Entah bagaimana, begitu melihat tembok
penuh gambar aneka warna itu Sustri langsung teringat klip video lagu Bad
day-nya Daniel Powter. Menurutnya, klip dalam video itu begitu manis. Tak sekadar
bagaimana cara si cewek dan cowok di dalam klip itu bertemu, namun juga nuansa
kesendirian yang mereka rasakan begitu kental oleh adegan di kereta api bawah
tanah atau ketika makan siang. Dan cara mereka bertukar pesan lewat gambar
iklan perempuan yang duduk sendirian di sebuah kursi, bagi Sustri itu adalah pertemuan
paling manis yang bisa ia angankan.
Perempuan itu masih berdiri mengamati
lukisan grafiti di depannya. Jarak yang terlalu dekat membuat Sustri kesulitan
mengenali gambar apa yang sebenarnya tengah ia cermati. Garis-garisnya seolah
terlalu besar untuk menjadi sebuah gambar utuh dalam bingkai benaknya. Warna-warnanya
tak menunjukkan kedukaan, tetapi Sustri menjadi murung karena kesulitan
memampatkan seluruh tembok di depannya ke dalam imaji. Sesekali ia membenarkan
letak kacamatanya yang tak bergeser tempatnya sedikitpun dari tadi, seolah hal
itu akan membantunya mengerti keseluruhan gambar itu.
“Apakah engkau akan berdiri di situ
seharian?”
Seorang lelaki yang ingin lewat menegurnya.
Sustri menoleh ke sekeliling, memastikan ia tidak menutupi jalan. Dan memang
tidak. Masih ada cukup ruang untuk orang lewat di belakangnya. Namun, mungkin
lelaki itu terlalu takut untuk berjalan terlalu dekat dengan jalan raya. “Maaf!”
Sustri maju sejengkal lebih dekat ke tembok. Tetapi kepalanya justru diserang
pening, dan lelaki itu masih juga berdiri di sebelahnya.
“Apa kamu suka baca buku?” tanya lelaki
itu lagi.
“Kenapa?”
“Kamu berkacamata...”
“Ya. Lalu?”
“Kamu suka baca buku apa?”
Segumpal asap hitam bergulung menyela
jawaban Sustri. Perempuan itu segera menutup hidung dan mulutnya. Sekonyong-konyong
ia teringat akan buku Italo Calvino yang baru saja diselesaikannya minggu. Sejak
itu, setiap kali Sustri menemui keadaan udara yang tercemar polusi, maka yang
muncul di kepala Sustri adalah cerpen ‘Kabut Asap’. Rambut di tengkuknya yang
tertutupi rambut sebahunya seketika berdiri. Perempuan itu selalu
bertanya-tanya, akan butuh berapa tahun lagi untuk menjumpai kotanya menjadi
kota yang selamanya terkepung kabut-asap-debu yang bergulung-gulung? Masihkah ia
hidup ketika semua orang harus memakai masker setiap kali bepergian keluar
rumah? Apa yang membuat Italo Calvino menulis cerita itu ya? Apakah Itali juga
mengalami polusi udara? Itali kah yang menjadi latar tempat cerita itu? Sustri
bertanya-tanya sendiri.
“Kenapa? Kamu mau membelikan aku buku?”
“Hmm... kamu mau buku apa? Aku bisa
mengajakmu ke perpustakaan kota kalau kamu mau.”
Perempuan itu ingin tertawa tapi ia
tahan sebisa mungkin. Ia pura-pura membetulkan letak kacamatanya. “Wah...
tawaran yang menggairahkan... “
“Kamu minus berapa?”
“Kenapa memangnya?”
“Aku minus 3 kanan dan kiri. Yah.. kalau
kamu berminat, aku bersedia menukar kacamataku dengan kacamatamu.* bagaimana?”
Sustri mengubah posisi tubuhnya menjadi
berhadap-hadapan dengan lelaki itu. Demi gengsi, ia melebarkan senyum untuk
mereduksi gelak tawa yang menggelagak ingin tumpah.
“Kenapa?” Perempuan itu menelengkan
kepalanya ke kiri.
“Entah kenapa aku menyukai frame
kacamatamu.” Kata lelaki itu mantab.”
“Enggak ah.”
“Kenapa? Kacamataku baru lho...” betapa
bangga lelaki itu mengatakan kalau kacamatanya baru.
“Eh....” Sustri bingung bukan buatan. Ia
tak tahu hendak menanggapi apa. Entah lelaki itu sebegitunya ingin
mengesankannya hingga tidak sadar kalau ia berbuat bodoh atau memang ia sengaja
melakukannya. “Enggak deh. Lagipula mataku silinder, bukan minus... sayang
sekali ya. Padahal tawaranmu, sekali lagi, sungguh menggairahkan.” Sustri
sekali lagi sengaja menggunakan kata menggairahkan, alih-alih menggiurkan atau
kata lain yang setara artinya dengan kata menggairahkan.
Lelaki itu sebentar murung sebelum
kembali menegakkan kepalanya. “Wah... engkau sungguh beruntung.”
“Karena?”
“Mmmmm... Tuhan menjagamu dari silau
lelaki tampan.”
Tentu saja Sustri tahu maksudnya. Ia memang
sudah tak bisa menikmati wajah tampan lelaki pada jarak lebih dari 20 meter,
garis wajah mereka berbayang, yah, mungkin sudah waktunya Sustri periksa mata
dan mengganti kacamatanya.
Sustri pura-pura menengok jam tangan
ketika melihat sebuah bus kota yang datang dari arah punggung lelaki itu. Perempuan
itu takut makin tertarik dengan lelaki itu. Ia ingin memuji upaya lelaki itu
untuk menarik perhatiannya. Tapi yang terucap dari mulutnya adalah “Aku harus
pergi.” Sustri memaksakan sebuah senyum datar sambil menarik tali tas
punggungnya ke depan. “Selamat tinggal.”
Sustri telah berjalan ke tepi trotoar
menjemput bus kota yang melambat dan berhenti di depannya. Tepat ketika Sustri
hendak melangkah, lelaki berucap “Tidak! Sampai jumpa!”
Dari atas bus kota Sustri melihat lelaki
itu mengeluarkan spidol dan mulai menuliskan nomer ponselnya di tembok. Sustri
tersenyum karena tahu ia akan kembali ke sana, barangkali, ya barangkali. “sampai
jumpa.” Bisiknya pada bus kota yang kosong. [ ]
*dikutip bebas dari Angsukma Putri
Dewayanti, 27 tahun(semoga ang enggak baca keterangan umur ini deh
bahahahahhaahak), Surabaya.
Wah pakde.... Pasti tuh teringat Kak Ang pas nulis itu hahaha. Btw, kak Ang beneran segitu umurnya? :O
BalasHapus