Kegelapan hanyalah tetek bengek. Ia tak
menghalangi sedikitpun langkah Pigor. Melonjak mengikuti irama paru-parunya
mendenguskan udara. Liat menyusuri jalan yang tercipta oleh rumput dan semak
yang lantak terinjak pada masa yang baru-baru saja. Beberapa minggu ini telah
cukup untuk membuat Pigor mengenali segala lekuk permukaan tanah yang ia lewati
kini. Bau-bau segar daun muda yang bertunas, bunga-bunga yang baru saja
merekah, serta getah yang meleleh setelah sebatang ranting atau daun patah
karena geraknya.
Di depan, dalam gelap malam, tampak
tanah lapang, cahaya bulan menerangi gundukan tanah di batas tumbuhnya
pepohonan. Genggaman tangannya makin erat pada telapak tangan lembut yang
hangat mengusir lelah dan dingin udara. Lekat seakan tak hendak ia lepaskan.
Terus saja ia seret tangan itu, demi tanah lapang di depan mereka.
“Lihat, kita sudah sampai.”
Perempuan itu tidak sempat
terengah-engah, jangankan mengumpat. Matanya terkesima oleh jalur rel kereta
yang seolah muncul seperti candi Prambanan yang dibangun dalam semalam oleh
Bandung Bondowoso, konon. Asa memindahkan berat tubuhnya pada tangan yang telah
ia bebaskan dari genggaman Pigor dan menelekannya di lutut dengan punggung
melengkung. Mukanya terdongak memandangi kabin berwarna putih yang tak pernah
ia lihat. Bentuknya aneh, peot di sana-sini, tak sedikitpun mengesankan
kekukuhan.
Pigor telungkup di tanah. Begitu tangan
itu lepas, dayanya menciut. Tandas disesap malam. Ransel di punggungnya
bagaikan paku bumi yang menancapkannya pada tanah basah. Malam sepi,
pohon-pohon beku dan angin mati. Rumput tipis dan tanah telanjang pasrah
ditimpa cahaya bulan yang cemerlang.
Lelaki
itu menyeret ranselnya ke atas jalur rel kereta. Lalu, tanpa mantra, ia membuka
resleting ranselnya dan mengeluarkan lokomotif kereta api dari sana, tepat di
depan benda putih yang reot. Pigor menarik ranselnya kepayahan, sementara
lokomotif itu mulus saja keluar dari mulut ransel Pigor yang seperti hendak
sobek. Asa menggelengkan kepalanya melihat lelaki itu jumawa memandangnya
dengan senyum mengembang.
“Sinting! Dari mana kamu dapatkan benda
itu?”
Pigor menggaruk kepalanya. “Aku beli
ransel ini dari serigala.com. diskon 70%. Murah ya?” kebanggaan mengukir
senyumnya kian nyalang. Berjalan ia mengitari lokomotif di depannya. “Tadinya
aku nyari teflon sama setrikaan. Yah... kamu tahu, aku sedang membutuhkan
setrika dan teflon, sebenarnya, tapi aku tahu apa yang aku inginkan. Aku butuh
ransel untuk membawa lokomotif ini.”
Asa menegakkan punggungnya. Tidak ada
niat untuk menanggapi omong kosong Pigor. Perempuan itu mengamati ke sekililing
untuk tak mendapati satupun tanda kehidupan. Ia sungguh tidak mengetahui di
mana ia berada. Kemudian tanah bergetar seiring dengan bunyi kasar dari
lokomotif yang berfungsi dengan baik. Pigor meloncat turun dari atas lokomotif
setelah mengaitkan lokomotif dengan kabin putih di belakngnya. Tanpa aba-aba,
Pigor menarik tangan Asa menuju ke kabin.
“Apa kau yakin ini kuat?” tanya Asa
sambil menjejakkan sebelah kakinya ke permukaan kabin kereta. Lantai itu
dipenuhi baris-baris huruf yang lurus dan kecil, seperti halaman buku.
“Percayalah, sayang, tiada yang lebih
kuat dari cinta Oscar Wao kepada Y’born; tentu saja selain cintaku kepadamu.”
Kemudian Pigor mulai membual tentang
bagaimana ia membuat kabin kereta itu dari halaman buku ‘The Brief Wondrous
Life of Oscar Wao’. Dan memang itulah yang terbukti. Kabin itu tak bergoyang
sedikitpun ketika lokomotif itu mulai berjalan. Kabin itu tanpa jendela. Belaka
berisi dua kursi yang saling berhadapan di antara meja kertas yang berdiri di
atas satu kaki tipis yang menyati dengan lantai kabin. Terang meskipun tanpa
lampu. Serta kedap suara meskipun kabin itu tak berpintu.
“Ke mana kau akan membawaku?”
“Wah wah itu kejutan...” seringai Pigor
tak sedikitpun memuaskan Asa.
“Cih!! Siapa yang butuh kejutan? Lebih
baik kau turunkan aku di depan rumahku sekarang juga atau aku takkan mau bicara
lagi denganmu!”
“Tidak!! Aku tidak akan menghentikan
kereta ini sebelum kamu mengatakan bersedia menikah denganku.”
Asa menaikkan sebelah sudut bibirnya, lalu
tergelak. “Jawabanku tetap sama. Aku akan menjadi istrimu saat kau bisa
menghamiliku.” ujar Asa dingin sambil melubangi kabin itu dengan telunjuknya,
membuat sebuah lubang jendela mini, di sana ia membuang pandangannya.
Pigor memukul meja kertas di depannya. Cuil,
serpihannya jatuh tak bersuara membentur lantai kabin. “Aku bisa memberikan
seluruh dunia kepadamu, tetapi kamu justru selalu meminta hal yang takkan bisa
kupenuhi.” Diam. Berkas cahaya dari luar masuk melalui jendela kabin saat
mereka melewati kota pertama setelah keluar ari hutan. “Kamu sendiri tahu,
berkali-kali kuceritakan padamu bahwa Saruman pada suatu malam terkutuk telah
mengambil bijiku untuk membangun pasukan di Isengard.”
“Aku tidak mau tahu! Kalau kau ingin
menikahiku maka kau harus bisa menghamiliku.” sanggah perempuan itu pelan. Pigor
bisu. Ia berdiri dan berjalan menuju pintu kabin. “Dan dari mana kau
mendapatkan benda sialan ini?” teriak Asa sekali lagi.
Pigor terbahak, keras sekali. “Baiklah.
Maka kamu akan menjadi tawananku di kereta ini seperti Fermina Daza mejadi
tawanan Florentino Ariza di kapalnya.”
Tapi Asa tak gentar sedikitpun. Jiwanya malahan
bergairah. Tak sabar. Benar-benar ia ingin mengetahui, mana yang akan mampu bertahan
lebih lama; orang yang mengabaikan cinta seseorang atau orang yang cintanya
diabaikan? Asa tersenyum nyalang.
“Ah... aku mencuri lokomotif itu dari
stasiun Senen.”
***
Stasiun Senen, 7 Juli 2015. 19.05 WIB.
Nhaz masih memandangi dirinya sendiri di
kaca jendela kereta api yang belum juga berangkat. Ia sudah mempersiapkan
dirinya secantik mungkin untuk menjemput kematiannya. Setelah dua percobaan
bunuh dirinya gagal, kini ia yakin, sungguh yakin bila upaya ketiganya ini akan
berhasil. Asumsinya tidak akan lagi meleset. Ia akan mati membeku kedinginan di
dalam kereta berpendingin udara, terutama hatinya sudah lama membeku karena
berkali-kali diabaikan oleh lelaki pujaan hatinya.
Bibirnya merah, matanya berwarna coklat
berkat soft lens. Kukunya ia pulas
dengan warna perak berkilap. Tulang pipinya menonjol segar bagaikan kulit buah
tomat yang diliputi embun di pagi hari. Tentu saja ia begitu puas melihat dirinya
kini, alih-alih teringat dua kejadian terdahulu. Perempuan itu bersyukur tidak
jadi mati ketika ia meloncat dari jendela apartemennya di lantai 15 dan jatuh
ke dalam kolam renang sedalam 2 meter. Di percobaan kedua, lebih menyedihkan
lagi, ia menggantung dirinya di dahan pohon beringin, di pinggir jalan, jam 2
siang! Nhaz tersenyum saat kembali teringat rencana bunuh dirinya kali ini yang
ia yakin akan berhasil, tak terbantahkan, mati membeku karena kedinginan. Siapa
yang masih bisa hidup karena tubuhnya membeku? Tidak ada!
Tetapi senyum itu mulai pudar saat jam
tangan pemberian lelaki pujaannya menunjukkan pukul 19.15 WIB dan belum ada
tanda-tanda kereta itu akan berangkat. Lalu suara perempuan itu menghancurkan
hatinya kembali, luluh lantak.
“Diberitahukan kepada penumpang kereta
Senja Utama yang sedianya akan berangkat pukul 19.00 WIB jurusan Stasiun Senen,
Jakarta, Tujuan Stasiun Tugu, Yogyakarta, belum bisa diberangkatkan karena gerbong
lokomotif telah dicuri!”
Nhaz menggigit bibirnya karena sekali lagi
keinginannya diinterupsi oleh Takdir. [ ]