“Kamu terlalu baik kepada banyak lawan jenismu, kepada banyak perempuan.
Membuat mereka terlalu nyaman di dekatmu dan membuat mereka merasa aman untuk
membuka cerita kepadamu.
Aku hanya sekadar mengingatkan, berhati-hatilah, kamu menumbuhkan apa
yang tidak mereka tanam. Perasaan aman dan nyaman itu lebih berbahaya dari
perasaan cinta. Kau perlu tahu itu, teman.
Bahwa aku mengenalmu sejak kecil adalah hal yang membuatku paham padamu.
Kau sudah merusak masa depan dirimu dan banyak perempuan. Mereka kemudian bisa
saja memiliki perasaan masa lalu yang tumbuh ketika kamu sudah bersanding
dengan orang lain.
Kau paham sesuatu?
Aku katakan sekali lagi, jangan terlalu baik kepada banyak perempuan.
Sikapmu itu seperti bom waktu, tinggal menunggu kapan meledaknya. Jagalah
dirimu lebih baik. Kau tidak perlu terlalu dekat kepada mereka semua jika
sekadar ingin menjadi laki-laki yang baik, bukankah demikian?” Surat ~~ halaman 63
Jadi, jika seandainya engkau menerima
surat seperti ini, apa yang akan kalian lakukan? Aku sendiri, paling tidak,
setuju benar dengan maksud surat tersebut. Aku cuma mau bilang ‘Terlalu baik
itu kutukan!’
Kalimat yang indah selalu
menyenangkan untuk dibaca. Tetapi, bagaimana bila keindahan itu justru menipu? Ketika
seorang penulis mencoba menulis sesuatu dengan susunan kata-kata yang menurutnya
indah, kadang hal itu justru membuat si penulis jatuh pada lubang yang tak ia
sadari.
‘Setiap manusia adalah kekosongan,
mereka saling mengisi satu sama lain.’ Sepi, halaman 14.
Seharusnya kalimat di atas bisa
dengan mudah kita pahami. Bagaimana mungkin kekosongan saling mengisi? Ah,
mungkin benar mereka bisa saling mengisi, tetapi kosong diisi dengan kosong
hasilnya tetap kosong, kan? Jadi bagaimana penulis maupun editor atau
proofreader buku ini bisa meloloskan kalimat ini?
Pada ‘Hujan yang Jatuh’, saya
menemukan sebuah cerita tentang seorang penulis yang setiap hari datang dan membeli
bukunya sendiri, setiap kali, saat ia dengan cermat mengamati seorang perempuan
yang ia sukai yang bekerja sebagai kasir di toko buku tersebut. Yang menjadi
pertanyaan saya adalah buat apa? Buku itu, apakah akan dijual lagi? Okelah kita
sepakati saja bukunya akan dijual lagi atau diberikan kepada orang lain, itu
boleh, sah. Hanya saja, entah sengaja atau tidak, dengan mengatakan kalau ia
sedang membeli bukunya sendiri, setiap hari, saya merasakan apalah-apalah.
Mungkin itu hanya perasaan saya, tapi yang jelas, saya terganggu dengan hal
itu.
Ah iya, buku ini sendiri lebih
merupakan kumpulan prosa pendek. Entah sebab apa prosa-prosa pendek itu
dipilih, barangkali karena pada mulanya tulisan-tulisan ini adalah tulisan di
blog pribadi penulis. Sebenarnya bentuk seperti itupun tidak masalah. Yang
kemudian menjadi masalah adalah, bagi saya, di beberapa bagian, saya mendapat
kesan tanggung; seringkali hanya terdapat pengenalan poin yang hendak
disampaikan, lalu serta merta kemudian diakhiri dengan jawaban, apa yang
seharusnya dilakukan saat seseorang berada di posisi seperti itu. Tetapi yang
terjadi adalah seperti saya tiba-tiba jatuh dari langit dan tiba di depan
sebuah rumah indah yang ingin diperlihatkan oleh penulis kepada saya.
Begini, kalau boleh saya bilang bahwa
gagasan bisa diibaratkan sebagai rumah/istana, maka untuk sampai ke sana diperlukan
jalan. Bagaimana orang-orang akan sampai ke rumah/istana itu dan mengetahui apa
isi rumah/istana itu, jika jalan menuju ke sana tidak ada? Atau jalan itu ada
tetapi jalan itu berlubang, lubang kecil bolehlah, tapi bagaimana jika lubang
itu bahkan tak terlompati? Atau bagaimana jika engkau justru membuat tembok di
tengah jalan menuju rumah/istanamu sendiri? Apakah orang itu(pembaca) bisa
sampai di rumah/istanamu dengan berbagai rintangan seperti itu? iya bisa,
dengan susah payah. Lalu pertanyaannya adalah, apakah orang-orang itu cukup
memiliki tenaga untuk menempuh jalan yang melelahkan itu? Bisa, tetapi tidak
semua orang.
Baiklah, permisalan lagi; ‘maka
fitrahnya yang memang perempuan mendorongnya pada tempat yang tidak
semestinya.’ Ada yang bisa membantu saya memahami kalimat ini? Bahkan kadang
saya berpikir, apakah penulis tahu arti kata fitrah? Atau barangkali memang
saya saja yang bebal.
Apapun, buku ini adalah
buku-yang-aku-banget. Kalian tahu, kan? Jenis buku yang saat membacanya maka
pembaca akan dengan sendirinya berkata dalam hati, ‘wah ini sih aku banget.’ Begitulah. Saya memberi 2 bintang untuk buku
ini. Nah, silahkan! Rasa suka kadang menutupi kekurangan yang ada pada apa yang
kita sukai, dan begitu pula sebaliknya, rasa tidak suka kadang menutupi
kebaikan yang ada pada apa yang kita benci.
Judul : Hujan Matahari
Penulis : Kurniawan Gunadi
Penerbit : Canting Press
Terbit tahun : Februari 2015, cetakan
ketiga
ISBN : 978-602-19048-1-7