Selasa, 05 Agustus 2014

tanggung jawab dan kejujuran


 judul           : Semusim, dan semusim lagi
penulis        : Andina Dwifatma
penerbit       : Gramedia
tahun terbit  : 2013
isbn             : 9789792295108



Pada jaman sekarang ini, tanggung jawab dan kejujuran sudah seperti barang langka. Dan yang lebih menyedihkan lagi, terkadang menjadi jujur itu sulit. Kejujuran menjadi sulit karena karena sebuah stigma bahwa orang jujur itu langka. Lalu yang terjadi adalah manusia membentengi diri dari orang jujur, mudah curiga, alhasil orang yang sudah bicara jujur seringkali tidak dipercaya sedang berkata jujur. Tentu kita semua pernah mengalami hal ini kan?
Tapi orang yang mempunyai kejujuran dan ganggung jawab di dunia ini, masih ada, masih banyak. Salah satu orang itu adalah Tuan Meursault. Tuan Meursault adalah jenis manusia yang akan mengakui kesalahannya bila ia memang bersalah. Begitu juga saat Tuan Meursault menghadapi seorang lelaki asing yang mengancamnya menggunakan sebilah pisau, dalam posisi terdesak, Tuan Meursault yang membawa pistol di tangannya kemudian menembak orang itu. Mati. Namun yang terjadi kemudian adalah Tuan Meursault ini melepaskan tiga kali tembakan lagi ke orang yang sudah ditembaknya. Empat kali. Empat kali tembakan membuat niat Tuan Meursault yang tadinya hendak membela diri kemudian menjadi diragukan. Apa yang terjadi? Tuan Meursault sendiri sebenarnya tidak begitu yakin apa sebab dia menembak hingga empat kali. Tapi sudah terjadi. Tuan Meursault dibawa ke pengadilan dan dengan sadar mengakui kalau ia menembak sebanyak empat kali, dan mengabaikan kemungkinan tindakan membela diri. Tuan Meursault secara sadar menerima hukuman mati yang kemudian diputuskan oleh hakim. Nah kalian lihat sendiri kan kalau orang yang bertanggung jawab itu masih ada, dan dia jujur meskipun dia bersalah.
Meskipun adegan yang saya jabarkan secara panjang lebar tadi hanya terjadi di dalam novel, saya tetap percaya bahwa orang yang jujur dan bertanggung jawab itu masih ada. Tidak seperti manusia-manusia tak tahu malu yang hanya tahu menyelamatkan diri sendiri. Kalian pasti paham siapa yang saya maksud, mereka orang-orang berduit yang menyewa pengacara mahal yang mau melakukan apa saja agar ia lepas dari hukuman akibat kesalahannya.
Novel the outsider karya Albert Camus dengan Tuan Meursault-nya, kemarin malam mendadak menyembul dalam ingatan saya ketika membaca buku Semusin, Dan Semusim Lagi karya Andina Dwifatma yang memenangkan sayembara novel DKJ 2012.
Persamaan kedua buku itu saya kira jelas, tokoh utama kita yang tercinta melakukan kesalahan dan mengatakan sejujurnya tentang apa yang telah ia lakukan, terlepas apa yang ia lakukan tidak dapat disangkal. Dan kedua tokoh utama kita bersedia menerima hukumannya. Bahwa yang bersalah memang harus membayar kesalahannya. Perbedaannya, Tuan Meursault menembak orang dengan sadar tanpa pengaruh siapapun, sedangkan tokoh di dalam buku semusim, dan semusim lagi menusuk orang di bawah pengaruh sobron(siapa sobron? Sebaiknya baca sendiri yes!). Tapi pada akhirnya kedua orang yang telah melakukan kesalahan(oke saya memperhalusnya, seharusnya saya bilang kejahatan) itu menerima kenyataan bahwa mereka menerima hukumannya.
Yang sering tidak kita sadari adalah, seperti hewan yang memiliki naluri bertahan hidup, terkadang manusia, pada saat yang terdesak setelah berbuat kesalahan, secara reflek seseorang sangat mungkin untuk menuruti naluri bertahan hidupnya saat terancam. Termasuk terancam ketahuan saat berbuat salah. Seseorang kadang dengan tanpa sadar mengelak, tidak mengakui kesalahannya demi keselamatannya, atau demi keyakinan bahwa dia tidak bersalah, dan membangun argumen untuk membenarkan tindakannya. Alih-alih mengakui kesalahannya secara jujur dan bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan.
Begitulah tokoh utama kita yang tercinta pada akhirnya siap menerima hukuman apapun yang mungkin bisa dia dapatkan.
Dari segi penulisan, buku ‘semusim, dan semusim lagi’ adalah sebuah perayaan kalau tidak boleh saya sebut sebagai hiburan. Latar belakang penulis yang seorang wartawan membuat tulisannya begitu mengalir, tidak terasa dipaksakan, bahkan saat penulis menghadirkan keberadaan sosok ikan mas koki yang bisa bicara dan membuat teh sendiri. Semua terasa wajar. Maka tidak heran bila buku ini kemudian memenangkan sayembara novel dewan kesenian jakarta tahun 2012.
Pada mulanya membaca buku ini fokus saya adalah mencari dan mencoba menemukan kaitan antara buku ini dan puisi Sitor Situmorang yang ada di bagian belakang buku. Saya sempat berpikir penulis menggunakan setiap baris puisi tersebut di dalam bukunya, satu baris di setiap bab. Tapi ternyata saya hanya menemukan satu baris saja puisi tersebut di dalam buku ini, dan itupun ada di bab terakhir buku ini. Yah, tetapi hal itu tidak terlalu mengecewakan, karena penulis mampu membayarnya dengan sebuah cerita yang menarik.
Kelebihan: saya menyukai cara penulis membangun karakter tokoh utama kita. Bahasanya lancar.
Kekurangan: ada sebuah adegan yang meloncat dan itu sungguh membingungkan bagi saya. Itu terjadi pada adegan ketika si tokoh utama menusuk leher Muara menggunakan pisau sebanyak empat kali. Yang begitu mengganggu adalah, empat tusukan di leher tidak membuat Muara mati, ia hanya kehilangan banyak darah. Oke mungkin itu memang bisa tertolong bila cepat-cepat ditemukan dan ditangani. Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah berapa lama selang antara Muara ditusuk dengan pisau sebanyak empat kali di bagian leher dan saat Muara ditemukan? Dan siapa yang menemukan mereka? Pertama, karena si tokoh utama tinggal sendirian di rumah di tempat kejadian perkara. Kedua, Berbeda misalnya yang ia tusuk adalah di bagian perut. Ini di bagian leher, tempatnya pembuluh darah berada.
Saya memberikan 4 dari 5 bintang untuk buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar