini.
Itu adalah malam terakhir Sustri di
karawang. Pagi berikutnya, ia mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal. Sehabis Maghrib
Pigor mengantarkannya ke Cikopo, lalu naik bis malam jurusan yang pertama lewat
malam itu. Hari berikutnya, Sustri tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke
karawang, tidak tega membiarkan ibunya hidup sendirian di kampung. Empat bulan
kemudian, seorang tetangga melamarnya. Hampir lima tahun ia melupakan sosok
Pigor sebelum gambar itu tiba dalam sebuah paket bersama buku farewell
party-nya Milan Kundera. Buku pertama yang Pigor beli di Karawang bersama
Sustri. Perempuan itu menyukai buku itu.
Sustri terkesima ketika bis yang ia
tumpangi tiba di sebuah jalan besar yang tidak ia kenali. Jalan itu besar dan
hitam, tampak baru. Perempuan itu seolah tercerabut ke kenyataan. Di mana ia
berada saat itu? Ia tak pernah ingat ada jalan sebesar itu di karawang. Sustri
tidak lagi mengenali wajah baru pasar Kosambi. Yang membuatnya sadar bahwa ia
akan turun sebentar lagi adalah kios bubur Bandung di pengkolan pertigaan pasar
Kosambi.
Gambar di pangkuannya ia masukkan
kembali ke goodie bag-nya. Perempuan itu
berdiri untuk menurunkan tas ransel dari tempat tas di atas. Pom bensin Duren
telah tampak tak jauh di depan sana. Sustri pergi ke depan lalu duduk di kursi
dekat pintu. Tak ada kondektur. Bis itu berhenti tepat di jalan masuk kampung
Duren.
Sustri diam sejenak ketika ia turun dari
bus. Debu tebal mengepul di belakangnya. Bau comberan di pinggir
jalan anyir
terhidu cuping hidungnya yang bergerak-gerak menghirup udara pagi. Langit telah
terang meski matahari belum jatuh ke tanah. Gapura di depannya masih sama. Tak jua
terlihat cat baru di sana.
Seorang penjual nasi kuning tengah
melayani para karyawan yang menunggu bus jemputan di pinggir jalan. Nasi kuning
langganan yang sambalnya nikmat, manis serta pedas bercampur dengan liat. Sustri
pergi duduk di kursi plastik berwarna merah. Ia tidak buru-buru memesan nasi
kuning untuknya. Jantungnya bergemuruh, ramai seperti riuhnya celoteh para
karyawan pabrik yang berebut dilayani. Mata perempuan itu tak lepas dari ujung
gang tak jauh dari tempat ia duduk. Benaknya memainkan sebuah adegan ketika
Pigor akan terkejut menemuinya di sana. Namun alam bawah sadarnya seakan
berkhianat padanya. Sustri tidak mampu menemukan bayangan wajah Pigor di
ingatannya.
Angin pagi berhembus. Dinginnya menembus
tudung jaketnya, menggigit tengkuk. Ujung sinar matahari telah jatuh di
kakinya. Tak seorangpun ia kenali di antara gerombolan manusia dengan seragam
kerja yang munkin bekas dipakai kemarin. Tiada pula orang yang mengenalinya.
Sustri tidak lagi merasa yakin bahwa keputusannya tepat. Ia teringat saat-saat
ketika ia menunggu suaminya pulang ke rumah. Sehari, seminggu, sebulan... yang
pulang pada telinganya hanyalah gunjingan tetangga. Wajahnya pucat disaput
ingatan.
Sustri berdiri, lalu memesan dua bungkus
nasi kuning. Kenyataan bahwa penjual nasi kuning itu masih mengenali tak
sedikitpun mengusik kelusuhan dari raut mukanya. Sustri meminta ekstra sambal
lalu membayarnya.
Langkah kakinya gamang. Ketika berdiri
di depan gang, ia menghela nafas panjang. Dulu, sependek ingatannya, lorong gang
itu agak sempit, dan tidak sepanjang saat ia melewatinya pagi itu. Biasanya, ia
akan menoleh ke belakang untuk mengajak Pigor bicara. Tembok lorong itu makin
kotor dan berlumut setelah lima tahun. Sustri memasukkan sebelah tangannya ke
saku jaket.
Teleponnya bergetar tepat ketika
perempuan itu keluar dari lorong dan tiba di areal petakan kamar. Sustri
berhenti di teras kamar yang dulunya adalah bekas kamarnya. Ia duduk di dudukan
pembatas kamarnya dulu dengan kamar Pigor. Keset karet berwarna merah dengan
logo klub bola Liverpool terpasang di depan pintu kamar di sebelah bekas kamar
kontrakannya dulu. Pigor masih tingal di sana.
“Yaa... “ sapanya cepat-cepat ketika
melihat nama Pigor di layar ponsel.
“Hai... kamu di mana?” tawa Pigor masih
sama seperti dulu.
“Kenapa memangnya?”
Lagi-lagi ia tertawa. Menyebalkan. “Coba
tebak aku di mana!”
“Ah paling di kasur!”
“Ngawur! Sudah, buruan mandi, dandan
yang cantik! Aku di Terminal Jombor. 15 menit lagi aku sampai rumahmu.”
“Sinting!!”
“Kenapa? Kamu tak suka aku main ke
rumahmu?”
“Bukan begitu...”
“Lalu?” Sustri menjatuhkan bungkusan
nasi kuningnya ke lantai. Entah bagaimana, dia tiba-tiba menangis.
”Heh.. kamu
kenapa? Malah nangis? Aku salah ya datang ke jogja?”
“Beleguk! Aku di depan pintu kamar kontrakanmu
sekarang!” hardik Sustri setengah berteriak.
“Apa?” seolah lelaki itu tak mendengar
teriakan Sustri. Lalu ia tertawa. keras sekali. Sustri turut tertawa, meskipun
kecil, masih dengan menangis. [ ]
1. Sepi itu indah. Percayalah! Membisu itu anugrah. = lirik lagu Hujan Di Mimpi ~ Banda Neira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar