Gadis kecil itu menghampiri anak anjing
yang meringkuk di kaki patung gajah. Gajah-gajah itu kesemuanya tiga ekor,
berkulit putih dengan ornamen warna-warni memenuhi sekujur tubuhnya. Mereka
seperti gajah putih dari Thailand yang baru saja mengikuti perayaan hari raya
Holi di India. Atau barangkali pembuat patung gajah itu adalah seorang anak SMA
yang baru saja mengetahui kelulusannya. Yang tidak cukup menghibur adalah pose
gajah-gajah itu: kaki-kakinya tidak dalam posisi sedang berjalan, belalainya
terjulur begitu saja tanpa gerak meliuk hendak menyemprotkan air dari
belalainya, ekornya tidak melambai ke kanan atau ke kiri atau menghalau
serangga di punggungnya, telinganya lurus bagaikan garis marka jalan, seolah
gajah-gajah itu tidak kepanasan di tengah udara Jogja yang kian panas
akhir-akhir ini.
Anjing itu meringkuk sama sekali. Bedanya
dengan patung gajah di atasnya adalah anjing itu mengerjapkan matanya beberapa
kali. Gadis kecil itu menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat ke arah pantat
besar gajah di atasnya seolah anjing itu keluar dari sana. Dan seperti bayi
yang baru lahir, anjing itu tampak lemah sekali. Dagunya yang berbulu pendek
berwarna coklat jatuh diatas paving block.
Lidahnya merah dan berliur seperti tangan pengemis.
Gadis belia itu berdiri, menoleh ke kiri
dan kanan. Macam-macam rupa manusia singgah di kepalanya. Tak satu ia kenal. Kelopak
matanya menyipit seperti seorang pemburu mengamati ladang buruannya. Ia menaruh
tangan kirinya di atas alis untuk meneduhi matanya dari cahaya matahari sore. Kemudian
ia berlari ke arah barat, ke seberang jalan. Tidak peduli pada padatnya kendaraan
di ruas jalan. Ia berjalan miring mengikuti celah antar kendaraan yang malas
melaju. Sebentar-sebentar bising klakson meningkahi keriuhan deru mesin
kendaraan yang tak berhenti memproduksi asap panas.
Sambil meloncat-loncat ke tempat
bayangan pohon jatuh di trotoar jalan, gadis cilik itu menghampiri seorang ibu
yang tidak memerhatikan baju longgar dan berlubang di beberapa bagian,
terkadang tanpa sadar ia memamerkan kulit kotor di balik bajunya. perempuan
paruh baya itu lebih peduli pada karung besarnya yang berisi botol-botol
minuman yang telah kosong. Di samping karung putih itu terduduk seorang anak
lelaki yang berumur 2 tahun lebih muda darinya. Pada hari-hari biasa, anak
kecil itu adalah teman bermainnya. Tapi hari itu, kotak rubik lusuh yang ada di
tangan si bocah lelaki bahkan tak membangkitkan gairahnya sama sekali. Gadis bergaun
kuning yang entah sudah berapa minggu tak dicuci itu lebih tertarik pada botol
air mineral yang dikumpulkan oleh ibu pemilik karung. Ia cepat-cepat merebut
botol minuman yang masih berisi setengah itu sebelum terlanjur dibuang isinya
oleh si ibu. Lalu berlari cepat-cepat.
Di tengah jalan, ia berpapasan dengan
seorang lelaki yang memakai kalung kertas di dadanya, ada tulisan ‘jual pulsa’.
Ia tak terlalu sering bicara dengan lelaki yang kadang tiba-tiba berteriak “Pulsa...
pulsa...” entah siapa yang ia ajak bicara. Ia kadang sedih melihat lelaki itu
begitu keras berusaha bicara tetapi tidak ada yang mau mendengarnya. Ia ingin
membantunya sesekali. Membawakan kalung kertas dengan tali rafia itu misalnya. Sering
ia melamunkan bakal seperti apa rupanya bila mengenakan kalung kertas itu. Atau
membeli jualannya. Tetapi setelah dipikir-pikir, akan ia gunakan untuk apa?
Gadis kecil itu memeriksa sakunya yang
longgar dan pinggirannya berwarna hitam ketika melewati seorang penjual sate. Bau
asapnya seperti mesin pencipta rasa lapar. Ada selembar uang limaribuan baru di
sana. Kertasnya licin, membuatnya enggan menggunakannya, layaknya cincin milik
Sauron bagi Gollum. Itu pula kenapa ia menahan laparnya sejak pagi. Ia mengulurkan
uang itu dan menunggu tusuk-tusuk satenya matang di antara asap yang harum.
Anjing coklat itu masih melingkarkan
tubuh. Kepalanya langsung terangkat ketika air mineral mengucur di lidahnya
yang terjulur. Ia memandang gadis itu. Membasahi mulutnya dengan lidah lalu
menjulurkan lidah itu kembali. Ia menerima satu tutup botol air mineral lagi. Tanpa
menunggu perintah, anjing itu memakan potongan daging ayam yang sudah
diloloskan dari tusuknya. Gadis itu juga menghamburkan beberapa potong lontong
di dekat timbunan kecil daging sate. Sementara ia melahap sendiri potongan lontong
yang tersisa.
Selesai pesta makan, gadis itu duduk
sambil bersandar di salah satu kaki gajah yang mengkilat karena cat baru. Menunggu
si anjing bangun. Anjing itu masih minum air yang dituangkan di atas daun
pisang pembungkus sate tadi. Matahari makin turun sehingga sinarnya kini
terhalang rimbunan pohon di seberang jalan.
Gadis itu masih tenggelam dalam lamunannya
saat anjing itu bangkit tidur dan duduk di sebelahnya, sama-sama menatap lurus
ke depan. Mereka seakan heran dengan orang-orang yang berpose dan melemparkan
uang untuk berfoto dengan orang-orang yang berdandan segala rupa. Di lain
waktu, mereka berdandan seperti pahlawan-pahlawan yang tak pernah diingat
siapapun. Lalu, kadang mereka berdandan dengan pakaian-pakaian prajurit
keraton. Dan hari ini mereka berdandan seperti hantu-hantu dengan muka rusak
atau batok kepala yang ditancap dengan kaleng minuman soda. Mungkin kaleng soda
tadi melukai otaknya sehingga tidak bisa membedakan kalau saat itu hari masih
siang. Juga ada yang berfoto di depan sebuah plang jalan yang di letakkan di
depan sebuah tempat sampah plastik untuk menampung uang. Tapi tak ada yang
mengajak gadis cilik itu berfoto bersama. Barangkali karena bocah ingusan itu
tak mengenakan sandal.
Menyadari hari telah beranjak sore,
gadis kecil itu bangkit setelah mengusap punggung anjing di sampingnya. Ujung gaun
kuningnya berkibar menyentuh paving block.
Sementara anjing itu berlari kecil sambil menciumi jalan. Seorang perempuan
yang baju dan celana pendeknya menguarkan aroma wangi parfum berhenti di depan
seorang penjual bakpia yang duduk di atas kursi roda. Perempuan itu mengulurkan
selembar uang berwarna hijau begitu saja, tanpa menawar. Padahal sebelumnya ia
tak tampak tertarik atau kelaparan melihat bakpia yang wujud dan bungkus
mikanya serupa dengan yang ditawarkan seorang perempuan sesaat sebelumnya.
Anjing itu mendadak berhenti mengendus
jalanan ketika gadis di depannya memutuskan untuk berhenti melangkah. Gadis cilik
itu membuang bungkus sate bekas ia makan tadi ke tempat sampah di dekat pagar
jembatan. Kemudian ia berbalik memandangi punggung-punggung pengunjung yang
ditutupi baju-baju bagus. Mereka terpukau menikmati pertunjukkan air mancur di
kolam di depan benteng Vedrebug. Seakan-akan pertunjukkan air mancur itu adalah
hal paling indah di tempat itu.
Gadis cilik itu dengan cepat menjadi
bosan. Ia bersandar pada pagar besi yang baunya amis seperti bau tubuhnya. Mula-mula
menyandarkan punggungnya. Namun kemudian ia berbalik dan mengamati ikan-ikan
kecil yang berkerumun di sekitar sampah plastik bekas makanan. Ikan-ikan itu
berenang kesana kemari. Ada juga yang bersembunyi di balik sampah plastik itu.
Tak jauh dari tempat ia berdiri, seorang
lelaki tambun berseragam sekuriti baru saja mengusir satu rombongan terakhir
dari komplek museum yang sudah saatnya tutup. Satpam museum Benteng Vedreburg
itu lalu berjalan ke sebuah tiang bendera di sebelah kanan pintu gerbang
museum. Inilah yang dinantikan gadis cilik itu. Secara khusuk, tak lepas ia
mengamati lelaki tambun itu berdiri tegak di depan tiang bendera. Ia mendongakkan
kepala lalu menaruh tangannya di atas topi seragam selama 8 detik. Setelah menurunkan
hormatnya, satpam itu kemudian membuka tali lalu menurunkan bendera merah putih
dengan latar musik gamelan jawa sayup-sayup di ujung sana.
Sementara itu orang-orang saling merangkul
pingang pasangannya ketika semburan terakhir air mancur jatuh ke kolam. Gadis itu
tersenyum ketika menyadari anjing kecil di sebelahnya duduk dengan pantatnya dan
satu kaki depannya ia angkat ke kepala yang terarah pada lelaki yang tengah mengurai
tali pengikat bendera itu. Gadis itu tersenyum lebih lebar lagi sambil mengusap
bulu halus anjing di sebelahnya. Malam ini ia tak perlu takut lagi. Ia tidak akan
tidur sendirian nanti malam. [ ]