Lelaki itu datang ketika Asa tengah
bosan. Rambut dan matanya menyeruak dari celah pintu yang terbuka. Setelah
mengumbar senyum dan menyebut nama Asa, ia masuk karena perempuan itu
mengangguk. Langkahnya cepat dan pasti. Tanpa pikir panjang, lelaki itu meletakkan
kotak kertas di atas meja di sebelah ranjang tempat Asa berbaring. Tidak ada
waktu untuk mencurigai bahwa isi kotak itu mungkin berisi bom. Asa sibuk
mengingat rupa lelaki itu dalam memorinya. Karena Asa tak mampu mengenali siapa
lelaki itu, ia memilih diam. Tangannya sudah siap menekan tombol panggil
darurat yang ia sembunyikan di sebelah tubuhnya. Untuk sesaat, Asa tak tahu harus berbuat apa.
Waktu itu Ayah dan Ibunya sedang
mengurus administrasi di bawah. Hari ini adalah hari keempat Asa berada di
rumah sakit. Rombongan terakhir
teman-temannya yang menjenguk datang kemarin malam. Perempuan itu tidak sedang
mengharapkan seseorang akan datang membesuk seperti saat ini. Ia cuma ingin
segera pulang ke rumah dan tidur di kasurnya. Asa sudah kangen dengan
buku-bukunya di rumah. Dan lagi, ia sungguh-sungguh tidak tahan dengan
dengkuran lelaki tua di ruang sebelah.
Kamar mereka hanya disekat dengan
penutup kain. Kain penutup dan temboknya berwarna hijau. Kendati menyukai warna
hijau, Asa tidak betah tinggal di sana. Udaranya pahit, bau obat. Asa benci
obat, tidak suka minum obat. Tapi di
sini, ia harus minum obat.
Lelaki itu duduk di kursi
satu-satunya dalam kamar Asa. Biasanya, ibu Asa yang duduk di kursi itu. Kadang
sambil menyuapi Asa; atau menunggui Asa membaca buku; lalu sekali waktu
tertidur di sana dengan muka lelah. Lelaki itu mengibaskan tangan sambil
meyakinkan Asa bahwa ia tak mengenalnya. Mereka satu sekolah, hanya beda kelas.
Bahkan ia baru mengetahui nama Asa dari salah satu temannya siang ini. Lelaki
itu merasa harus menengok Asa karena rumahnya ada di seberang jalan, tepat di
depan rumah sakit. Yang di depannya ada kolam ikan, ujarnya bangga.
“Kamu harus cepat sembuh. Agar aku
bisa secepatnya melihatmu lagi di sekolah.” Ia mengambil kotak yang tadi
dibawanya. “Nah makanya kamu harus makan ini biar cepat sembuh.” Ternyata kotak
itu memang tidak berisi bom. Lelaki itu meletakkan sepotong kue yang cake-nya
sewarna darah di atas selembar tisu di tangannya. Kemudian menyerahkannya pada
Asa.
Usai melihat Asa menelan kue, lelaki
itu kemudian pamit. Seperti rasa kue yang tertinggal di lidahnya, Asa masih
bisa merasakan senyum keceriaan dan semangat lelaki itu di benaknya. Yang lebih
mengherankan Asa adalah kesediaannya menengok orang yang tidak benar-benar ia
kenal. Satu-satunya keinginan Asa saat itu adalah membalas lelaki itu.
Perempuan itu akan membesuknya suatu saat nanti.
Tapi keinginan itu tinggal khayalan. Tiga bulan
kemudian, ketika Asa sudah sembuh dari luka patah tulangnya, ia tak menemukan
lelaki itu. Lelaki itu sudah lulus bulan lalu. Kemudian keinginan itu mengendap
menjadi kerak dalam dirinya.
***
Sejak saat itu, Asa menjadi rajin
membuat kue Red Velvet setiap kali ada kesempatan. Minimal sebulan satu kali
tangannya akan belepotan rona warna merah. Mencoba berbagai resep yang ia
temukan di internet. Tapi tak pernah sekalipun ia berhasil membuat kue Red
Velvet seenak saat pertama kali ia mencicipi kue itu. Semahir apapun ia membuat
Red Velvet, di lidahnya selalu terasa ada yang kurang.
Lalu, ketika rasa penasaran itu
menjadi tak tertahankan, Asa mulai memburu kue berwarna darah itu ke toko-toko
kue terkenal yang ada di kotanya. Warna merah itu merasukinya. Seperti stadion
Gelora Bung Karno yang selalu berwarna merah di setiap kali timnas Indonesia
bermain. Namun kue-kue yang ia temui, rasanya tak pernah seyahud kue pertama
itu. Hingga suatu hari ketika Asa sedang mengantre untuk membayar sepotong kue
Red Velvet yang sedianya akan ia bawa pulang, seseorang menyentuh bahunya.
“Jangan bilang kamu ketagihan kue itu
gara-gara kue yang aku bawakan waktu itu.”
Asa tersenyum tanpa menoleh. Ia tak
bisa memikirkan sesuatu jawaban untuk lelaki di belakangnya. Sesampainya di
meja kasir perempuan itu hanya berujar “Bagaimana kalau kamu menraktirku kue
ini? Jadi aku bisa menraktirmu minum?”
“Apa ini sebuah undangan?” ada senyum
tertahan dalam kata-katanya.
Asa melirik ke atas seolah ada
malaikat di atas kepalanya.
Mereka kemudian duduk di depan mini market
dengan sebuah meja logam memisahkan keduanya. Dua minuman botol yang segera
berembun dan dua kotak kecil kue terhampar di sana. Asa menatap selapis air
yang mengambang di atas aspal. Sementara lelaki itu mulai membongkar kotak kue
dan mengirisnya kecil dengan sendok plastik. Mereka masih diam. Asa
mengurungkan keinginan untuk menceritakan perihal kebiasaan barunya membuat kue
Red Velvet. Meraih botol minumannya lalu menenggak satu tegukan.
“Jadi, ke mana saja kamu selama ini?”
Lelaki itu menggeleng. Rahangnya
masih mengunyah. “Kamu yang ke mana saja? Aku bahkan tak melihatmu di pesta
perpisahan.”
“Tulangku patah, kau ingat? Aku tak
bisa berjalan dan menulis selama 2 bulan. Itu belum terapi untuk mengembalikan
fungsi normal tangan dan kakiku.”
“Ah iya.” Ia tersenyum.
Asap kendaraan yang lalu lalang
bergelung di udara. Seorang perempuan berdiri di tengah jalan sambil menutup
hidungnya dengan tangan, hendak menyeberang. Seperti patung, berdiri menunggu
kendaraan memberinya jalan untuk menyeberang. Asa mulai memotong kuenya, sambil
memperhatikan perempuan itu. Ia belum juga menemukan kata-kata yang dirasa tepat.
“Aku masih ingin menjengukmu.”
“Kamu ingin aku sakit?”
“bukan begitu, hanya saja rasanya
tidak pantas. Kamu bahkan tidak mengenalku saat membesukku ke rumah sakit.”
“Ayolah... lupakan hal itu. Aku tak
pernah bermaksud apa-apa.” Lelaki itu tersenyum, menyuapkan satu potongan kecil
kue ke mulutnya. “Lagi pula, orang yang bahagia sepertiku tak bisa sakit.”
Asa memandang ke jalan di depannya,
perempuan tadi masih berdiri di tengah jalan.
“Kamu tahu, kalau aku tahu hal itu akan menjadi beban buatmu,
aku tak akan menengokmu waktu itu.”
“Ya jangan dong...”
“Apa kamu tahu alasan sesungguhnya
kenapa aku menengokmu saat itu?”
Asa menoleh, mendengarkan lelaki itu
membual tanpa ampun. Waktu itu ia membolos dari sekolah. Di rumah ada kue buatan
ibunya. Melihat kue itu, entah kenapa ia teringat kabar teman satu sekolahnya
yang masuk rumah sakit karena tertabrak motor ketika pulang sekolah. Dan karena
rumah sakit itu ada di seberang jalan maka ia memutuskan untuk menengok temannya itu, yang adalah Asa.
Asa menunduk, menatap sepatunya. Ada
noda merah di sana. Entah kenapa Asa ingin pulang dan membersihkan noda itu.
“Aku harus pulang.” Perempuan itu melangkah pergi. Kemudian, sebelum begitu
jauh ia berucap “Itu tak mengubah apapun.”
***
Rumah itu tampak sepi. Pintu dan
jendela semua tertutup. Asa masih berdiri menunggu setelah ketukan pertamanya.
Hari itu tepat seminggu setelah pertemuan terakhir mereka di depan mini market.
Kemarin sebuah pesan singkat masuk ke ponsel Asa. Aku sakit.
Setelah ketukan kedua, pintu rumah
itu terbuka. Lelaki itu tersenyum, tidak mempedulikan wajah pucatnya. Tanpa
mempersilahkan masuk, ia duduk di sofa ruang tamu. Asa turut duduk di
sebelahnya. Kotak kuenya ia letakkan di meja.
“Nah... sekarang kita impas.” ujar
lelaki itu ringan.
Asa tersenyum. Ia bisa mencium bau
keringat yang menguar dari lelaki di sebelahnya. “Kukira orang yang bahagia
tidak bisa sakit.”
“Ya, memang.” Lelaki itu membuka
tutup kotak kertas di depannya, lalu melirik sambil menarik ujung bibirnya
melebar.
“Lalu... ?”
“Aku sengaja tidak makan selama
seminggu terakhir ini.” Senyum lelaki itu terekam ngeri di benak Asa. Perempuan
itu tak menduga masih sungguh-sungguh ada manusia semacam ini. Kerak keinginan
di dalam dirinya kini menghitam, hangus. Menebal! [ ]