Pigor membanting koran yang ia baca ke atas meja,
kesal karena merasa telah dibohongi oleh judul yang bombastis, sementara isi
beritanya tak seberapa penting. Bukan soal uang yang telah ia keluarkan untuk
membeli koran tersebut yang ia perkarakan. Tetapi lebih kepada betapa penipu
telah menggerogoti semua unsur kehidupan. Seperti seorang tukang masak yang
menghias masakan tak sedapnya dengan tampilan aduhai agar orang-orang lapar itu
tak tega memakan masakannya yang hambar.
Ketika membuang
muka dari koran di depannya, lelaki itu melihat seorang perempuan muda tengah
berdiri memegangi payungnya di seberang jalan. Di luar, hujan tengah
berlangsung. Jalanan sepi. Tak ada banyak orang yang menghalangi pandangannya
pada perempuan itu. Sehingga ia bisa dengan seksama memperhatikan kulit
perempuan itu memucat dipulas oleh hawa dingin. Lengannya yang telanjang tampak
berkilau di tengah latar tembok tua muram. Di tengah kota yang kedinginan oleh
hujan, ia berdiri teguh seperti patung lilin yang dipamerkan.
“Siapa perempuan
itu?” ujar lelaki yang duduk di sebelahnya entah sejak kapan.
“Bukan kekasihku.
Kalau aku kekasihnya, takkan aku biarkan ia kedinginan di tengah hujan begini.”
"Apakah kau
memikirkan apa yang aku pikirkan?" Pigor menoleh heran. "Kau ingat
lelaki yang dibunuh tempo hari? Mungkin perempuan itu kekasihnya."
Pigor teringat
lelaki gendut hampir telanjang yang ditemukan mati kemarin malam di gang
sebelah. "Jangan becanda! Perempuan secantik itu, mau jadi kekasih seorang
lelaki gendut seperti orang itu? Kau jangan menghinaku!"
"Loh, apa
salahnya? Kaupikir lelaki gendut tak boleh punya kekasih perempuan
cantik??"
"Tentu tidak,
kecuali si gendut itu orang kaya."
"Kau naif
sekali. Bisa saja dulunya dia mirip atlet binaraga, lalu jadi gendut karena
bahagia punya kekasih secantik perempuan itu."
"Berapa besar
kemungkinan perempuan itu tidak meninggalkannya ketika ia menjadi sebesar
karung tepung seperti itu?"
"Besar.
Lihat, dia berdiri di sana. Menungguinya. Menangisinya."
"Omong
kosong! Aku berani bertaruh satu juta dia bukan kekasih lelaki gendut
itu."
"Kau punya
uang sebanyak itu?"
"Tidak
penting. Karena aku tak akan kalah." Pigor melihat perempuan itu memeluk
dirinya sendiri dengan satu tangan.
"Lihat, dia
memeluk dirinya sendiri. Dia pasti merindukan lelaki gendut itu."
"Dia
kedinginan. Tidak kaulihat, di luar sedang hujan?"
"Bangsat.
Kepala batu!" Lelaki itu mendengus, menyesap rokoknya. "Apa kau
pernah memeluk seorang perempuan di kala hujan begini?" Pipinya tiba-tiba
memerah seperti pipi seorang perempuan yang tersipu malu.
Pigor menggeleng.
"Menurutmu, siapa yang membunuh lelaki itu?"
"Mana kutahu.
Bangsat! Kenapa kau tanya aku?"
"Demi Tuhan. Aku cuma tanya, kenapa kau berang, betul?"
"Karena kau
tolol. Itu bukan kerjaku. Tanyalah ke polisi kalau kau hendak tahu! Buat apa
kita bayar polisi-polisi pemalas itu kalau hal begini saja kita yang harus cari
tahu sendiri? Heh? Bangsat betul."
"Kau tahu
sendiri apa jadinya kalau aku macam-macam sama mereka. Tak sudi. Cih. Kau tahu,
begitu kau tanya macam-macam, bukannya menjawab, kau bakal ditanya balik. Pada
hari kamis, jam sekian kau di mana? Sedang apa?"
"Kau bisa
mencium bau penjara di belakang kalimat itu."
"Tepat
sekali." Pigor menggenggam cangkir kopi dengan kedua tangannya.
"Sial sekali
orang gendut itu ya?"
"Ya, melihat
lemaknya, kukira ia lelaki yang tak pernah kelaparan."
"Apakah ia
dirampok?"
"Demi Tuhan!! Bangsat. Bisakah kau berhenti menanyakan hal
itu padaku?"
"Demi Tuhan! Apa masalahmu? Aku cuma bertanya. Tak perlu kau
jawab kalau kau tak ingin."
"Berhentilah
bertanya tentang hal-hal yang tidak aku tahu."
"Apa yang kau
tahu?"
"Banyak.
Selain bangsat gendut itu."
Pigor menatap
perempuan di seberang jalan itu lagi. Perempuan itu tiba-tiba berbalik, berjalan memunggunginya.
“Ayo!”
“Ke mana?”
“Memeluk
perempuan!”
Pigor
tergopoh-gopoh mengikuti lelaki itu.
***
Asa menyambar
payung dan pergi keluar. Hanya payung. Jaket dan tas tidak terlalu
menggiurkannya ketika itu. Langit tidak biru. Jalanan tak sedikitpun dijamah
sinar matahari. Angin lembut mempermainkan ujung roknya. Hiruk pikuk pengguna
jalan menyapa gendang telinganya. Ia lalu mengembangkan payung dan berjalan
pergi menyusuri trotoar.
Tidak mengindahkan
kenyataan bahwa hujan tidak turun dan panas matahari tak sampai di kulitnya,
Asa tetap menaruh payung itu di bahunya. Memutar-mutar gagangnya dengan riang
sambil mendendangkan nada sebuah lagu dalam benaknya. Perempuan itu terus
berjalan tanpa tahu akan kemana. Melangkah ia menuruti kaki. Ia hanya ingin
menghabiskan hari dengan apapun yang ia suka. Itu adalah hari pertamanya
setelah memutuskan untuk berhenti kerja. Asa ingin menikmatinya, dengan
berjalan menyia-nyiakan waktunya.
Setelah tiga tahun
mengurung diri dalam bilik kerja bersama segala perangkat kerja tanpa hati di
atas mejanya, Asa, siang kemarin, tanpa aba-aba, juga tidak dengan alasan yang
cukup bagi atasannya, mengajukan surat pengunduran diri. Tidak mengetahui apa
yang ia inginkan, Asa meninggalkan surat pengunduran dirinya di ruangan bosnya.
Lelaki itu mengatakan bahwa Asa harus mencari pengganti dulu sebelum berhenti
bekerja dan ia tidak boleh mengundurkan diri secara mendadak seperti itu.
Tetapi Asa tidak peduli. Ia pulang ke rumah saat itu juga, meninggalkan apapun
yang ada di atas meja kerjanya. Dan tidak masuk kerja hari ini, meskipun
atasannya tiga kali menelpon ke ponsel miliknya, yang tak satupun ia angkat.
Asa masih berjalan
tidak acuh ketika tetes hujan pertama jatuh dari langit. Ia mencondongkan
payungnya ke depan untuk menghadang hujan yang jatuh miring dari depan. Sisa
hujan yang tak terhalang payung jatuh di kaki. Sebagian hinggap sebentar di
permukaan rok, yang lalu melesap mencetak noda bulat gelap. Langkahnya kemudian
melambat. Asa berhenti di trotoar pinggir jalan. Ragu-ragu hendak menyebrang,
ia tetap berdiri di sana.
Sekonyong-konyong,
terbit gagasan mematung di sana. Mula-mula ia mengamati bercak air yang jatuh
di sepatunya. Sepatu itu baru saja ia beli minggu lalu. Sepatu kain berhak
rendah. Polos tanpa ornamen. Hijau seperti warna kesukaan anak semata
wayangnya. Sudah lama sekali rasanya, ia rindu menggendong putri kecilnya itu.
Sedang apa kau nak? Asa ingin menangis seperti ibu-ibu lainnya. Tapi ia tak
mampu.
Asa memeluk
dirinya sendiri dengan satu tangan. Dingin yang datang menegaskan
ketidakberadaan anaknya. Sudah hampir setahun dari saat suaminya menghilang
membawa putrinya yang waktu itu berumur tiga tahun. Ia tak pernah menduga
pelukan mantan kekasihnya harus dibayar dengan hilangnya pelukan anaknya.
Tak ada yang hebat
dari pelukan kekasihnya itu, dingin seperti pelukan hujan. Tak berharga sama
sekali. Tapi, itu cukup untuk membuat suaminya pergi. Alasan bukan perkara
penting untuk suaminya. Dan Asa tak berminat menjelaskan apapun. Seminggu
kemudian, suaminya menghilang membawa putrinya.
Hujan mulai reda.
Kulit Asa telah mengeras. Jalanan kosong. Masih ragu-ragu hendak menyebrang,
Asa merasa lelah. Udara basah,
Asa menghirupnya tanpa ragu. Seketika rongga dadanya menjadi lega. Ia berbalik pulang. Perempuan itu tak
menyadari dua orang lelaki mengikutinya.
***
Sembilanbelas
orang lainnya telah lebih dulu hilang. Waktu begitu singkat. Hidup begitu
pendek. Kau takkan tahu kapan ajal menjemputmu. Tapi seolah maut mengalir di
nadimu. Ia begitu dekat.
Baiklah, aku
beritahu sebuah rahasia. Tak akan ada yang mati di sini. Tidak Asa atau
siapapun. Sembilanbelas temanmu yang lain, sudah pergi lebih dulu sebelum
sampai bagian ini. Ya, mereka pintar. Mereka tak mau mati konyol. Karena itu
mereka pergi meninggalkan cerita membosankan ini. Itupun jika tulisan ini boleh disebut cerita.
Nah, sekarang jadi
pilihanmu. Bagaimana? Apa engkau masih mau meneruskan membaca cerita ini sampai
engkau mati sia-sia? Atau kita sudahi sampai di sini saja? [ ]