Kamis, 04 Juni 2015

kamisan03 #10 Sampai Jumpa



Entah bagaimana, begitu melihat tembok penuh gambar aneka warna itu Sustri langsung teringat klip video lagu Bad day-nya Daniel Powter. Menurutnya, klip dalam video itu begitu manis. Tak sekadar bagaimana cara si cewek dan cowok di dalam klip itu bertemu, namun juga nuansa kesendirian yang mereka rasakan begitu kental oleh adegan di kereta api bawah tanah atau ketika makan siang. Dan cara mereka bertukar pesan lewat gambar iklan perempuan yang duduk sendirian di sebuah kursi, bagi Sustri itu adalah pertemuan paling manis yang bisa ia angankan.

Perempuan itu masih berdiri mengamati lukisan grafiti di depannya. Jarak yang terlalu dekat membuat Sustri kesulitan mengenali gambar apa yang sebenarnya tengah ia cermati. Garis-garisnya seolah terlalu besar untuk menjadi sebuah gambar utuh dalam bingkai benaknya. Warna-warnanya tak menunjukkan kedukaan, tetapi Sustri menjadi murung karena kesulitan memampatkan seluruh tembok di depannya ke dalam imaji. Sesekali ia membenarkan letak kacamatanya yang tak bergeser tempatnya sedikitpun dari tadi, seolah hal itu akan membantunya mengerti keseluruhan gambar itu.

“Apakah engkau akan berdiri di situ seharian?”

Seorang lelaki yang ingin lewat menegurnya. Sustri menoleh ke sekeliling, memastikan ia tidak menutupi jalan. Dan memang tidak. Masih ada cukup ruang untuk orang lewat di belakangnya. Namun, mungkin lelaki itu terlalu takut untuk berjalan terlalu dekat dengan jalan raya. “Maaf!” Sustri maju sejengkal lebih dekat ke tembok. Tetapi kepalanya justru diserang pening, dan lelaki itu masih juga berdiri di sebelahnya.

“Apa kamu suka baca buku?” tanya lelaki itu lagi.

“Kenapa?”

“Kamu berkacamata...”

“Ya. Lalu?”

“Kamu suka baca buku apa?”

Segumpal asap hitam bergulung menyela jawaban Sustri. Perempuan itu segera menutup hidung dan mulutnya. Sekonyong-konyong ia teringat akan buku Italo Calvino yang baru saja diselesaikannya minggu. Sejak itu, setiap kali Sustri menemui keadaan udara yang tercemar polusi, maka yang muncul di kepala Sustri adalah cerpen ‘Kabut Asap’. Rambut di tengkuknya yang tertutupi rambut sebahunya seketika berdiri. Perempuan itu selalu bertanya-tanya, akan butuh berapa tahun lagi untuk menjumpai kotanya menjadi kota yang selamanya terkepung kabut-asap-debu yang bergulung-gulung? Masihkah ia hidup ketika semua orang harus memakai masker setiap kali bepergian keluar rumah? Apa yang membuat Italo Calvino menulis cerita itu ya? Apakah Itali juga mengalami polusi udara? Itali kah yang menjadi latar tempat cerita itu? Sustri bertanya-tanya sendiri.

“Kenapa? Kamu mau membelikan aku buku?”

“Hmm... kamu mau buku apa? Aku bisa mengajakmu ke perpustakaan kota kalau kamu mau.”

Perempuan itu ingin tertawa tapi ia tahan sebisa mungkin. Ia pura-pura membetulkan letak kacamatanya. “Wah... tawaran yang menggairahkan... “

“Kamu minus berapa?”

“Kenapa memangnya?”

“Aku minus 3 kanan dan kiri. Yah.. kalau kamu berminat, aku bersedia menukar kacamataku dengan kacamatamu.* bagaimana?”

Sustri mengubah posisi tubuhnya menjadi berhadap-hadapan dengan lelaki itu. Demi gengsi, ia melebarkan senyum untuk mereduksi gelak tawa yang menggelagak ingin tumpah.

“Kenapa?” Perempuan itu menelengkan kepalanya ke kiri.

“Entah kenapa aku menyukai frame kacamatamu.” Kata lelaki itu mantab.”

“Enggak ah.”

“Kenapa? Kacamataku baru lho...” betapa bangga lelaki itu mengatakan kalau kacamatanya baru.

“Eh....” Sustri bingung bukan buatan. Ia tak tahu hendak menanggapi apa. Entah lelaki itu sebegitunya ingin mengesankannya hingga tidak sadar kalau ia berbuat bodoh atau memang ia sengaja melakukannya. “Enggak deh. Lagipula mataku silinder, bukan minus... sayang sekali ya. Padahal tawaranmu, sekali lagi, sungguh menggairahkan.” Sustri sekali lagi sengaja menggunakan kata menggairahkan, alih-alih menggiurkan atau kata lain yang setara artinya dengan kata menggairahkan.

Lelaki itu sebentar murung sebelum kembali menegakkan kepalanya. “Wah... engkau sungguh beruntung.”

“Karena?”

“Mmmmm... Tuhan menjagamu dari silau lelaki tampan.”

Tentu saja Sustri tahu maksudnya. Ia memang sudah tak bisa menikmati wajah tampan lelaki pada jarak lebih dari 20 meter, garis wajah mereka berbayang, yah, mungkin sudah waktunya Sustri periksa mata dan mengganti kacamatanya.

Sustri pura-pura menengok jam tangan ketika melihat sebuah bus kota yang datang dari arah punggung lelaki itu. Perempuan itu takut makin tertarik dengan lelaki itu. Ia ingin memuji upaya lelaki itu untuk menarik perhatiannya. Tapi yang terucap dari mulutnya adalah “Aku harus pergi.” Sustri memaksakan sebuah senyum datar sambil menarik tali tas punggungnya ke depan. “Selamat tinggal.”

Sustri telah berjalan ke tepi trotoar menjemput bus kota yang melambat dan berhenti di depannya. Tepat ketika Sustri hendak melangkah, lelaki berucap “Tidak! Sampai jumpa!”

Dari atas bus kota Sustri melihat lelaki itu mengeluarkan spidol dan mulai menuliskan nomer ponselnya di tembok. Sustri tersenyum karena tahu ia akan kembali ke sana, barangkali, ya barangkali. “sampai jumpa.” Bisiknya pada bus kota yang kosong. [ ]



*dikutip bebas dari Angsukma Putri Dewayanti, 27 tahun(semoga ang enggak baca keterangan umur ini deh bahahahahhaahak), Surabaya.

1 komentar:

  1. Wah pakde.... Pasti tuh teringat Kak Ang pas nulis itu hahaha. Btw, kak Ang beneran segitu umurnya? :O

    BalasHapus