Dewasa ini cuaca panas begitu awam
dijumpai di seluruh pelosok negeri Indonesia tercinta kita. Hari ini, kita
sudah berada di pertengahan bulan September. Jangankan hujan, bahkan mendung
pun tak tampak di langit. Kering di mana-mana. Di layar televisi, satu dua
berita mulai muncul tentang masyarakat di daerah ini dan itu mengadakan shalat
meminta hujan di lapangan-lapangan luas. Bahkan di salah satu daerah di pulau
Sumatra, beredar sebuah pesan berantai yang isinya menyuruh setiap rumah untuk
menjemur seember air garam di antara pukul 11-13 siang, demi mengharapkan air
garam yang dijemur itu akan turun kembali menjadi hujan. Harapan akan hujan ini
kian hari semakin kuat lantaran serangan asap dari negara api yang ingin
menghukum manusia-manusia yang tidak berdosa ataupun patut. Hujaaan...
hujaaaan... jangan marah!! Begitu rintih Cholil, vokalis band Efek Rumah Kaca.
Sementara itu, di belahan dunia yang
lain, di Ilheus, kota kecil di negara Brasil sana, hujan turun berkepanjangan.
Hujan itu, seperti di Indonesia, tadinya diharapkan setelah terjadi kemarau
panjang yang mengancam perkebunan kakao milik para kolonel di Ilheus. Hujan itu
pun dipanggil dengan upacara keagaaman yang dipimpin oleh Pastor Basilio dan
Cecilio. Hujan itu datang, seluruh penduduk bersyukur, bergembira, berpesta.
Satu hari, dua hari, seminggu, dua minggu, tetapi hujan itu tidak pula reda.
Kegembiraan mulai luruh, kesabaran menunggu hujan reda perlahan ditumbuhi
lumut. Satu per satu kemudian merasa bahwa hujan itu bukan lagi berkah yang diturunkan
tuhan untuk penduduk Ilheus. Kini mereka merasa bahwa hujan itu pun sebagai
bentuk hukuman yang lain kepada penduduk Ilheus.
Tetapi, Ilheus bukanlah planet Venus di
dalam cerpen Ray Bradbury yang berjudul Long Rain, hujan di Ilheus akhirnya
berhenti. Pada suatu subuh, Kolonel Manuel Jaguar terbangun dari tidurnya
dengan kesunyian, damai. Tidak ada suara ribut hujan yang mematuki atap
rumahnya. Langit terang ketika lelaki tua itu memutuskan untuk keluar dari
rumah, bibirnya tersenyum, panenan kakaonya selamat. Kolonel Manuel Jaguar
jumawa pergi ke kota, menyonsong sinar matahari pagi pertama setelah berminggu-minggu
menghilang di balik awan hitam.
Begitulah Jorge Amado membuka kisahnya.
Dengan sebuah hari yang baru. Dengan sinar matahari pertama seusai hujan
berkepanjangan. Untuk menghangatkan jiwa-jiwa penduduk Ilheus yang berkerak
lumut karena terlalu lama hidup dengan lembab, air hujan, dingin yang
membekukan hati mereka. Sebuah hari baru,
harapan akan cahaya di langit timur.
Kehidupan baru untuk generasi berikutnya masyarakat Ilheus.
Kehidupan baru macam apa? Kehidupan baru
untuk Ilheus yang sedang menggeliat bangun dari tidur panjangnya. Ilheus yang
membangun jalur bus pertamanya untuk menghubungkan kota itu dengan Itabuna,
kota terdekat dengan Ilheus. Lalu ada pengerukan gundukan pasir yang akan
membuka akses ekspor kakao langsung dari Ilheus ke eropa. Juga tentang luruhnya
nilai-nilai lama yang tak terelakkan. Perubahan itu pasti, siapa yang tidak
bisa beradaptasi dengan perubahan maka ia akan dilumat hancur tergilas
perubahan. Ilhues adalah kota kecil, yang tengah bersolek.
Dan jantung kota kecil itu adalah bar
Vesuvius. Bar milik Najib, seorang lelaki Suriah yang telah menjadi orang
brasil. Tempat berkumpulnya hampir seluruh penduduk kota Ilheus. Tempat di mana
kabar berita terbaru berkumpul, dibagikan dan didiskusikan bersama. Oh tentu
saja aku ingat tempat seperti itu. Dulu, tempat seperti itu di kampungku berupa
gardu siskamling, di mana setiap selesai maghrib maka orang-orang akan
duduk-duduk, bergunjing, bertukar tawa, berbaur; membicarakan apa saja,
politik, pendatang baru, penyakit, dan kejadian-kejadian remeh serta konyol
untuk ditertawakan. Semua tempat pasti memiliki tempat seperti itu.
Dan kabar terbaru yang sampai di bar
itu, yang langsung menggemparkan seluruh pengunjung bar adalah perihal Kolonel
Jesuino Mendonca yang membunuh istri dan dokter gigi selingkuhannya. Pada
masa-masa yang lalu, hal itu adalah kewajiban, hal yang harus dilakukan oleh
seorang suami yang dikhianati oleh seorang istri; membunuh istri dan lelaki
selingkuhan istrinya. Sebuah aturan tak tertulis yang juga diamini oleh seluruh
penduduk Ilheus, juga para istri terhormat. Hal itu, bagi mereka, digunakan sebagai
alat untuk menjaga moral serta sopan santun masyarakat Ilheus.
Itulah hukuman bagi istri yang tidak
setia kepada suaminya. Hukuman selain dari itu akan dihakimi dengan kejam oleh
seluruh penduduk. Hal itu terjadi pada seorang lelaki baik hati yang tidak
membunuh istrinya yang tertangkap basah selingkuh dengan laki-laki lain. Lelaki
itu bermaksud menghukum lelaki yang telah berani menggoda istrinya itu dengan
seluruh sifat menyebalkan istrinya yang tak tertanggungkan olehnya. Ia
menyerahkan istrinya pada lelaki selingkuhan itu. Yang kemudian terjadi adalah,
seluruh penduduk kemudian mengucilkan lelaki itu, mengejeknya karena sikap
pengecutnya, menyebutnya lembu lembek, tidak seorangpun yang mau bicara
dengannya, hingga akhirnya lelaki itu terusir dari Ilheus, pergi dan tak pernah
kembali lagi.
Lalu di manakah posisi Gabriela yang
menjadi judul buku ini? Gabriela berdiri bersama Malvina, Gloria dan Shinazinha
yang menjadi simbol perubahan sosial di Ilheus. Malvina digambarkan sebagai
simbol pemberontak, yang tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak ia
inginkan. Malvina adalah perempuan muda pembaca buku, yang menentang ayahnya,
lalu kabur untuk menolak takdirnya menjadi istri seorang pemilik perkebunan
kakao.
Sementara Shinazinha adalah istri dari
Kolonel Jesuino Mendonca, yang dibunuh karena berselingkuh. Gloria dan Gabriela
di satu sisi adalah simbol dari memudarnya kebiasaan purba itu. Di sisi lain,
Gabriela adalah sosok yang sama dengan Malvina dengan cara yang lain. Mulanya,
Gabriela adalah perempuan bukan siapa-siapa, tidak mempunyai apa apa. Namun,
ketika pada akhirnya ia menjadi seorang perempuan terhormat yang bisa mempunyai
apa apa, dia memilih tidak mempunyai apa-apa. Ia tidak butuh apa-apa, buat apa?
Terlalu banyak barang. Ia tidak bahagia. Ia membenci sepatunya, yang merupakan
simbol, pembeda antara seorang perempuan terhormat dengan perempuan bukan
siapa-siapa. Gabriela lebih suka bertelanjang kaki, atau memakai sandal. Bukan
sepatu, sepatu menyakiti kakinya. Ia
tidak butuh apa-apa, buat apa? Terlalu banyak barang.
Tapi, perubahan kota itu terutama digerakkan
oleh persaingan Kolonel Ramiro Bastos dan Mundinho Falcao di arena politik.
Kolonel Ramiro Bastos adalah pribumi, sesepuh yang dahulu membangun Ilheus
menjadi wilayah kakao yang kaya dan kota yang cantik, yang menuntut hormat dari
lelaki muda pendatang seperti Mundinho Falcao. ‘Orang luar, apa gerangan yang
dicarinya di Ilheus? Dia tak pernah kehilangan apa-apa di sini.’ Kata Kolonel
Ramiro Bastos merujuk pada Mundinho Falcao. Tetapi Mundinho masih muda, penuh
gagasan, Mundinho adalah masa depan. Sementara Ramiro Bastos adalah mantan
bandit, yang akan dengan ringan menggunakan pistol dan senapan, dan banyak
pemilik perkebunan besar berdiri di belakangnya, bandit juga, sama sepertinya.
Selain itu, Jorge Amado juga menulis
tentang koran pertama di Ilheus. Tidak lupa, dia juga membangun sebuah
perpustakaan di tengah kota Ilheus yang mayoritas penduduknya masih buta huruf.
Bagi saya, Jorge telah berhasil membangun sebuah dunia yang komplit, sebuah
kisah menakjubkan tentang sebuah kota dengan nilai-nilai yang mulai pudar,
tentang karakter-karakter hebat seperti Gabriela, Malvina, Joao Fulgencio,
Amancio Leal, Dora... dan sederet tokoh lain. Buku ini jelas merupakan sebuah
buku yang layak untuk dibaca.
Judul : Gabriela Cengkih dan Kayu Manis
Penulis
: Jorge Amado
Penerbit : Serambi
Penerjemah : Ingrid Nimpoeno
Editor : Moh. Sidik Nugraha
Tahun terbit : Desember 2014, cetakan 1
Halaman : 659 halaman
ISBN : 978-602-290-023-8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar