Pada hari menjelang akhir tahun lalu,
27 Desember 2014, secara tidak sengaja saya melihat sebuah pertunjukkan
kethoprak dengan lakon ‘Opak-Progo Wis Nyawiji’ yang dalam bahasa indonesia
berarti Opak-Progo Sudah Menyatu. Dalam artian yang lebih mudah dipahami
sebagai bersatunya sungai Opak dan sungai Progo. Dalam lakon itu baru saya
ketahui perihal sejarah selokan mataram yang terbentang menghubungkan antara
sungai Opak dan sungai Progo. Kisah itu sendiri bermula di zaman Jepang. Saat
itu adalah awal masa Jepang menjajah Indonesia setelah kepergian Belanda dari
tanah air Indonesia. Ketika Jepang marak menggalakkan Romusha, salah seorang pejabat pemerintahan Jogja berunding dengan
orang Jepang. Jepang ingin Jogja juga menyumbangkan beras kepada jepang dalam
rangka mendukung Jepang dalam perang melawan Amerika. Pejabat itu kemudian
beralasan bahwa tanah di Jogja tidak bisa ditanami padi karena tidak adanya air
untuk keperluan tanam padi. Kemudian, untuk menghindari permintaan tenaga untuk
Romusha oleh pihak jepang, pejabat
itu mengusulkan akan menyuplai beras mulai 3 tahun mendatang, dengan syarat,
tidak ada orang Jogja yang ditarik untuk menjadi tenaga Romusha, demi pembangunan selokan mataram yang tadinya diharapkan
untuk mengairi sawah guna menanam padi demi memenuhi permintaan pihak Jepang
akan beras.
Yang kemudian menjadi terang bagi
saya adalah perihal permintaan pihak Jepang akan beras tadi; kemarin, setelah
membaca buku tulisan Idrus yang berjudul ‘Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke
Roma’. Dalam buku ini, saya kemudian memahami latar belakang jepang menuntut
pasokan beras dari Jogja—sesungguhnya dari seluruh wilayah Indonesia—yang
menjadi latar tempat dalam lakon yang saya singgung di atas. Idrus, dengan
sangat cermat mampu memotret keadaan-keadaan indonesia, di lapisan paling
bawah, dalam cerpen-cerpennya.
Sesungguhnya, buku ini terbagi
menjadi tiga pembabakan. Yang pertama, zaman jepang. Di bagian ini terdapat dua
tulisan Idrus yang terdiri dari satu cerpen dan satu naskah drama, yang
menunjukkan awal mula dari kepenulisan Idrus. Dalam dua karya itu, Idrus
berbicara tentang cinta segitiga. Lalu, di bagian kedua, Corat-Coret Bawah
Tanah. Nah di bagian inilah Idrus mulai terlihat beralih ke tulisan realis.
Berisi 7 cerpen yang memotret kehidupan masyarakat Indonesia di bawah
pendudukan jepang. Di bagian ketiga, Setelah 17 Agustus 45, berisi 3 tulisan
Idrus yang agak panjang.
Cerpen Ave Maria dan naskah drama
‘Kejahatan membalas Dendam’ sendiri sebenarnya tidak pernah dipublikasikan. Jepang
waktu itu sangat membenci tulisan yang tidak menunjukkan nilai ketimuran, dalam
hal ini, judul Ave Maria yang mengacu pada barat.
Di bagian kedua, Corat-coret di Bawah
Tanah, Idrus menulis tentang orang-orang indonesia yang merasakan kehidupan
sengsara di zaman pendudukan jepang. Ambil contoh Kadir, seorang penjual kacang
rebus dalam cerpen Sanyo. Di bawah sebuah radio umum yang sedang menyiarkan
pengangkatan Sanyo—penasehat tiap-tiap departemen pada masa jepang. Dengan masa
bodoh Kadir berkata “Apa perlunya aku berpikir, jika kacangku tidak dibeli
orang? Mampuskah Sanyo itu, kacangku juga tidak akan laku oleh karena itu.” Hal
ini seolah menunjukkan bahwa memikirkan hal yang jauh dengan kita adalah hal
yang sia-sia. Dalam sebuah percakapan berikutnya dengan seorang tukang es
lilin, “sekarang ini serba susah. Badan kita seperti es lilin saja. Bertambah
kecil juga. Akhirnya menjadi air. Dilemparkan orang.” Kemudian Kadir menjawab
sejurus kemudian “Aku melihatnya dari jurusan lain. Kita sama dengan es lilin.
Sama-sama digigit dan dihirup orang.” Pada kenyataannya, metafor tersebut masih
berlaku juga hingga hari ini. Orang-orang miskin semakin miskin karena diporoti
oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Lain lagi dalam cerita Pasar Malam
Jepang. Idrus menampilkan seorang indonesia yang mencoba keberuntungannya di
meja judi, yang jelas-jelas pada akhirnya hanya menghabiskan uangnya dengan
sia-sia. Cerita-cerita lain dalam Kota Harmoni dan Oh... Oh... Oh! Idrus
memotret kehidupan di dalam moda transportasi trem dan kereta api pada masa
itu. tentu saja dengan tetek bengek yang makin membudaya pada masa sekarang
ini. Misalnya, tentang orang yang naik ke trem lewat jendela, alih-alih lewat
pintu. Atau tentang kondektur kereta yang mengeluhkan penumpang yang tidak
membeli tiket kereta api tetapi menerima selembar uang tutup mulut; mungkin
saat ini hal ini tak bisa terjadi lagi, namun tak bisa diingkari bahwa masa itu
pernah ada.
Lalu pada bagian ketiga, Setelah 17
Agustus 1945, saya benar-benar terpikat oleh gaya tulisan Idrus. Dalam cerpen
Surabaya, Idrus menggambarkan pertempuran 10 November di Surabaya dengan humor
yang ciamik. Pada suatu rapat yang di gelar oleh para pejuang Indonesia,
seseorang mengusulkan ‘bagaimana kalau seluruh 70 juta rakyat
Indonesia berbaris di depan tank-tank raksasa dan menyuruhnya giling badan
mereka semua, ke 70 juta orang itu, oleh tank-tank raksasanya. Pengendara
tank-tank itu pasti akan lelah karena menggiling demikian banyak manusia dan
akhirnya mati lemas karena lelah dan kita bisa rampas tank-tank itu’. Di
lain kesempatan, seorang di garis depan mengirim sebuah pesan ‘Paduka tuan, harap kirimkan dengan segera
lemper atau pisang ambon saja. Jika ini tidak, apa saja pun baik, asal jangan
sandiwara’. Selain dengan gaya yang jenaka, melalui cerpen Surabaya ini
saya kemudian jadi memiliki bayangan akan apa-apa yang terjadi selama
berlangsungnya pertempuran di surabaya itu, di medan perang dan juga di garis
belakang.
Satu cerita lagi yang menarik
perhatian saya adalah Jalan Lain Ke Roma. Cerpen tentang seseorang bernama Open
ini mengisahkan bagaimana kehidupan Open yang bekerja sebagai seorang Guru yang
kemudian menjadi mualim, pengarang dan akhirnya menjadi seorang tukang jahit.
Semua itu bermula dari kisah bagaimana mulanya ia mendapat nama Open. Ibunya
selalu berpesan, ia diberi nama Open dengan harapan agar ia selalu berkata
dengan terus terang. Dari pesan ibunya inilah kemudian Open mengalami berbagai
kejadian yang kemudian membawanya dari seorang guru menjadi mualim, lalu
seorang pengarang, hingga kemudian menjadi tukang jahit. Melalui Open, pembaca
kemudian diajak berpikir. Dalam sebuah adegan ketika Open menyerahkan sebuah
karangan kepada redaktur, orang itu berkata ‘Tuan,
ini berbahaya sekali. Lebih baik tuan simpan saja. Apa gunanya menggambarkan
tai kebo jika ada pemandangan alam yang indah-indah.’ Kemudian Idrus menimpali
‘iya, tai kebo. Tapi jika tai kebo digunakan sebagai pupuk dapat menyuburkan
kehidupan pohon-pohon.’ Bahwa dari hal yang paling burukpun, kita bisa
mengambil manfaat darinya jika kita mau berpikir. Selain itu, Idrus juga begitu piawai
memainkan karakter Open dengan kejenakaannya.
Tak bisa dielakkan lagi, Idrus layak
disandingkan dengan Chairil Anwar pada masanya. Chairil Anwar pada puisi dan
Idrus pada Prosa. Puncak kecemerlangan Idrus terlihat di tiga cerpen
terakhirnya di periode Setelah 17 Agustus 1945. Dalam bentuk dan isi. Tampak
dalam tulisan itu Idrus tumbuh dari periode pertama hingga periode ketiga.
Perubahan itu tampak jelas dalam karya-karyanya; dari romantik menuju realis
hingga menjadi penggabungan romantik dan realis di tiga cerpen terakhir di buku
ini.
Idrus, jauh pada masanya, telah
menuliskan keresahan-keresahan yang juga kita rasakan dewasa ini. ‘Apa artinya
uang sekarang ini?’ begitu teriak Idrus dalam cerpen Pasar Malam Jepang. Lihat
lah rupiah terhadap dolar. Apa arti Rupiah terhadap Dolar sekarang ini? Dalam
cerpen jawa baru lain lagi, dengan sinisnya ia berkata ‘jepang membutuhkan
karung goni untuk mengangkut beras ke Tokyo, dan di sini, kita membutuhkan
karung goni untuk baju.’ Alamak! Maka dari itu, mengutip kata Idrus dalam
cerpen Surabaya ‘Rakyat Indonesia harus dibangunkan! Dibangunkan! Dibangunkan!’
Judul : Dari Ave Maria Ke Jalan Lain Ke Roma
Penulis : Idrus
Penerbit : Balai Pustaka
Tahun terbit : 2011, cetakan ke-28
Isbn : 978-979-407-218-9