Kamis, 18 Juni 2015

Kamisan03 #11 Sinting!!


Sustri tidak bisa beristirahat karena yang ia hadapi bukan sekadar rasa lelah. Bis malam yang ia tumpangi masih melaju pelan di jalan yang gelap. Sesekali lampu kuning menyorot tajam dari depan. Bila itu terjadi, Sustri akan cepat berlindung di belakang sandaran punggung kursi di depannya. Sudah sejak dari berangkat ia tak mampu memejamkan mata untuk sekadar tidur-tidur ayam. Di luar, kegelapan berlalu, ditinggal tanpa ampun. Sustri mengusap lengannya sambil membayangkan udara beku menjelang fajar.


Perempuan itu membelitkan kedua tangannya di depan dada. Memeluk dirinya sendiri lebih erat. Kulitnya mengeras oleh udara dingin. Tak ada gunanya menyesali naik bis patas-ac sekarang ini. Cuma bis patas-ac ini saja sekarang yang melayani rute Jogja-Karawang. Memang kini ia tak perlu repot memilih bis apa yang akan ia tumpangi. Namun juga tak gembira. Meski semuanya masuk akal. Ya, dilayani dengan satu armada pun tak semua kursi terisi. Hanya ada 12 orang lain selain dirinya di bis itu. Lelaki dengan parfum wangi yang tadinya duduk di sebelah kini telah menghilang di salah satu kursi tak berpenghuni di belakang sana. Baguslah! Sepi itu indah. Percayalah! Membisu itu anugrah.1

Lampu di langit-langit menyala ketika bis melewati jembatan Cikampek. Sustri menaikkan tudung jaketnya. Pandangannya terlempar ke sepanjang jalan raya yang terasa akrab di benaknya. Tiga tukang ojek telah sedia di pertigaan jalan menuju kawasan industri di mana salah satunya adalah tempat Sustri mendapat gaji bulanan di masa lalu.

Itu lima tahun yang lalu. Telah lama rupanya, Sustri terserap oleh kesadarannya. Perempuan itu membungkukkan tubuhnya. Merosot sedemikian rupa sampai tangannya terjulur ke dalam goodie bag yang ia taruh di bawah kursi. Ia mengeluarkan selembar kertas putih ukuran A4 yang ia terima kira-kira seminggu lalu. Sustri mengamati lagi gambar itu dengan teliti. Seorang lelaki berpakaian daun sedang berbisik di depan sekuntum bunga merah dan perempuan yang duduk di atas sulur pohon yang sama tampak khidmat mencoba menangkap apa yang dibisikkan lelaki itu. “Apa yang hendak kau sampaikan?” bisiknya lemah sambil mengusap pipi lekaki di dalam gambar itu.

Sustri meletakkan kertas itu di pangkuannya. Gambar itu tiba tiga hari setelah ia bercerai dengan suaminya. Entah dari mana Pigor mengetahui kabar perceraiannya. Tahukah Pigor? Ah lelaki itu masih saja tak dapat ditebak. Sejak kapan Pigor bisa menggambar sebagus gambar di pangkuannya itu? Sustri hanya tahu bahwa Pigor suka membaca.

Dahulu, setiap hari gajian Pigor selalu menyeret Sustri ke toko buku pertama yang ada di Karawang, yang ia tahu. Setelah memilih satu eksemplar buku yang mereka anggap menarik, mereka akan pergi ke Karang Pawitan. Duduk membaca di sebelah lapangan basket yang garis-garis pembatasnya telah memudar, hilang di beberapa bagian. Saat banyak orang mengambil jeda hidup mereka dari kerja tanpa lelah bersama mesin-mesin pabrik yang tidak mempedulikan kemampuan manusia, dengan bermain basket, atau berjalan-jalan memutari lapangan luas di sebelah lapangan basket, atau duduk-duduk memandangi orang-orang itu sambil menikmati jajanan serta makan malam, maka mereka akan duduk di sana berdiam-diam dengan menekuri buku masing-masing sambil menghadapi semangkuk wedang ronde.

Mereka akan di sana sampai larut malam. Seringkali sampai buku-buku itu selesai mereka baca. Mendekati tengah malam, mereka akan beranjak ke Karawang Teather, atau naik ke arena permainan billiard. Pernah suatu malam, ketika mereka pulang dalam malam hujan, Pigor nekat menawar jaket seorang penumpang dalam angkot yang mereka tumpangi hanya karena Sustri tak mengenakan jaket malam itu. Jaket hitam bergambar lambang band Red Hot Chilli Peppers dengan tudung kepala. Jaket itulah yang Sustri kenakan saat ini.

Itu adalah malam terakhir Sustri di karawang. Pagi berikutnya, ia mendapat kabar bahwa ayahnya meninggal. Sehabis Maghrib Pigor mengantarkannya ke Cikopo, lalu naik bis malam jurusan yang pertama lewat malam itu. Hari berikutnya, Sustri tahu bahwa ia tidak bisa kembali ke karawang, tidak tega membiarkan ibunya hidup sendirian di kampung. Empat bulan kemudian, seorang tetangga melamarnya. Hampir lima tahun ia melupakan sosok Pigor sebelum gambar itu tiba dalam sebuah paket bersama buku farewell party-nya Milan Kundera. Buku pertama yang Pigor beli di Karawang bersama Sustri. Perempuan itu menyukai buku itu.

Sustri terkesima ketika bis yang ia tumpangi tiba di sebuah jalan besar yang tidak ia kenali. Jalan itu besar dan hitam, tampak baru. Perempuan itu seolah tercerabut ke kenyataan. Di mana ia berada saat itu? Ia tak pernah ingat ada jalan sebesar itu di karawang. Sustri tidak lagi mengenali wajah baru pasar Kosambi. Yang membuatnya sadar bahwa ia akan turun sebentar lagi adalah kios bubur Bandung di pengkolan pertigaan pasar Kosambi.

Gambar di pangkuannya ia masukkan kembali ke goodie bag-nya. Perempuan itu berdiri untuk menurunkan tas ransel dari tempat tas di atas. Pom bensin Duren telah tampak tak jauh di depan sana. Sustri pergi ke depan lalu duduk di kursi dekat pintu. Tak ada kondektur. Bis itu berhenti tepat di jalan masuk kampung Duren.

Sustri diam sejenak ketika ia turun dari bus. Debu tebal mengepul di belakangnya. Bau comberan di pinggir 
jalan anyir terhidu cuping hidungnya yang bergerak-gerak menghirup udara pagi. Langit telah terang meski matahari belum jatuh ke tanah. Gapura di depannya masih sama. Tak jua terlihat cat baru di sana.
Seorang penjual nasi kuning tengah melayani para karyawan yang menunggu bus jemputan di pinggir jalan. Nasi kuning langganan yang sambalnya nikmat, manis serta pedas bercampur dengan liat. Sustri pergi duduk di kursi plastik berwarna merah. Ia tidak buru-buru memesan nasi kuning untuknya. Jantungnya bergemuruh, ramai seperti riuhnya celoteh para karyawan pabrik yang berebut dilayani. Mata perempuan itu tak lepas dari ujung gang tak jauh dari tempat ia duduk. Benaknya memainkan sebuah adegan ketika Pigor akan terkejut menemuinya di sana. Namun alam bawah sadarnya seakan berkhianat padanya. Sustri tidak mampu menemukan bayangan wajah Pigor di ingatannya.

Angin pagi berhembus. Dinginnya menembus tudung jaketnya, menggigit tengkuk. Ujung sinar matahari telah jatuh di kakinya. Tak seorangpun ia kenali di antara gerombolan manusia dengan seragam kerja yang munkin bekas dipakai kemarin. Tiada pula orang yang mengenalinya. Sustri tidak lagi merasa yakin bahwa keputusannya tepat. Ia teringat saat-saat ketika ia menunggu suaminya pulang ke rumah. Sehari, seminggu, sebulan... yang pulang pada telinganya hanyalah gunjingan tetangga. Wajahnya pucat disaput ingatan.

Sustri berdiri, lalu memesan dua bungkus nasi kuning. Kenyataan bahwa penjual nasi kuning itu masih mengenali tak sedikitpun mengusik kelusuhan dari raut mukanya. Sustri meminta ekstra sambal lalu membayarnya.

Langkah kakinya gamang. Ketika berdiri di depan gang, ia menghela nafas panjang. Dulu, sependek ingatannya, lorong gang itu agak sempit, dan tidak sepanjang saat ia melewatinya pagi itu. Biasanya, ia akan menoleh ke belakang untuk mengajak Pigor bicara. Tembok lorong itu makin kotor dan berlumut setelah lima tahun. Sustri memasukkan sebelah tangannya ke saku jaket.

Teleponnya bergetar tepat ketika perempuan itu keluar dari lorong dan tiba di areal petakan kamar. Sustri berhenti di teras kamar yang dulunya adalah bekas kamarnya. Ia duduk di dudukan pembatas kamarnya dulu dengan kamar Pigor. Keset karet berwarna merah dengan logo klub bola Liverpool terpasang di depan pintu kamar di sebelah bekas kamar kontrakannya dulu. Pigor masih tingal di sana.

 “Yaa... “ sapanya cepat-cepat ketika melihat nama Pigor di layar ponsel.

“Hai... kamu di mana?” tawa Pigor masih sama seperti dulu.

“Kenapa memangnya?”

Lagi-lagi ia tertawa. Menyebalkan. “Coba tebak aku di mana!”

“Ah paling di kasur!”

“Ngawur! Sudah, buruan mandi, dandan yang cantik! Aku di Terminal Jombor. 15 menit lagi aku sampai rumahmu.”

“Sinting!!”

“Kenapa? Kamu tak suka aku main ke rumahmu?”

“Bukan begitu...”

“Lalu?” Sustri menjatuhkan bungkusan nasi kuningnya ke lantai. Entah bagaimana, dia tiba-tiba menangis. 

”Heh.. kamu kenapa? Malah nangis? Aku salah ya datang ke jogja?”

“Beleguk! Aku di depan pintu kamar kontrakanmu sekarang!” hardik Sustri setengah berteriak.

“Apa?” seolah lelaki itu tak mendengar teriakan Sustri. Lalu ia tertawa. keras sekali. Sustri turut tertawa, meskipun kecil, masih dengan menangis. [ ]





 
1. Sepi itu indah. Percayalah! Membisu itu anugrah. = lirik lagu Hujan Di Mimpi ~ Banda Neira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar