Alasan hanyalah salah satu cara seorang pengecut untuk mengatakan tidak.
Tidak! Sesuatu hal seringkali, sesungguhnya, hanya memerlukan iya atau tidak,
sedangkan alasan hanyalah salah satu hal penguat cerita, tetapi tetap tidak
akan mengubah sesuatu inti cerita tersebut. Alasan adalah hal sepele.
Percayalah, sepele. Dalam banyak hal, sesuatu yang terjadi hanya terlihat
antara iya atau tidak, tidak ada hal lain.
***
Apa alasan engkau hidup di dunia? Apakah hidup memerlukan alasan? Kenapa
hidup memerlukan alasan?
Dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, barangkali alasan itu penting. Alasan
mungkin perlu dalam hal ibadah. Tapi tidak semua hal tentang ibadah memerlukan
alasan. Saat engkau beribadah, sedekah atau sembahyang, mungkin alasan bisa
mempengaruhi nilai ibadahmu. Tapi, bahkan dalam hal ibadahpun alasan tidak
mutlak diperlukan. Aku melihat ada dua macam alasan yang bisa dibedakan pada
hal ini. Pertama, untuk apa engkau beribadah? Tujuan engkau beribadah? Alasan
yang paling sering diberikan adalah untuk mendapatkan ridhla ALLAH. Maka, di
sini alasan menjadi perlu dan penting, akan mempengaruhi nilai ibadahmu. Apa
motivasimu dalam beribadah itu penting bagi ibadahmu. Namun, pada hal kedua,
kenapa engkau beribadah? Apa perlunya engkau beribadah? Pertanyaan ini
seharusnya tidak memerlukan alasan. Kenapa? Karena ibadah itu sejatinya bukan
untuk ALLAH. Ibadah itu untuk diri sendiri. Karena ALLAH tidak memerlukan
pujian dan penghambaanmu, sungguh Maha Besar ALLAH yang tidak akan berkurang
kebesaran-NYA tanpa pujian/penghambaanmu, bahkan ALLAH tidak memerlukan
manusia. Bahkan, jika seandainya seluruh manusia di bumi ini seluruhnya tidak
menyembah ALLAH maka niscaya hal itu tidak akan mengurangi keagungan ALLAH.
Namun, bagaimana saat hal itu harus bersinggungan dengan keikhlasan?
Ikhlas; tanpa pamrih; tak mengharapkan imbalan. Masihkah alasan diperlukan? Aku
berbuat baik karena ingin mendapatkan pahala dari ALLAH, ingin mendapatkan
surga-NYA. Apakah alasan itu bisa diterima? Manusia memang mahkluk lemah yang
tak bisa berlepas diri dari Tuhannya, berdoa atau meminta pada Tuhan bahkan
dianjurkan. Tapi, apakah aku ikhlas saat aku berbuat baik? Tidak bila aku masih
mengharapkan imbalan berupa pahala dari ALLAH. Berbuat baik sepertinya termasuk
hal yang tidak memerlukan alasan. Berbuat baik untuk ALLAH dan berbuat baik
untuk mengharapkan pahala dari ALLAH, bagiku adalah hal yang berbeda. Berbuat
baik untuk mengharapkan pahala dari ALLAH itu boleh, tidak salah. Tetapi apakah
itu termasuk ikhlas? Ikhlas itu tidak mengharapkan imbalan, termasuk pahala.
Ikhlas itu saat engkau berbuat sesuatu tanpa alasan apapun. Nah, di sini, dalam
keikhlasan, alasan tidak diperlukan.
Lalu, di mana alasan berdiri di sebuah peristiwa yang lepas dari kedua hal
tadi? Seperti, ambil contoh, ketidakhadiran seseorang dalam sebuah tes
wawancara. Saat ia tidak hadir dalam sebuah tes wawancara untuk sebuah lowongan
pekerjaan apakah alasan diperlukan? Tidak. Apapun alasanya? Tidak. Bagaimana
bila alasannya atas kesengajaan atau karena kecerobohannya? Jelas alasan
tersebut tidak diperlukan. Lalu, bagaimana bila alasannya dikarenakan oleh
sesuatu yang di luar kuasanya? Bahwa ia tidak bisa hadir dalam wawancara
tersebut karena ia terjebak macet karena ada demo buruh misalnya. Barangkali,
meskipun sangat aku sangsikan, ia bisa meminta kelonggaran dari pihak
perusahaan untuk diberi kesempatan wawancara di lain waktu, tetapi hal itu
tidak bisa merubah fakta bahwa ia tidak bisa hadir dalam wawancara di
kesempatan pertama. Situasi akan menjadi lebih jelas saat seseorang itu
berhadapan dengan situasi jadwal keberangkatan pesawat terbang. Alasan apapun
tidak akan diterima, tiket tetap hangus bukan? Di sini, alasan tidak diperlukan
(lagi).
Seorang siswa tidak masuk sekolah, alasan dipandang sebagai sesuatu yang
perlu, sakit atau ada izin ataukah tanpa keterangan sama sekali. Seorang
pegawai yang tidak masuk kerja? Sama dengan kasus pertama, alasan diperlukan.
Dalam hubungan manusia dengan manusia: Di sini posisi alasan menjadi tidak
pasti. Alasan yang di luar kuasa seorang manusia dan tersebab dari kelemahan
manusia tersebut. Dan juga ada faktor dari toleransi seorang manusia. Apakah
manusia tersebut cukup penuh pengertian untuk menerima alasan seseorang yang
lain?
Dalam hal yang lain, saat engkau meminta bantuan dari seorang teman;
meminta kesediaan seseorang untuk menjadi kekasihmu, atau meminta kekasih untuk
mau menikahimu, alasan apapun yang ia kemukakan tidak akan merubah apapun
jawaban yang ia berikan. Seperti aku bilang pada awal tulisan ini, alasan
hanyalah cara seorang pengecut untuk bilang tidak, untuk membela diri dan
keputusannya. Saat seseorang memberikan bermacam alasan, maka percayalah, dari
keberbelit-belitan itu, dari sebanyak apapun penjelasan yang ia berikan, semua
itu hampir pasti bisa disederhanakan dengan satu kata, TIDAK. Ia tidak mau,
tidak bersedia atau tidak mampu.
Bagiku pribadi? Bila aku berbuat sebuah kesalahan, hal pertama yang aku
seringkali lakukan adalah mengakui kesalahan. Aku tidak menyukai alasan untuk
membenarkan kesalahanku, meskipun kesalahan itu mungkin terjadi bukan karena
kuasaku, di luar kuasaku, sesuatu yang bisa aku cegah. Aku bersalah, engkau
terima atau tidak, aku telah bersalah, aku meminta maaf. Alasan adalah hal
terakhir yang akan muncul untuk kukatakan. Aku tak memerlukan alasan. Sesuatu
terjadi atau tidak, tidak memerlukan alasan, dalam duniaku.
Begitu juga dalam hal-hal yang hendak dan telah aku lakukan. Tidak ada
alasan khusus yang aku butuhkan untuk melakukan sesuatu, untuk hidup. Aku tidak
memerlukan alasan untuk memberikan uang recehku kepada seorang pengamen; untuk
membantu seseorang yang memerlukan bantuan; untuk tetap menjalani hidup yang
ini-ini saja; untuk hidup dalam dunia yang serba teratur atau dunia yang penuh
spontanitas. Aku tak memerlukan alasan untuk hidup, aku hanya tahu untuk
bertahan hidup dan menjalani hidupku yang seperti ini. Ya, engkau boleh bilang
hidupku menyedihkan atau apapun. Kau boleh kasihan padaku. Itu jika engkau
tidak setuju denganku, tentang hidup yang tak memerlukan alasan. Tapi, izinkan
juga aku untuk kasihan kepadamu, kepada orang yang membutuhkan alasan untuk
hidup; kepada orang-orang yang membutuhkan alasan untuk tertawa, untuk bahagia.
Aku sama tidak habis pikirnya denganmu yang menganggap hidupku menyedihkan,
bagaimana mungkin hidup seorang manusia bisa ditentukan oleh sebuah alasan?
Penting atau tidak, alasan tetaplah alasan. Dan aku tidak menyukainya.
Seperti juga dengan sebuah peristiwa yang baru saja aku alami. Aku
mengecewakan seseorang. Aku telah berjanji memberikan sebuah hadiah untuk
seseorang, lewat sebuah sambungan telepon. Namun pada hari yang dijanjikan itu,
pada hari yang telah direncanakan, dengan rencana awal aku akan menelpon pada
saat hari sedang tua, pada suatu waktu menjelang sore. Dengan estimasi perjalan
yang harus aku tempuh dari tanjung(kalimantan selatan) menuju Batu
Kajang(kalimantan timur) akan mampu ditempuh dalam waktu 3 sampai 4 jam
perjalanan darat, maka aku memutuskan untuk berangkat pada pukul 9 pagi dari
tanjung. Dengan perkiraan dalam bayanganku, beangkat jam 9, menunggu angkot
paling lama satu jam, perjalanan bila lancar akan bisa ditempuh dalam waktu 3
sampai 4 jam, maka aku merasa akan punya cukup waktu untuk menunaikan janjiku,
menelepon, paling lama aku akan sampai tujuan pukul 2 siang paling lambat. Namun
rencana tinggal rencana, ada hal yang memaksa aku pergi melakukan kerja yang
tak tertunda, pergi ke lokasi(hutan) setengah jam kemudian, sebelum sempat aku
menunaikan janji. Yang lebih celaka adalah di tempat lokasi aku harus melakukan
kerja tidaklah menyediakan sinyal seluler untukku menelpon. Aku baru selesai
melakukan kerja dan keluar dari lokasi pada pukul sembilan malam dikarenakan
jauhnya akses jalan yang harus dilalui. Lalu, keadaan belum selesai, aku
dipaksa mengikuti kemauan atasanku, melanjutkan perjalanan lagi ke Balikpapan,
dengan estimasi waktu 3 sampai 4 jam perjalanan darat. Karena keadaan sinyal
yang tidak merata sepanjang jalan dan situasi aku sedang di jalan dan berada di
tengah banyak orang, aku menunda(lagi) menunaikan hutangku. Saat telah tiba di
penajam, di atas kapal Feri dengan sinyal yang mendukung barulah aku memutuskan
untuk menelepon. Namun itu sudah terlambat, aku sudah membuat seseorang kecewa.
Percayalah, uraian itu bukanlah usahaku untuk membangun sebuah alasan. Aku
tak menganggap perlu untuk mencari alasan. Yang jelas adalah aku telah
bersalah. Dengan atau tanpa alasan, seseorang telah kecewa karena aku. Alasan sungguh tidak diperlukan untuk urusan
ini, alasan takkan mampu mengubah apa yang sudah terjadi.
Lalu masihkah hidup memerlukan alasan? Apakah alasan masih bisa diterima?
Ya atau tidak, terjadi atau tidak, hanya itu.
Aku sudah memilih, hidup tanpa alasan adalah
yang paling aku sukai. Kamu?